Saya dan suami kebetulan sama-sama dari keluarga Jawa, beda wilayah. Bapak-ibu dari Jawa Tengah, sedangkan bapak-ibu mertua dari Jawa Timur, tepatnya Malang.
Ketika saya dan suami menikah diselimuti dengan upacara adat Jawa, mulai dari pasang bleketepe, siraman, midodareni, akad pakai baju adat Jawa, prosesi adat lengkap, dan resepsi.
Ketika tiba saatnya menikahkan anak, beda cerita karena zaman sudah digital dan ada beberapa hal yang lebih praktis.
Bandung-Dar Es Salam-Beograd
Pada suatu hari putra sulung saya, Daru, yang sedang merantau di Dar Es Salam, Tanzania (Afrika) menyatakan melalui telepon ingin menikah dengan gadis pilihannya.
Gadis ini, Muthia namanya, dulunya sama-sama pengajar di LIA, Bandung. Posisi sekarang, Muthia dan ayah-ibunya ikut keluarga adiknya, seorang diplomat di Beograd, Serbia, sebuah negara di Eropa Timur.
Dulu banget, ketika saya SD, pernah ikut ayah yang bertugas sebagai atase pertahanan di Beograd, dulu masih ibu kota Yugoslavia. Sebelum perang saudara, yang menjadikan Yugoslavia pecah menjadi 7 negara di tahun 1990-an.
Sebagai anak laki, ya bisa sih, dia pergi aja ke Beograd, menikahi gadis pilihannya. Engga perlu wali nikah, seperti saya dulu. Tapi euy, udahlah anak cuma dua, ya adalah peristiwa melepas anak membuat sarangnya sendiri.
Jadi kami melakukan proses lamaran melalui Skype, anak saya di Dar Es Salam, ibu kota Tanzania, kami di Bandung, dan orang tua Muthia di Beograd.
Pendek cerita, anak saya tidak memperpanjang kontrak di Tanzania, dan memilih kembali ke Bandung melanjutkan pendidikan. Sementara itu saya mempersiapkan segala sesuatunya untuk menikahkan anak kami di Beograd, dan menjemput menantu ke Indonesia.
Kok repot sih, pakai dijemput segala, kenapa engga tunggu pulang aja semuanya, lalu menikahkan mereka di Indonesia?
Ada alasan emosional dari saya pribadi sih. Saya tuh pengen nengok rumah masa kecil saya di Beograd. Kayaknya kesempatan engga datang dua kali kayak gini, jangan dilewatkan dong…
Persiapan Menikah di Luar Negeri
Kebetulan lagi, calon besan saya dari Jawa Tengah, campur sih, kalo ga salah ada Sunda-nya juga. Jadi disepakati, nanti anak-anak menikah akan memakai baju adat Jawa.
Selain kami menyiapkan berkas-berkas administrasi, saya pun berburu tiket ke Beograd, ibu kota Serbia. Tidak banyak agen wisata yang bisa mencarikan tiket Jakarta-Beograd, berangkat berempat, pulang berlima.
Rencananya adik laki saya juga ingin hadir, nantinya dia akan jadi saksi pernikahan keponakannya.
Rupanya dia pun ingin lah napak tilas ke rumah masa kecil kami.
Hal yang tidak kalau seru adalah, menyiapkan baju adat Jawa. Untungnya kalau baju bisa menyewa ke teman suami, yang sejak dirumahkan, alih profesi jadi perias pengantin Jawa bersama istrinya.
Baju mempelai pria, beskap suami dan calon besan laki beserta kain dan selop, aman.
Kain untuk saya dan calon besan perempuan, aman. Disepakati baju atasnya kebaya kurung saja dari bahan brokat, warna kuning pucat.
Ternyata sampai Beograd, kuningnya beda tone. Soalnya kan menentukan warna dari foto.
Kebaya buat calon pengantin perempuan gimana?
Mahal kan kalo ngejahitin di luar negeri.


beli kain brokat sudah berpayet
Saya dan anak perempuan berburu brokat putih yang sudah dilengkapi payet, supaya engga perlu ongkos pasang payet. Alhamdulillah dapet sesuai spek di toko kain jalan Sudirman, Bandung.
Calon menantu kirim foto, wedding kebaya sesuai impian kayak apa.
Saya minta ukuran badannya, lalu bawa kainnya ke penjahit di belakang rumah saya.
Tarra, jadilah kebayanya.
Tinggal mencari selop pasangannya dan pernak-pernik untuk rias pengantinnya.
Dulu ketika menikah ada juru rias pengantin Jawa yang khusus merias saya. Riasan berupa paes yang dahi dikerik lalu digambar dan dipulas celak.
Lah, gimana caranya nanti merias Muthia yak?
Saya ke Pasar Baru lantai dasar di area belakang bareng anak perempuan. Di sana ada los-los khusus perlengkapan pengantin berbagai suku, mulai dari baju, sanggul, perhiasan, hingga kotak seserahan ada semua.
Ternyata, zaman sekarang, paes ada yang berupa stiker dong. Jadi tinggal tempelin aja bentuk lengkung dan runcing itu di dahi, biar rapi dipulas lagi dengan celak.
Menikah di Masjid Bajrakli Dzamija
Pendek cerita, setelah menempuh perjalanan lebih dari 8 jam, transit di Doba, lalu pindah pesawat di Ankara, tibalah kami di Bandar Udara Nikola Tesla, Beograd.
Kami tiba dua hari sebelum hari H, jadi masih ada persiapan untuk acara lamaran sederhana di apartemen calon besan.

Daru dan Muthia menikah di satu-satunya masjid tua yang tersisa di Beograd.
Masjid Bajrakli Dzamija didirikan sekitar tahun 1575, salah satu dari 273 masjid yang pernah ada di kota Beograd di era kekuasaan bangsa Turki. Sedangkan Serbia sekarang merupakan negara sosialis.

Masjid ini merupakan bangunan tunggal dilengkapi dengan kubah dan minaret. Seperti halnya bangunan-bangunan di era Byzantium, teknologi bentuk kubah berasal dari susunan konstruksi batu pada bentang tertentu.
Mereka dinikahkan oleh Imam Masjid, seorang warga Bosnia. Ijab kabul mulanya dipandu dalam bahasa Arab. Kami siapkan juga teksnya dalam bahasa Inggris, supaya dimengerti oleh hadirin.

Uniknya teman-teman Muthia di sana yang merupakan perempuan Serbia turut hadir dan berbalut dreskode baju nasional yang pinjam dari KBRI dan berkerudung.

Upacara Adat Jawa
Setelah akad di masjid, kami pun menuju ke Villa Jelena, sebuah ruang pertemuan untuk melangsungkan prosesi upacara pernikahan adat Jawa.
Tamu-tamu sudah hadir, rata-rata warga Indonesia yang ada di Beograd, staf KBRI hingga Duta Besar, termasuk juga tamu undangan lainnya.
Cukup surprise karena di antara tamu ada, Om Monang Panjaitan, staf KBRI menikah dengan perempuan lokal, yang masih ingat ayah saya.
Prosesi panggih, berlangsung cukup lancar dan seru, apalagi ada acara “balang sirih”, yang daun sirihnya bawa dari Bandung. Memang tidak selengkap prosesi adat Jawa zaman saya menikah dulu, tapi cukup mewakili sih.




Keseruan makin lengkap dengan tari-tarian yang dibawakan oleh perempuan Serbia, teman-temannya Muthia.
Mereka membawakan Tari Serimpi, Tari Pendet, dan Tari Saman. Luwes banget loh mereka menarinya. Siapa yang mengajar mereka sih?
Muthia yang mengajar mereka menari.



Penutup
Ini karena “Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog” tema “Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan” host-nya Mamah Sari, saya jadi cerita menikahkan anak di luar negeri pakai adat Jawa. Upacara pernikahan ini menjadi semacam mengenalkan kekayaan budaya Nusantara di Beograd.
Saya kayak masuk time tunnel sih waktu itu, karena setelah resepsi, kami diberi izin untuk bertamu ke rumah Atase Pertahanan, Bapak Sitanggang.
Akhirnya saya dan adik laki, menginjak lagi rumah masa kecil kami, house full of memory berkelebatan dalam satu waktu.




Seru sekali Mbak, menikahkan anak di luar negeri. Kebayang bahagianya mempersiapkan segala sesuatunya terutama persiapan proses acara adat hingga terlaksananya acara itu. Bagaimana kabar pengantinnya sekarang? Sudah ada cucu?
Semoga semua bahagia dan sang pengantin terus menjalani pernikahannya dengan sakina mawaddah warahmah. Amin.
Masya Allah. Merinding bacanya, Bu. Ternyata bisa juga ya, mengadakan upacara adat di negeri orang 😍😍
Wah, kebayang serunya. Penasaran, bawa daun sirih gimana ngumpetinnya bu Hani biar tetap segar tapi nggak kena cek imigrasi.hehehe
Wah lumayan juga ya usahanya membawa tradisi Jawa ke Beograd. Aura Jawanya kerasa dari foto juga.
Wah, saya ikut terharu. Kebayang sibuknya ngurus semuanya karena acaranya di LN. Ngurus di dalam negri aja udah rempong ya..
Tari-tarian itu, masyaAllah. Keren dan pasti menjadi kenngan manis.
Ternyata di KBRI bisa pinjam kebaya ya. Kerasa banget atmosfer nikahan dan krusialnya. Aku penasaran lamaran via Skype nya deh.
Seru sekali pengalamannya. Menikah di dalam negeri aja bisa ribet ya, apalagi ini di luar negeri. Yang segala perintilan harus dicari dan dibawakan antar tempat yang sangat jauh. Teh Hani menceritakannya serasa simpel gitu.
Masya Allah teh Hani😍. Salut dengan totalitas dan kecintaan Teteh terhadap budaya kita. Membawa kebaya, busana adat, dan seluruh pernak-pernik tradisi Jawa hingga ke Beograd, lalu mengemasnya dengan begitu apik. Benar-benar effort yang menggetarkan hati.
Belum lagi tari-tarian yang dipersembahkan teman-teman ananda menantu, semakin menambah kekayaan rasa di momen sakral ini.
Such a heartwarming unforgettable moment…. 🥰
Wah masyaAllah.. senang banget bacanya! Ikut bahagia dan jadi membayangkan masa depan. Semoga Allah berikan rezeki umur panjang dan kemampuan untuk bisa menikahkan tiga anak perempuan kami ini, di lokasi terbaik yang dipilihkan Allah SWT untuk mereka masing-masing. amiin YRA.