Kali ini tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November merupakan bulan terakhir tantangan ngeblog di tahun 2024 yaitu tentang “Foto dan Ceritanya”. Seperti kita ketahui ada pepatah Tiongkok yang mengatakan bahwa “a picture is worth a thousand words”, artinya kurang lebih, hanya dari sebuah gambar bisa bercerita ribuan kata.
Nah, persoalannya dari setumpuk foto-foto zaman foto masih dicetak, yang tersimpan di album foto maupun tidak, dan juga foto digital ratusan Gigabyte bahkan mungkin mendekati Terabyte, saya bingung memilih foto yang meninggalkan kesan mendalam.
Persoalan lain adalah ada peristiwa yang cukup berkesan, tetapi tiga hari ubek-ubek cari foto-fotonya engga ketemu di folder, ketemunya malah di Facebook saya.
Kenapa Elang?
Pertama saya mau cerita dulu kenapa saya memilih judul “Ketika Elang Terbang”, lalu apa dan siapa Elang yang dimaksud.
Awalnya kami pernah menonton acara NatGeo yang menceritakan kehidupan kawanan burung elang yang membuat sarang di pegunungan batu. Saya lupa di negara mana, tetapi yang mengesankan adalah, ketika telur burung menetas dan menjadi piyik elang, tibalah mereka harus belajar terbang.
Apa yang dilakukan oleh induk elang? Ternyata induk elang dengan paruhnya mendorong saja piyik-piyik ini ke luar sarang yang ada di sisi-sisi tebing gunung. Pluuung…aja begitu. Elang kecil tersebut begitu disuntrungin ke luar sarang, dengan sendirinya malah mengepakkan sayap, terbang deh…
Ini merupakan cara ampuh seleksi alam, piyik yang tidak bisa mengepakkan sayap, auto terhempas ke bumi, kan…
Kenapa elang bisa begitu ya? Sedangkan manusia, anak dieman-eman, engga boleh kemana-mana, jadinya ketika dewasa engga bisa apa-apa, dan masih tergantung orang tua.
Waktu itu kami sekeluarga menonton film tersebut. Entah bagaimana saya dan suami sepakat, anak-anak harus dilepas ke luar sarang, harus terbang jauh dan tinggi. Anak-anak pun termotivasi dengan kisah elang ini. Terutama ditujukan kepada sulung kami, seorang putra. Anak kami dua orang, yang sulung, putra, dan adiknya, putri.
Mereka berdua beda usia 3 tahun 5 bulan, berbeda karakter, beda kemampuan akademis dan bakatnya. Si Mas pendiam, jarang cerita kejadian di sekolah, tidak terlalu pandai berhitung, zaman ketika jago matematik adalah standar anak pandai. Tetapi pandai bahasa dan feeling musiknya bagus. Jadi sejak SD kami les kan bahasa Inggris dekat rumah dan les piano.
Adiknya terlihat bakat menggambarnya sejak usia 3 tahun, sehingga sejak SD sering ikut lomba gambar, dan punya beberapa piala hasil menang lomba gambar. Walaupun sebetulnya ketika SMA bisa masuk jurusan IPA, tetapi lebih memilih IPS, karena enggan jumpa dengan pelajaran Fisika dan Kimia.
Catatan: Dulu setiap di antara kami ada yang ulangtahun, Diani, anak ke-2 selalu membuat ilustrasi di kartu ucapan selamat ulang tahun. Ilustasi di atas imaji Diani tentang kakaknya…
Melepas Elang
Selepas SMA, si Mas memilih jurusan Hubungan Internasional untuk melanjutkan pendidikan, sedangkan adiknya melanjutkan ke Desain Komunikasi Visual sesuai dengan cita-citanya sejak SD, mau jadi seniman.
Setelah lulus, Mas pernah menjadi guru bahasa Inggris di sebuah kursus bahasa di Bekasi, kemudian pindah lagi ke Bandung.
Sebelumnya, sempat ikut short course terlebih dahulu di Jakarta dan melepas “elang” merantau waktu itu tidak terlalu berat. Karena di Jakarta tinggalnya di rumah Mamah, praktis di rumah Eyang Uti-nya ya seperti di rumah sendiri.
Di mana Tanzania?
Pada suatu hari Mas cerita, bahwa dia bosan dengan pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris dan ingin mencari peluang baru. Menilik pendidikannya dari Hubungan Internasional sebetulnya bidang apa saja bisa.
Mas mengajukan lamaran untuk bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia sebagai staf lokal, melalui Kementrian Luar Negeri. Dari awal kami sekeluarga harus siap, apabila suatu saat lamaran diterima pastinya dia harus bersedia ditempatkan di KBRI manapun di seluruh dunia.
Dua minggu setelah lamaran disampaikan ke Kementrian Luar Negeri, Mas mendapat informasi bahwa dia harus ikut tes tertulis, berupa pengetahuan umum, bahasa Inggris dan komputer.
Sebulan kemudian dia dipanggil untuk wawancara.
Salah satu pertanyaan dari pewawancara adalah; apakah dia bersedia ditempatkan di Afrika?
Dengan pertimbangan bahwa seafrika-afrikanya, seseorang tidak akan ditempatkan di tengah hutan, Mas menyanggupinya.
Hampir dua bulan tidak ada berita, sementara itu dia tetap menjalankan tugasnya sebagai guru.
Sampai pada suatu hari dia diminta datang ke Kementrian Luar Negeri untuk bertemu dengan ‘user’ atau Duta Besar.
Tidak ada penjelasan sedikitpun beliau berkedudukan di negara mana.
Bapak Duta Besar bertanya kepada Mas: “Kamu tahu saya ditempatkan negara mana?”
Mas: “Tidak Pak”.
Bapak Duta Besar: “Tanzania”.
Waktu itu tahun 2010, komunikasi belum secanggih sekarang, adanya SMS.
Begini kira-kira sms Mas ke saya…
Di Bandung, saya tiba-tiba membaca di layar telpon genggam saya :
“TANZANIA”
Saya terpana, bingung, selintas, saya pikir … oh, dekat.
Tetapi saya tidak yakin … jangan-jangan saya keliru dengan Tasmania.
Saya sms kembali : “Di mana itu ?”
Daridaru : “Afrikaaaa laaah, disuruh pikir2 mantapin dulu sama pak dubes.
Udah dikasih no tlpnya.”
Langsung, sms tersebut saya forward ke saudara-saudara saya.
Mereka semua mendukung, karena sangat berguna untuk menambah pengalaman si Mas.
Ke Tanzania Naik Angkot
Membayangkan melepas Elang ke tempat yang ribuan kilometer jaraknya dari kota Bandung saya rada-rada overthinking sih. Walaupun sebagai staf lokal di sebuah kedutaan, yang sering dipandang sebelah mata, karena bukan diplomat, kami mempersiapkannya sebaik mungkin.
Apalagi kontraknya dua tahun, engga mungkinlah kami menengok ke sana. Sebuah negara di Afrika yang saya bayangkan, kuno, jauh dari peradaban, gimana kalau sakit, dan kepikiran lainnya.
Persiapan awal minimal outfit, baju, segala situasi, mulai dari santai hingga resmi, sepatu, serta koper yang cocok.
Pendek cerita, persiapan sudah lengkap sih sepertinya. Surat tugas dari Kedutaan Republik Indonesia di Dar Es Salaam, Tanzania, dan tiket maskapai Emirat sekali jalan pun juga sudah di tangan.
Nah, tibalah hari Mas akan berangkat ke luar negeri, sendiri. Rencananya kami akan mengantar ramai-ramai sampai bandara Cengkareng, lalu pulang lagi ke Bandung. Memang agak norak sih, biarin deh…Toh, cuma kami saja yang tahu kenorakan ini.
Persiapan yang rasanya sudah perfek banget tuh, ada yang ke-skip. Kami lupa menyiapkan transportasi dari rumah ke pool bus bandara Primajasa, yang jaraknya hanya 2.8 km dari rumah.
Lupa telepon semalam pesan taxi Blue Bird untuk jemput ke rumah. Belum ada aplikasi ini-itu buat pesan transportasi.
Suami pun jalan untuk cari taxi, karena bayangan kami, taxi-taxi ini suka mangkal di jalan Buah Batu, di belakang rumah kami, 500 m dari rumah. Apa mau dikata, engga ada sebuah pun taxi yang mangkal. Segala taxi yang biasanya deret-deret, tak ada sebuah pun…Saya lupa, ada kejadian apa hari Sabtu sore itu, sampai tidak ada satupun taxi.
Engga kepikir juga minta tolong tetangga, apalagi dadakan. Kami tinggal di kompleks dan saya memang tidak terlalu ember dengan kehidupan kami. Dilihat-lihat juga, mobil tetangga kecil-kecil, engga mungkin mengantarkan empat orang plus dua koper besar ke pool angkutan pemadu moda.
Akhirnya suami keidean carter angkot Buah Batu – Sederhana, yang lewat di jalan Buah Batu, untuk mengantarkan kami. Naiklah kami berempat lengkap dengan koper ke tujuan akhir Tanzania…eh…bukan, pool Primajasa lah…
Sepanjang perjalanan yang pendek itu, kami tak henti-hentinya tergelak. Duh…saya sampai ke luar air mata sangking geli, apalagi lihat wajah Mas yang manyun.
Foto-foto pun kami share ke Facebook, dan berbagai komentar dari saudara pun ramai. Waktu itu memang masih zamannya FB, belum ada IG.
Kumpulan foto-foto mengantar Mas merantau
Kami tiba di bandara dengan selamat, makan malam bersama, dan menemani Mas hingga siap check-in kira-kira pukul 11 malam.
Apakah persoalan selesai?
Ternyata belum gaez…
Waktu itu kami sudah naik ke bus Primajasa lagi bersiap kembali ke Bandung. Ujug-ujug Mas telepon.
Katanya, tiket yang hanya sekali jalan di tangan Mas tidak diterima petugas maskapai Emirat. Menurut ground staff, Mas harus punya tiket bolak-balik. Lah, bagaimana? Kan masih dua tahun lagi.
Mosok ya, Mas harus beli tiket untuk pulang, kalau engga dipakai nanti direimburs di Tanzania. Mas saya minta telepon staf Kedutaan di Tanzania, ceritakan permasalahannya.
Kami pun buru-buru turun dari bus, tunggang-langgang kembali ke terminal keberangkatan. Engga mau pikir panjang lagi, saya dan suami ke ATM ambil uang tunai seharga tiket. Tabungan segitu-gitunya, saya ambil berapa, suami ambil berapa, pokoknya digabung 11 juta CASH. Jaga-jaga misalnya, betul seperti kata petugas, Mas harus punya tiket pulang.
Mas yang siap boarding ke luar dulu, mengambil uang, lalu masuk kembali. Kami menunggu dulu, harus yakin dulu sampai Mas memang boarding.
Tak lama, Mas telepon lagi, boleh berangkat, jadi ke luar lagi dari pintu khusus, mengembalikan uang yang engga jadi buat beli tiket.
Huf…alhamdulillah. Kami pun akhirnya bertiga kembali ke Bandung naik bus Primajasa terakhir, sambil saya memeluk segepok duit.
Penutup
Besok-besoknya saya ber-SMS dengan Mas, menanyakan kabar, tinggal di mana, dan situasi di sana seperti apa. Komunikasi pun masih terbatas, agak ribet harus ganti kartu lokal dulu dan seterusnya.
Mas pun mengirim foto Kedutaan Besar Indonesia, di Dar es Salaam, Tanzania.
Tapi so far aman sih dan saya tidak berhenti berdoa, agar Mas bisa menjalankan tugas dengan baik di sana.
Cerita Mas dan foto-foto selama di sana, sempat saya kumpulkan dan upload ke blog yang khusus dibuat untuknya, judulnya Hakuna Matata – Elang di Negeri Para Singa di sini https://daridaru.wordpress.com/
Saya buat juga Youtube kenangan Mas di sana ketika Trip ke Zanzibar, sebuah pulau kecil di Tanzania. Saya bikinnya pakai Photoshop CS3, berdasarkan foto-foto yang dikirim, walaupun kalau disuruh bikin lagi lupa caranya…Gitu kalik ya orang kalau kangen/ galau malah bisa bikin apa aja…
Sekarang Elang di mana? Sudah pulang dan membuat sarangnya sendiri.
Ya Allah Teh Hani kisahnya bikin ikut ngakak ini episode naik angkot. Lalu ikut terharu saat melepaskan Mas di bandara.
Sekali lagi suka banget sama gambarnya teh Diani.
Pasti seru banget si mas di Tazania, sampai Zanzibar juga. Sempat ke Zimbabwe gak? Cape Town kayaknya seru juga hehehe..
Kisah Elang yang mengharukan dan penuh tantangan hehe. Sempat aja Bu Hani mengabadikan lewat foto.
Jadi ikut nyengir, sekaligus terpana, Lah orang mau balik 2 tahun lagi, kok bisa-bisanya diminta tiket PP? Memangnya harganya bakal tetep segitu juga 2 tahun yang akan datang hihi.
Pasti seru banget si mas di Tazania, sampai Zanzibar juga. Sempat ke Zimbabwe gak? Cape Town kayaknya seru juga hehehe..
Wkwkwkw! Drama banget itu perjalanan naik angkot menuju Tanzania. Saya yang bacanya aja sampai ngikik. Kebayang banget kerempongannya sata itu. Tapi, pastinya juga bakal jadi sesuatu yang dikenang banget
Wow, cerita ini bener-bener menginspirasi!
Terharu dengan cerita kalian, suka dukanya segitunya yaaa di jaman minim internet – taksol ga ada! Untung si pak angkot baik hati ya… Perjuangan suami Mbak Hani dan mbak Haninya sendiri, yang gigih banget pokoke gimana caranya bisa terbang ke Tanzania itu luar biasa! Mengingatkan kita bahwa keinginan dan semangat untuk mencapai tujuan itu nggak boleh padam, meskipun tantangan datang. Kisah ini bener-bener memberi semangat untuk terus berjuang, apapun yang terjadi.
Terima kasih, Mbak Hani, sudah berbagi kisah yang penuh arti dan motivasi. Semoga semakin banyak yang terinspirasi untuk tidak menyerah dalam meraih mimpi! Cemunguuut!
MasyaAllah aku ikut seneng, ikut haru, ikut deg2an baca ceritanya, Teh…
Jadi menginspirasi untuk melepas elang2ku juga nih kalo nanti mereka pada dewasa.
Tapiiii… salah satu yang bikin khawatir zaman sekarang banyak banget scam2 itu, loh…
org jahat saat ini itu banyak banget dan modusnya juga beragam.
Tapiiii harus yakin elang akan tetap jadi elang dimanapun berada.
Terimaksih sudah berbagi, Teh…
Cerita ini penuh emosi dan perjuangan! Salut banget sama keberanian Mba Hanni untuk terbang jauh seperti elang, apalagi sampai Tanzania! Mba Hanni juga pasti punya banyak pengalaman unik saat melepas anak ke luar sarang juga. Share juga Mba Hanni, siapa tahu bisa saling menginspirasi. Hehehe
Wow keren, serasa ikut jadi bagian keluarga Mbak Hani
jadi ngiri mbak, bisa seakrab itu dengan anak-anak
Sayang, usaha saya terhalang banyaknya “orangtua” di rumah
Tapi ya sudahlah harus legowo, karena setiap jalan ada hikmahnya
MashaAllah, saya pelan2 bacanya Mbak Hani. Betapa saya ikut merasakan bagaimana sang Elang menjadi mandiri, merantau ke Afrika, hingga akhirnya kini sudah kembali dan membuat sarang sendiri.
Saat banyak Ibu tak ingin anak2nya berada di dekat mereka, saya malah punya pendapat berbeda. Seperti halnya saya dan suami yang besar pengalaman dari merantau, saya juga ingin anak2 saya mendapatkan cerita yang sama. Karena sesungguhnya dengan merantaulah banyak cerita hidup yang akan terus terkenang sepanjang masa. Diri juga mampu tegak di atas kaki sendiri, mampu mengambil keputusan dengan baik, dan semakin kuat berisi baik secara ilmu maupun melamati makna kehidupan.
BTW, cerita Diani gimana Mbak Hani. Duh saya suka deh dengan karya ilustrasinya. Beneran cocok dari anak DKV.
TFS Mbak Hani. Suka sekali dengan tulisannya.
Karya Diani unik…bagus euy!
Ketika elang terbang…menginspirasi cerita tentang si Sulung Mbak Hani.
Kurang lebih sama, karena saya (dan suami) sejak lulus SMA sudah jauh dari orangtua, maka sekarang ke anak-anak pun sama. Saat ini si sulung kuliah di Prancis, Insya Allah dua tahun lagi adiknya nyusul ke negara tetangganya. Mereka berniat kerja juga di luar Indonesia. Saya dan Bapaknya tinggal bersiap melepas elang-elang ini terbang tinggi…
Wow, terbang sampai ke Afrika, khususnya Tanzania. Keren banget mbak, kisahnya. Menarik sekaligus bisa memotivasi pembaca untuk tidak takut terhadap tantangan dan mengurangi keraguan demi mencapai mimpi.
Asli ngakak saya bacanya. Mulai dari anak piyik disuntrungkeun… (Eta bahasa mana, yg lain kemungkinan roaming, pan…) Sampai naik angkot dan akhirnya si elang udah pulang bikin sarang sendiri. Hihi… Seru ya
Tapi betul juga… Meksi saya mengalami dan bukan untuk kuliah, melainkan keluar untuk kuli, berangkat keluar negeri peluang mandiri dan bisa survive nya itu beda banget dengan yg terbiasa makan tidak makan asal kumpul…
MashaAllaa~
mau ikutan nangiiss, boleh teh?
Hihihi.. ada lucunya, ada meweknyaa… meweknya pas bagian melepas anak untuk terbang tinggi.
Di satu sisi, pastinya bangga karena mas bisa mencapai apa yang dicita-citakan. Tapi di sisi lain, ya Allaah.. berat sekali pisah ke Tasmania.. Eh Tanzaniaa..
Hehhee.. teteh lucuu iih.. pingin baca kisahnya lagii.. kalo dibukukan, bisa kaya Radit, teh..
Apalagi ada ilustratornya dari ka Dianii..
Masyallah mbak ceritanya mbak yang mengantar mas di bandara ini asli membuatku ikutan deg-degan juga lho. Sukses ya mbak buat mas nya…
CERITANYA SERUUU! WOW, TANZANIA. SEJAUH ITU.
Saya selalu membayangkan bisa mengunjungi atau bahkan tinggal di negara-negara jauh antimainstream itu.
Baca cerita awalnya, membuat saya teringat dulu saat kecil dan remaja juga sering menonton tayangan satwa di TV bersama keluarga.
Sukses untuk kedua anaknya, teh Hani!
Aku malah ngebayangin bengongnya ketika baca chat tulisan ‘Tanzania’ :)) ngga kebayang punya anak laki tiba2 harus terbang ke Afrika. Pasti awalnya berat. Hehe semoga aku juga bisa ngelepas anak seperti burung Elang
Pengalaman kerja yang luar biasa banget ini ya. Kocak bener yang soal sampai harus naik angkot.
Aku suka dengan gambar ilustrasi yang dibuat sama adiknya Elang. Ceritanya jadi semakin menarik. Cerita naik angkot sampai pulang memeluk segepok duit juga seru banget. Bacanya aja seru, yang ngalamin pasti lebih seru lagi campur deg-deg an nih, hehehe…
Analogi kehidupan elang untuk melepas anak-anak agar berani “terbang” sendiri, benar-benar menginspirasi, Teh. 🥹
Sekaligus mengajarkan keberanian menghadapi tantangan hidup.
Tulisan Teh Hani sungguh menggambarkan kehangatan keluarga dalam mendampingi proses “terbang” ananda. Sikap Teteh dan Suami yang rela melepas mereka untuk mandiri menunjukkan kekuatan cinta orang tua yang sejati, mendukung meskipun harus berjauhan… 🥰
huhuhu kalau ibu saya pasti udah gak boleh tuh hehehe… bener-bener dibalik keikhlas-an seorang ibu melepas anaknya untuk sukses akan membawa kesuksesan itu sendiri.