Ketika Lebaran Bukan Hanya Perayaan

hani

perayaan lebaran
kupat

Lebaran telah tiba. Bagi kebanyakan orang Indonesia, Lebaran bermakna merayakan kemenangan, setelah 30 hari lamanya berpuasa. Kemenangan melawan hawa nafsu rasa lapar dan haus. Menahan emosi baik ucapan maupun perbuatan.
Bila dikaitkan dengan berbagai peristiwa di Indonesia, kita baru saja melaksanakan pemilihan umum, untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Mungkin ada sebagian yang merayakan keberhasilan, ada pula yang tidak. Setiap peristiwa memang selalu ada dua sisi, ada yang senang ada yang tidak. Ada yang merasa perlu ada perayaan untuk kejadian A atau B. Ada yang tidak merasa perlu merayakan apa-apa.

Perayaan Lebaran Sebelum Menikah

Dulu, Lebaran memang terasa sekali ada nuansa merayakan sesuatu. Rumah sibuk. Mama saya memasak atau menyuruh memasak putri-putrinya. Kami lima bersaudara, kemudian hari kakak meninggal, akhirnya tinggal berempat, tiga di antaranya putri.
Di rumah pun tinggal bersama nenek saya, ibunya Mama. Ditambah lagi karena Mama saya anak sulung dan ayah menjadi Komandan di kesatuannya. Lengkaplah, Lebaran adalah kumpul keluarga, kumpul teman, dan anak buah atau rekan kerja ayah.

Acara sambang rumah (open house) menjadi acara kerja bakti sekeluarga. Apalagi dari tahun ke tahun, ART pulang juga ke kampung halaman.
Lebaran seolah acara setiap tahun yang memang ditunggu-tunggu.
Malam takbiran adalah kegiatan puncak urusan dapur. Kami ditugasi mengisi selongsong lontong dan cangkang ketupat. Mama mulai mengintip panci tape ketan di bawah tangga, yang telah disiapkan sejak tiga hari sebelumnya. Eyang mulai membuat sate kolang-kaling warna-warni. Sedangkan kue kering sudah rapi di dalam toples seminggu sebelumnya dan kue cake sedang dalam proses dipanggang.
Jangan lupa menggoreng kerupuk dan membuat kedelai bubuk untuk taburan lontong gulai kambing.

Semua hal-hal di atas adalah peristiwa demi peristiwa yang bisa saya ingat kala remaja hingga kuliah dan menikah. Masa sebelum itu, kala ikut Ayah dinas di luar negeri tak banyak yang saya ingat tentang perayaan Lebaran. Yang pasti selama tiga tahun itu kami tidak pulang.

Perayaan Lebaran Masa Sesudah Menikah

Kenapa masa sesudah menikah menjadi catatan tersendiri dalam peristiwa Lebaran?
Ya iyalah. Saya kan bebas tugas dari mengisi selongsong lontong dan cangkang ketupat. Haha…

Setelah saya menikah, mempunyai anak, dan ikut suami pindah ke Bandung. Praktis dengan keluarga kecil, kami lebih mandiri dan beda menyikapi suasana Lebaran. Keluarga hanya dua orang dewasa dan satu bayi rasanya terlalu mewah untuk menyikapi Lebaran sebagai suatu perayaan.
Ramadan dengan segala ibadah yang harus dijalani, menyiapkan sahur dan berbuka, plus tetap menyiapkan menu makan siang untuk bocah balita, sudah cukup menguras energi. Maka Lebaran adalah rasa syukur.

Begitu selalu selama puluhan tahun. Anak bertambah, menjadi besar, ikut puasa Ramadan, dan tiba saat Lebaran. Lebaran masih tetap bukan lagi perayaan. Ujungnya merupakan klimaks dari selesainya Ramadan menjadi rasa syukur, karena telah selesai melampaui bulan yang penuh rahmat ini.

Sejak rumah tangga sendiri itu saya tak pernah menyiapkan secara khusus masakan lazim untuk Lebaran, lontong opor dan kawan-kawan. Anak-anak waktu kecil ternyata tak suka masakan bersantan. Apalagi kami ke rumah orang tua di Jakarta atau mertua yang juga di Bandung, lontong opor dan gule semeja sendiri. Masakan itu pun dibawakan ke kami, karena beliau-beliau itu masaknya super banyak. Masih yah kebiasaan orang tua kalau masak Lebaran super ajib.

Perayaan Lebaran Tahun 2019

Ketika anak-anak menikah dan punya keluarga sendiri. Saya kok jadi merasa, sepertinya perlu juga memasak lontong opor gule dan sebangsanya. Itu pun kira-kira baru saya lakukan tiga tahun belakangan. Kupat, beruntungnya saya punya panci presto. Masak kupat, sejam jadi. Opor memakai bumbu jadi. Terimakasih Indofood. Gule, juga mengandalkan panci presto, 30 menit daging sudah empuk.

Tahun 2019 ini, saya kok malas luar biasa. Saya pengumuman ke anak-menantu, bahwa Ibu mereka hoream (malas). Jadi saya memesan gule dan sayur labu preorder dari Instagram. Sepakat dikirim malam takbiran. Saya hanya membuat kupat saja.

Anak perempuan saya, menangkap kode, dia memasakan opor dan telur bumbu petis. Menantu perempuan, mengirim sambal goreng kentang. Belakangan saya baru tahu, dia memesan juga. Lalu, gule dan sayur labu pesanan saya bagaimana? Ternyata pedasnya luar biasa. Malam takbiran jadi malam memodifikasi masakan super pedas dengan membilasnya lalu dibumbui kembali. Alih-alih ogah masak, jadi ngerjain nih. Tahun depan harus cari tempat pesanan lain dah…

Hari pertama Lebaran itu, siang hari saya berdua suami “kabur” ke Malang. Anak-anak punya acara sendiri, berkumpul bersama mertua masing-masing. Tentang sisa masakan Lebaran, saya serahkan ke anak perempuan untuk ditindaklanjuti.

Begitulah cerita perayaan lebaran saya. Teman-teman bloger 1minggu1cerita, SELAMAT LEBARAN ya…Mohon maaf lahir batin.

Malang, 8 Juni 2019

Also Read

Bagikan:

hani

Halo, saya Tri Wahyu Handayani (Hani), tinggal di Bandung. Pemerhati arsitektur dan pelestarian bangunan, main piano, menjahit, dan jalan-jalan. Kontak ke bee.hani@gmail.com

12 pemikiran pada “Ketika Lebaran Bukan Hanya Perayaan”

  1. Ping-balik: Pengalaman Mudik Lebaran Ke Malang Mencari Saudara. Kami Menjumpai 3 Hal Menarik. - blog hani
  2. Lebaran memang penuh kesan, baik sebelum atau sesudah menikah dengan berbagai versinya. Apalagi saya yang sudah kali ke2 menikah ini, beda arti sesudahnya

    Balas
  3. Selamat lebaran bun, maaf lahir dan batin… seru ya bisa jalan2 berdua. Jadi bayangin kalo anak2 saya nanti udah pada punya keluarga sendiri dan kami tinggal berdua… hehe

    Balas
  4. Lebaran memang selalu punya cerita tersendiri.
    Minal aidhin wal faizhin, bun. Mohon maaf lahir dan batin, yaaaa

    Balas
  5. Waktu kecil, setiap lebaran aku selalu sowan ke rumsh embah di desa. Soalnya keluarga dari bapak semua muslim. Jadi udah tradisi. Sekarang, karena mbah udah nggak ada, dan bapak anak tertua, om dan bulik yang datang ke rumah.

    Eniwe, selamat idul fitrinya Bunda.. minal aidin walfaidzin.

    Balas
  6. Jadi ingat waktu masih ada nenek dari sebelah mama. Lebaran selalu rame dan sibuk. Rumah nggak pernah sepi. Setelah nenek meninggal, nggak ada lagi yang ngumpul. Udàh acara sendiri-sendiri. Paling cuma nelpon atau sms. Selamat Idul Fitri ya, Bu. Mohon maaf lahir dan batin.

    Balas
  7. Seru ya kisah lebaran Bun Hani. Kolaborasi dengan anak dan menantunya boleh juga nih untuk urusan masakan 🙂
    Saya jadi membayangkan suatu saat nanti jika anak2 sudah besar, saya dan suami juga pengen tetap berkeliling kota saat lebaran.
    Maaf lahir batin juga.
    Taqabbalallahu minna wa minkum 🙂

    Balas
  8. Hmmm lebaran selalu penuh memory, waktunya semua keluarga berkumpul, mohon maaf lahir dan bathin buat semua yaaa…

    Balas
  9. Mohon maaf lahir batin bun…seru ya. Kalau ditempat saya lebaran ga ada ketupat bun. Seperti biasa saja. Masak ayam atau daging tapi ga pakai ketupat. Baru setelah 1 minggu kemudian baru masak opor atau gulai beserta kupatnya. Ini biasanya disebut bodo kupat. Beda perayaannya ketika idul fitri.

    Balas
  10. Ping-balik: Nominasi Tulisan Pilihan Minggu 23 - 1 Minggu 1 Cerita
  11. Lebaran setelah menikah terasa beda, karena suami saya senang memasak, jadilah kalo Lebaran dia selalu ngajakin bikin ketupat, opor ayam, sambal goreng ati, dll.

    Balas
    • Lhah keren ini. Jarang²… suami malah yang semangat masak. Pasti enyak nih. Mba Wiwin kebagian nguleg dan nyuci panci kah? wkwkwk…

      Balas

Tinggalkan komentar

DMCA.com Protection Status