Makassar merupakan kota kelahiranku sebagai anak ketiga, ketika Ibu mengikuti Ayah yang ditugaskan di sana sebagai abdi negara. Seperti halnya hampir semua abdi negara harus bersedia ditempatkan di mana saja.
Ketika aku berusia 3 tahun, Ayah dipindahtugaskan ke Magelang. Tidak banyak yang bisa diingat oleh anak usia 3 tahun yang diboyong bersama kakak laki, usia 11 tahun, dan kakak perempuan, usia 8 tahun. Hanya ada foto jadul, di atas kapal yang membawa kami menyeberang ke pulau Jawa.
Di Magelang, anggota bertambah dua orang, adik laki-laki dan perempuan. Lengkaplah putra-putri Ayah-Ibu menjadi lima orang.
Di kota yang dikenal sebagai kota pendidikan militer inilah aku mulai menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak tak jauh dari rumah. Selepas TK melanjutkan ke Sekolah Dasar Kartika Chandra hanya sampai kelas 1 SD.
Ayah dipindahtugaskan oleh kesatuannya ke Jakarta, dan kami menempati rumah dinas di daerah Sunter serta bersekolah di sekitar Lapangan Banteng. Mulailah kisahku pindah sekolah berkali-kali.
Pindah Sekolah Pertama
Hari-hari selanjutnya kalau berangkat sekolah kami bareng-bareng kakak-kakak dan Ayah naik mobil tentara.
Pertama mendrop kakak laki di sekolahnya, sebuah SMA di jalan Menteng, kemudian aku dan kakak perempuan di sekitar Lapangan Banteng. Waktu itu aku kelas 2 SD sedangkan kakak sudah SMP.
Sebagai anak baru pindah sekolah maka aku pun diminta memperkenalkan diri di depan kelas.
Baru juga dua tahun sekolah, Ayah dipindahtugaskan lagi untuk ke sekian kalinya.
Biasanya sebelum Ayah pindah tugas, anak-anak diberitahu kalau kami akan pindah lagi.
Itu sebabnya di rumah kami ada beberapa peti berukuran 1×1.5 m setinggi kira-kira 60 cm. Peti-peti tersebut ada yang terbuat dari kayu atau logam, kurang tahu sih bahan tepatnya.
Jadi kalau akan pindah, Ayah-Ibu bruk-bruk menempatkan berbagai barang yang akan dibawa pindah ke dalam peti-peti tersebut.
Waktu itu sedang ada gejolak politik di Indonesia yang dikenal sebagai peristiwa G-30-S PKI. Di masa tersebut hubungan politik Indonesia dengan negara komunis memang tidak baik.
Nah, kok ya, waktu itu kata Ibu, Ayah akan ditugaskan sebagai Atase Militer di Moskow. Gimana ceritanya, hubungan negara sedang genting, Ayah malah akan dikirim ke sana. Otomatis kami sekeluarga akan diboyong serta, kan.
Waktu itu belum zamannya seperti keluarga masa kini, long distance marriage. Ayah setiap pindah akan membawa serta seluruh keluarganya.
Ayah-Ibu dulu menikah di Purwodadi, tempat kelahiran Ibu. Kakak pertama laki-laki lahir di Purwodadi, kemudian Ayah pindah menempuh pendidikan di Jakarta. Di Jakarta lahir anak ke dua, kakak perempuan. Lalu lima tahun kemudian pindah ke Makassar.
Selama enam bulan ternyata belum ada keputusan kapan keluarga harus berangkat, sementara barang-barang sudah masuk peti pula.
Di kemudian hari, ternyata ada keputusan baru, Ayah akan ditempatkan di Beograd, Yugoslavia. Sekarang negara ini sudah terpecah belah sih jadi enam atau tujuh negara Balkan. Beograd sekarang ibukota Serbia.
Lalu bagaimana dengan sekolah anak-anak nih?
Pindah Ke Luar Negeri
Di luar negeri, Ayah memutuskan tidak menyekolahkan anak-anak ke sekolah internasional. Kata Ibu, sekolah internasional mahal, sehingga Ayah memilih menyekolahkan kami di Sekolah Indonesia Beograd.
Hanya saja, sekolah Indonesia Beograd hanya ada sampai SD. Jadi, Ayah mengirim kakak laki-laki dan kakak perempuan ke Wassenaar, Den Haag, Belanda. Mereka berdua diasramakan di sana, untuk sekolah di Sekolah Indonesia Wassenaar.
Sedangkan adik-adik masih balita, disekolahkan semacam PAUD setempat.
Sebagai anak baru pindah sekolah, lagi-lagi harus berdiri depan kelas memperkenalkan diri.
Muridnya hanya empat orang yang sama-sama kelas 4 SD. Biasanya sesudah lulus SD akan lanjut ke Sekolah Indonesia negara lain yang ada SMP dan SMA-nya, atau sekolah internasional.
Tragedi Tak Terlupakan Dalam Keluarga
Waktu itu kakak sulung sudah menyelesaikan SMA-nya kemudian lanjut ke perguruan tinggi yang ada di Beograd. Sebenarnya saya agak lupa, nih, kakak perempuan masih di Wassenaar atau juga ke Beograd.
Ada suatu peristiwa tragis dalam keluarga.
Ceritanya, kakak sulung pulang dari suatu pesta di rumah Duta Besar, kemudian pulang kemalaman.
Kelalaian kami tidak mencabut kunci dalam rumah, sehingga ketika kakak mau masuk ke dalam rumah tidak bisa masuk. Keputusannya, kakak tidur di mobil menyalakan heater, karena waktu itu bulan November.
Keesokan harinya kakak sulung ditemui sudah wafat di mobil karena keracunan CO.
Singkat cerita, Ayah-Ibu membawa jenazah kakak pulang ke Indonesia dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.
Anak-anak ditinggal sementara ditemani oleh kerabat yang memang sejak awal ikut, berperan sebagai Nanny bagi adik-adik yang masih balita.
Pindah Lagi
Duka yang mendalam orang tua kami membuat Ayah mengajukan pindah tugas ke tempat lain.
Kali ini Ayah mendapat posisi yang sama sebagai Atase Militer di Bonn, Jerman. Waktu itu Jerman masih terbagi dua, Jerman Barat dan Jerman Timur. Sehingga perwakilan pemerintah Indonesia ada di Bonn, bukan di Berlin seperti sekarang.
Lagi-lagi pindah sekolah…
Kali ini tapi ke sekolah setempat di Bonn, karena di Jerman tidak ada sekolah Indonesia. Begitu juga adik-adik yang mulai masuk TK dan SD.
Nah, bedanya sekolah di Jerman tuh, setingkat SD atau Grund Schule, hanya sampai kelas 4. Mulai kelas 5 sampai 3 SMA, namanya Gymnasium. Aku masuk Gymnasium.
Di sekolah ini, murid-murid warga negara asing dikelompokkan di satu kelas khusus bernama Auslanders Klasse. Selama satu tahun, kami dipantau nanti cocoknya masuk ke level berapa. Waktu itu sekelas bareng anak dari Brasil, Afganistan, Korea, Turki, dan lain-lain. Dari berbagai rentang usia sih.
Kakak perempuan kembali lagi ke Wassenaar, melanjutkan SMA-nya di Sekolah Indonesia.
Tak ingin pendidikanku bermasalah, maka ketika saatnya ujian SD, aku dikirim Ayah ke Wassenaar, dijebloskan ikut aja ujian SD. Waktu itu seasrama bareng kakak perempuan sih, jadi engga takut-takut amat.
Memang sih, ujian SD waktu itu mata pelajarannya cuma tiga, yaitu Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Pengetahuan Umum. Kalau tidak salah yang ikut ujian SD juga hanya tiga orang deh.
Di kemudian hari, ijazah SD ini berguna banget loh, ketika aku melamar sebagai pegawai negeri. Kan ditanya ijazah mulai dari SD, SMP, SMA, hingga Sarjana.
Penutup
Ketika saatnya Ayah selesai menjalankan tugas dan kembali ke Indonesia, maka ya berulang lagi, aku pamit berdiri di depan kelas karena mau pulang ke Indonesia.
Di Indonesia kenalan lagi di sekolah baru, sebuah SMP di jalan Cikini. Waktu itu kami pulang bulan Agustus, sedangkan tahun ajaran baru mulai bulan Januari. Pembagian masa sekolah masih catur wulan, bukan semester seperti sekarang. Puguh aja, rapotku kebakaran, merah semua deh.
Di Jerman mata pelajaran hanya sedikit, pulang ke Indonesia, ada mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, dll…
Pusing…
Itulah “Hal Berkesan di Masa Kecil (dan atau di Masa Sekolah)” Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2023.
Di tengah keseruan membaca cerita masa kecil Mbak Hani berpindah-pindah sekolah dengan segala pengalaman serunya, tahu-tahu ada sisipan kisah duka ketika kakak tiada. Sangat membuat sesak dada. Turut berduka teramat sangat.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Turut berduka bu Hani. Tapi pengalaman pindah-pindah dari satu kota bahkan antar negara pasti jadi pengalaman yang banyak bisa diceritakan ke anak-anak ya, campur aduk rasanya.
Terima kasih ya udah baca.
Tentang kakak, ada trauma tentu saja.
Dulu kalau anak² kuliah/kerja smp malam, akan aku tungguin smp masuk rumah. Ga ada ceritanya, anak pesan, Ibu tidur aja aku bawa kunci…
Trus…pada ga berani deh pulang tengah malem…☺️
Innalillahi. Pasti membekas di hati ya tragedi Kakak Sulung meninggal. Aku juga ga bisa bayangin Ibu Hani pindah sekolah terus dan pindah negara. Wah jadinya habis nikah di Bandung aja dong Bu, hehe
Turut berduka atas kejadian yang menimpa kakanda ????.
Masalah pindah pindah ini aku relate banget, baru punya teman udah pindah lagi, peti kayu itu juga dulu ortu saya punya…
Pas tulisan ini disetor, aku langsung baca tapi sulit berkata-kata. Teriring doa buat kakanda Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu ????
Kl dulu aku pindah2 rumah berkalanya masih skala kabupaten, bu Hani sudah skala internasional ????
ya Allah teh.. turut berduka ya teh.. allahumagfirlahu warhamhu waafihi wa fuanhu..
Masa kecil yang seru ya teh bisa mencoba bermacam budaya walaupun ada duka yang membekas..
Peluk teh Hani ….
Ya Allah … ternyata pindah sekolah berulang kali dengan segala suka dukanya.
Artikel favorit nih …
Bu Hani, turut berduka atas berpulangnya Kakak sulung. Saya bacanya sampai ikut syok. Pasti berat rasanya, sudah merantau jauh, tiba-tiba salah satu anggota keluarga meninggal ????
Soal pindah2 sekolah, sepertinya anak saya juga akan mengalaminya. ???? Cuma bedanya paling sekitaran US aja
Wah, Bu Hani bisa beberapa bahasa sepertinya ya ????
Nggak nyangka Bu Hani punya pengalaman setragis itu. Selama ini sering baca kasus seperti yang dialami almarhum kakak, hanya dalam cerita di media saja.
Teh Hani, sungguh pengalaman yang unik dan penuh khazanah wawasan. Masa kecil Teh Hani adalah masa kecil yang dulu pas kecil ingin saya jalani, ehehe, bisa berpindah-pindah kota apalagi pindah ke luar negeri. Tulisan Teteh jadi mewakili kepinginan yang saya idam-idamkan dulu. Terima kasih Teh. 🙂
Turut berduka cita atas meninggalnya Kakak, Teh :(… Bagian kisah ini membuat saya nyesek. Al Fatihah untuk Kakak Teh Hani…