Akar Keluarga – Bapak saya berasal dari Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah ke arah timur. Semasa hidup saya baru sekali diajak Bapak berkunjung ke kota kelahirannya. Seingat saya yang tinggal di situ PaDe Tik dan BuDe Tik, kakaknya bapak. Di teras rumahnya ada gamelan. Saya kurang tahu siapa yang memainkan gamelan tersebut. Tetapi waktu kecil saya memang dileskan menari sih.
Sedangkan Ibu, kelahiran Purwodadi. Pernah sih, waktu saya sudah berkeluarga, jalan-jalan ke kota asal Ibu. Menurut Ibu, Kakek dulu seorang jaksa. Nah, kalau tidak salah, pernah foto di depan Kantor Kejaksaan jadul tersebut yang waktu itu sudah jadi mess tentara. Di akhir hayatnya beliau menetap di Semarang.
Dulu tiap Lebaran berkunjung ke rumah Kakek di Semarang ini. Depan rumahnya bandara Lapangan Banteng, sebelahnya ada kandang sapi. Kalau pagi sering terdengar bunyi sapi, mooh…mooh gitu.
Sesudahnya Kakek-Nenek pindah ke jalan Kawi kemudian kakek wafat lalu rumahnya dijual. Nenek kemudian pindah ke Jakarta, tinggal di rumah kami. Tidak selalu sih, karena pindah-pindah keliling ke putra-putri lainnya, yang kebetulan keenamnya di Jakarta semua.
Mencari Makam Eyang (I)
Waktu itu suami sedang menempuh pendidikan doktoral dan co-promotornya seorang profesor dari Universitas Negeri Semarang. Sudah sering, kalau suami dinas ke luar kota, saya turut serta, lalu jalan-jalan sendiri aja keliling kota tersebut.
Rencananya selama suami bimbingan, saya ingin ziarah ke makam Eyang Kakung-Putri, bapak-ibunya Ibu, yang konon dimakamkan di TPU Bergota.
Saya penasaran saja sih, dalam rangka mencari akar keluarga. Biar kalau ditanya orang, kamu orang mana?. Bisalah jawab, kakek-nenek saya dimakamkan di Semarang…LOL…
Berhubung tidak tahu secara tepat tempatnya, saya pun menelpon tante saya, adiknya Ibu. Menanyakan di mana tepatnya makam Eyang Kakung-Putri ini.
Tante Poen (dalam bahasa Jawa):”Pokoknya kamu masuk dari jalan sebelahnya RS. Karyadi, di sebelah kiri, di atas. Pagernya ijo”…
Di hari pertama di Semarang, saya mengajak suami, “yuk cari sareannya Eyang Alibasah“.
Apa mau dikata, makam di Bergota itu hampir semuanya diberi pagar dan berwarna hijau, semua jenis hijau. Ada hijau pucuk cau, hijau tosca, hijau tua sudah pudar, hijau kebiruan, dll.
Kami pun mampir ke Kantor yang ada di makam, mungkin tahu nama Eyang Putri saya.
Tahun berapa meninggalnya?
Lah, telepon lagi ke Tante Poen. Tahun berapa ya…
Singkat cerita, sore itu engga ketemulah sarean Eyang saya. Ditambah lagi kata bapak petugas di kantor:”Bu, Bergota itu luasnya 35 Ha…”
Hari kedua, saya pergi sendiri sore-sore, saya telusuri, lagi.
Mapay dari jalan sebelah rumah sakit, belok kiri, celingukan. Sampai saya heran, merinding sendiri.
Ngapain sih, saya sore-sore ke kuburan. Astaga…
Sampai ada Ibu-ibu yang membersihkan makam bilang gini:”Didoakan dari mana saja kan bisa, Bu…”
Ada seorang kuncen yang rupanya notice, saya sudah dua hari nyari makam Eyang.
Lalu dia bilang, kalau dia kuncen yang berkat bisa baca tulis, dia bertugas menulis nama-nama yang wafat di buku besar di kantor. Dia berjanji mencarikan nama Eyang dan blok makamnya.
Saya pun meninggalkan nomor telepon saya.
Di hari ketiga saya sedang jalan-jalan dan wisata ke Lawang Sewu, tiba-tiba ada telepon dari nomor tak dikenal:”Bu…ini ketemu Bu! Ibu ke sini aja, naik taxi. Bilang sama supir taxinya jalan belok kiri ke atas Bu…”
Lawang Sewu ke Bergota ternyata deket banget, taxi waktu itu Rp10 ribu. Akhirnya saya minta menunggu saja. Toh saya cuma sebentar, untuk menghilangkan rasa penasaran sih…
Sesampainya di lokasi kuncen yang kemarin, pak Suroso, sudah menunggu, wajahnya berseri.
Kayaknya dia seneng banget bisa bikin orang lain seneng…hehe…
Ternyata blok makam Eyang Kakung-Putri ini satu blok makam keluarga. Pantes engga ketemu, jalan ke kiri, tuh jalan mobil belok ke kiri agak naik. Memang areanya di perbukitan kan…
Lah, kenapa Tante Poen engga bilang ya kalau makam keluarga. Kalau blok makam keluarga mah, dari kemarin-kemarin sudah ketemu, karena tempatnya berbeda.
makam Eyang Kakung – Eyang Putri Alibasah
Kebetulannya lagi, waktu itu kok mata melihat sekeliling, mata saya tertuju pada satu makam, menemukan nama Eyang Putri, ibunya Bapak. Tak jauh dari makam Eyang Putri, ada makam Pakde-BuDe Dwidjo, pasangan suami istri, BuDe ini kakaknya Bapak. Lengkap gini, semua dapat.
Selepas dari makam, saya pun ngadem di mall, nyruput Ice Chocolate di Dunkin, sambil menunggu suami selesai bimbingan.
Panasnya Semarang luruh bersama hati yang gembira. Mission Accomplised.
Mencari Makan Eyang (II)
Kali ini keisengan saya berlanjut. Waktu itu suami ada kerjaan, jadi penguji doktoral di Universitas Negeri Surakarta di Solo. Nah, saya pun mengajak, “yuk kita ke Blora cari makam Eyang Kakung, bapaknya Papah”.
Saya tuh keisengan model apa sih, nyari kok makam leluhur…
Jadi selepas suami beres kerja, kami menyewa mobil dari Solo ke Blora. Sebelumnya mampir dulu ke Bledug Kuwu, Purwodadi, sebuah danau lumpur yang mengandung garam. Bentukkannya mirip banget dengan area lumpur Sidoardjo.
Kami menginap di satu-satunya hotel di Blora yang ada di OTA. Ada sih hotel lain, tapi ya engga tahu reviewnya, karena tidak masuk aplikasi pemesanan hotel.
Di resepsionis kami menanyakan Makam Kajangan dan mobil rental untuk disewa besok pagi. Rencananya kami hanya semalam, karena besok harus kembali jam 15:00 ke Bandung, naik kereta api dari Cepu. Jarak Blora ke Cepu kurang lebih sekitar 60 km dulu menembus hutan jati.
Nama makam ini saya peroleh dari saudara sepupu, anaknya BuDe Dwidjo, kakaknya Bapak. Lalu dia memberikan nomor telepon cucunya PakDe Tik, yang waktu kecil dulu pernah saya sambangi rumahnya.
Sampai detik ini saya tuh belum pernah bertemu dengan si Mas yang rumahnya di Malang ini.
Kata si Mas, makamnya letaknya 5 km di luar kota Blora.
Ternyata pa Sinyo, driver yang mengantarkan kami, tahu makam yang dicari. Betul, makam tersebut 5 km dari pusat kota, tetapi rupanya sudah menjadi bagian kota Blora juga.
Kompleks makam tersebut apik, kecil saja, mungkin hanya 30×30 m2, ada gerbang yang terkunci. Menurut seorang ibu yang kebetulan ada dekat makam, kunci gerbang dipegang pak Nuri, kuncen makam. Sedang di sawah, katanya.
Ya sudah, kami menyurusi jalan, mencari sawah di belakang makam, dan tanya-tanya, ada pak Nuri tidak?
Pak Nuri tergopoh-gopoh membawa kami kembali ke makam, dan membuka gembok makam. Saya heran juga, jadi kuncinya dibawa-bawa terus atau gimana ini ya …
Kami sampaikan tujuan kami, ingin ziarah ke makam eyang saya, namanya Martosoedirdjo. Oooh…Mbah Marto, katanya. Ajaibnya pak Nuri, tahu di mana lokasinya.
Makam Eyang Martosoedirdjo dan pak Nuri, kuncen
Makam Eyang terletak dekat pagar sekolah SD Muhammadiyah. Konon, kata Bapak, Kakek dulu seorang penilik sekolah. Bisa jadi, itu sebabnya anak cucu beliau sebagian besar jadi dosen atau guru…
Kata pak Nuri, sudah puluhan tahun tidak ada yang menyambangi. Ya iyalah, tidak ada saudara seorang pun yang tersisa yang menetap di Blora. Atau tepatnya, saya kehilangan jejak.
Saya pun ditunjukkan makam PaDe Tik, yang cucunya teteleponan sama saya tersebut.
Penutup
Kisah saya bulan lalu tentang Hal Berkesan di Masa Kecil ternyata nyambung dengan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yaitu Tentang Daerah Asal, yang sebetulnya bikin saya bingung.
Bingungnya, karena mau ngaku orang Bandung, karena sejak awal menikah menetap di Bandung, tapi begitu diajak ngomong Sunda, apalagi Sunda lemes, langsung gelagepan.
Jawa, sami mawon, engga bisa bahasa Jawa halus, bisanya ngoko, tapi wajah tidak mendukung sebagai perempuan Jawa.
Kemampuan berbahasa daerah seringkali juga dianggap sebagai bahasa Ibu, yang menempatkan posisi seseorang jadi “Orang Mana” karena kemampuannya berbahasa setempat.
Soal asal-usul kalau dipikir orang Indonesia masih lebih beruntung daripada orang Amerika. Anak-anak di sana konon setres kalau diminta guru membuat pohon silsilah keluarga (family tree). Tatanan keluarga dan masyarakat di sana semuanya serba dilegalkan oleh hukum. Anak adopsi sama kekuatannya secara hukum dengan anak kandung. Belum lagi ada surrogate mother, bank sperma, pernikahan sejenis, dan hal-hal lain yang mengaburkan garis turunan serta asal-usul.
Semoga bermanfaat.
Keren banget teh Hani tetirah buat menemukan makam leluhur.
Aku masih bingung mau nulis apa?
Makasih teh Dewi. Lah…kemarin udah cerita padahal di grup, ke rumah masa kecil. Plus pengalaman dikejar soang…hihi…
Baca lagi, ketawa lagi soal pagar nuansa hijaunya. Jadi belajar macam2 warna hijau, ini, saya ????????
Keren perjalanannya mencari makam kakek nenek. Saya jadi ingin juga, Bu. Belum pernah lihat makam nenek dari kedua orang tua.
Papa saya dari Cepu (bukan di kotanya, masih sekitar 40km-an). Kalau lewat blora pasti makan sate ayamnya. Bumbu kacangnya khas 😀
Keren bgt Teh menelusuri makam leluhur. Kuncen² nya juga pada sigap ya kaya seneng gitu ada tamu yg cari makam. Salut sama kuncennya.
Aku kira teh Hani asli bandung dari lahir. Ternyata panjang juga ya sejarahnya teh, hehe. Sampai bingung kalau ditanya orang mana ????
MasyaAllah… ziarah makam leluhur untuk mencari akar keluarga. Makamnya terawat, kuncennya juga hebat, bikin saya teringat… sudah teramat lama tidak menziarahi makam keluarga -terutama dari keluarga ibu yang jauh di ujung utara Sulawesi.
Mbk Hani lebih kelihatan sebagai orang jawa barat ketimbang jawa tengah. Logat bicaranya sudah seperti orang jawa barat. Medok jawa tengahnya sudah gak kedengaran.
Luar biasa mencari jejak leluhurnya. Semangat banget. Haha..
Ziarah ini sangat penting agar anggota keluarga nggak lupa dengan silsilah atau asal muasalnya. Bahkan oleh Rasulullah dianjurkan agar mengingatkan persiapan untuk meninggal. Lokasi pekuburan yang merupakan makam keluarga tentu saja semakin memudahkan termasuk dalam hal perawatan.
Kalau sudah diniatin, pastinya takkan keberatan berapa hari pun. Dan jadi semacam petualangan menyenangkan. Apalagi setelah berhasil.
Keren sekali Teh ceritanya. Ada rasa haru juga saya waktu baca cerita Teh Hani ketika menemukan dan mengunjungi makam leluhur
Makam batunya bagus-bagus ya Bu. Ini bisa jadi cerita sendiri makannya para leluhur.
Peribahasa yang tepat untuk mendeskripsikan perjalanan Teh Hani menelusuri makam leluhur adalah “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Mumpung Pak Suami bertugas, Teh Hani berziarah. Alhamdulillah ikut seneng Teh, bisa menemukan makam leluhur. Meskipun bisa mendoakan dari mana saja, kalau bisa melihat makam secara langsung, rasanya pasti berbeda. 🙂
Wah inilah salah satu keajaiban Bapak/Ibu Kuncen ya Teh, SELALU hapal di mana letak makam seseorang. Tinggal bilang namanya dan voila, Bapak/Ibu Kuncen akan menjadi seperti google map ehehe.
Melalui pengamatan saya, menurut saya Teh Hani tuh orang Bandung. Terima kasih atas tulisannya Teh. Serasa ikut setiap detailnya setiap detiknya dalam perjalanan Teteh.
waah seru juga nih “berpetualang” mengusuri akar keluarga. saya jadi pengen ikutan juga “kenal” dengan uyut saya daru pihak ibu dan bapak. beda kota pula, bisa sekalian ketemu sanak saudara, tanya ini itu layaknya detektif sembari menyimak cerita seru uyut masa lalu.