Bulan Oktober tahun lalu saya dan suami ada acara penelitian bersama di kota Solo, yang mulainya hari Jum’at siang. Sebetulnya oleh koordinator grup, kami sudah dipesankan hotel di jalan Slamet Riyadi. Supaya tidak terlalu mepet dan lelah, kami memutuskan berangkat dari Bandung hari Kamis, naik kereta Lodaya pagi, sehingga punya waktu semalam lebih dahulu daripada teman-teman lainnya.
Sejarah Hotel Trio
Di Bandung, setelah mempertimbangkan dan pilah-pilih, saya akhirnya memutuskan menginap di Hotel Trio Solo. Kalau melihat review di aplikasi OTA dan berbagai info di media online, reviewnya cukup baik. Paling ada satu-dua yang mempermasalahkan tentang sarapan. Rata-rata menuliskan kalau hotelnya bersih dan stafnya ramah.
Saya tertarik booking hotel ini karena cerita sejarah di baliknya. Apalagi kalau melihat fotonya, hotel berwarna hijau ini cukup unik dengan gaya arsitektur campuran. Ada kesan arsitektur Kolonial dan etnik seperti rumah-rumah Jawa zaman dulu. Gaya arsitektur campuran kalau di ilmu arsitektur namanya Gaya Eklektik, yaitu menggabungkan berbagai elemen dari gaya arsitektur yang berbeda-beda. Bayangkan sebuah bangunan yang memadukan unsur-unsur klasik, modern, dan bahkan tradisional dalam satu desain.
Dari berbagai informasi yang saya peroleh, Hotel Trio ini didirikan tahun 1932, saat perkembangan Kota Surakarta menuju kota modern pada awal abad ke-20. Menurut beberapa artikel lainnya, sebetulnya ada bangunan kembar di seberangnya, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi.
Awalnya bangunan ini merupakan rumah tinggal yang dimiliki oleh keluarga Tjokro Soemarto, seorang saudagar batik terkemuka awal abad ke-19 di Laweyan. Bangunan terdiri dari dua lantai, empat kamar di bawah dan empat kamar di atas. Dalam beberapa artikel disebutkan bangunan ini direncanakan awalnya adalah rumah tinggal, kemudian disewa oleh Tjoa Boen King. Seorang saudara Tjoe Boen King yang mengelola hotel mencari bangunan sebagai perluasan hotelnya, dipilihlah rumah yang disewa oleh Tjoa Boen King ini.
Di kemudian hari Hotel Trio ini dikelola oleh keturunan Tjoa Boen King hingga sekarang.
Sekira tahun 1970-an di halaman belakang Hotel Trio dibangun perluasan hotel berupa bangunan dua lantai dengan deretan kamar yang lebih banyak.
Gaya Arsitektur Eklektik Hotel Trio

Hari Kamis sore itu saya dan suami dari Stasiun Solo Balapan menuju lokasi Hotel Trio di Jalan Urip Sumoharjo No. 25, Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Solo, di antara deretan pertokoan sebelah utara Pasar Gede Hardjonagoro.
Supir Grab yang membawa kami baru tahu ada hotel jadul di sekitar pasar ini, mungkin juga agak heran kenapa kami memilih hotel ini.
Hotel Trio terlihat cantik berwarna hijau dengan detail ornamen di sana-sini, yang bila kita amati teliti jadi paham latarbelakang hotel ini disebut bergaya eklektik. Di atas terlihat balkon selebar seluruh muka bangunan dan luasnya sama dengan teras di bawahnya. Bangunan ini simetris dengan tiga pintu yang juga simetris.
Menurut terminologi, EKLEKTIK, berasal dari bahasa Yunani “eklektikos” yang berarti “pemilih” atau “memilih dengan cermat”.
Hotel Trio ini memadukan tiga unsur gaya bangunan, yakni tradisional Jawa, Eropa, dan Cina. Masing-masing memiliki karakter sendiri. Gaya tradisional Jawa lebih menekankan penggunaan tiga pintu simetris, lampu jadul yang ada di plafon balkon dan plafon teras.


Gaya Eropa terlihat pada ornamen lis tembok dan atap, fasad depan, bagian atas bangunan ada bentuk segitiga dan patung burung. Kemudian penggunaan kolom besi ukir gaya Corintian (berukir bunga-bunga). Detail kolom besar juga dijumpai di dalam bangunan dengan pengakhiran bagian atas berbentuk busur.
Sedangkan gaya tradisional Cina menekankan feng shui atau tata ruang rumah, pemilihan warna, motif lantai, dan detail-detail ornamen khas rumah-rumah Tionghoa.


Dari luar hingga belakang masih utuh lantai tegel motif flora tiga macam. Tegel batu marmer dan lantai kayu di lantai dua pun masih dipertahankan.
Di sana-sini masih terpajang furnitur jadul terbuat dari kayu dengan bentuk tahun 1950-an yang mungkin ada juga di rumah nenek.

Kesan Menginap di Hotel Trio
Ketika saya mencari informasi kamar di aplikasi Traveloka, Hotel Trio Solo tinggal empat kamar yang tersisa. Pikir saya, banyak juga yang booking hotel ini, sepertinya pertimbangan dari segi harga. Apalagi di akhir Oktober tersebut ada acara haul seorang Habib di kota Solo, jadi perkiraannya semua hotel fully booked.
Hanya sedikit pilihan kamar, Superior seluas 12 m2 dengan pilihan twin bed dan kamar Deluxe Family seluas 24 m2 terdiri dari satu double bed dan satu single bed. Semua kamar ada kamar mandi dalam, teras atau balkon, dan AC.
Ketika kami tiba di Hotel Trio Solo, saya pun check in dan melakukan pembayaran. Pembayaran hanya diterima dalam bentuk cash atau m-Banking, tidak ada layanan kartu kredit. Itu sebabnya ketika booking di aplikasi, ada notif kalau pembayaran dilakukan di hotel setelah tiba.
Di dinding lobby terpampang kliping dari koran yang memuat kisah perjalanan dan sejarah Hotel Trio Solo.


Kami pun di antar ke belakang ke gedung baru. Saya memang request kamar di bawah, supaya tidak payah bawa-bawa koper naik ke atas, dan besoknya turun-naik tangga lagi.
Di depan tiap kamar ada meja kecil dan dua kursi kayu, dari luar tampak tirai hijau berlipit menutupi jendela. Kunci pintu standar, belum memakai security key seperti di hotel-hotel berbintang.


Kamarnya tidak luas, dug-deg kalau istilah orang Sunda. Tapi cukuplah, ada space untuk sholat. Tampak dua tempat tidur atau twin bed, diseling meja kecil dan dekat jendela ada meja dan kursi.
“Ibu sebelah mana?”, begitu tanya suami selalu bila kami bepergian berdua ke luar kota.
Saya selalu memilih area yang jauh dari hembusan AC, jadi saya memilih dekat pintu.
Kemudian saya mencek kamar mandi, hal yang selalu saya lakukan begitu check in hotel.
Sebetulnya sih, saya sudah lihat di aplikasi tentang hotel ini, tapi engga duga, bahwa saya mendapatkan type kamar mandi plek seperti di aplikasi.
Jadi kamar mandinya tuh pakai bak, seperti kamar mandi rumahan. Saya lihat ada dua kran di dinding KM, ketika saya nyalakan, satu panas satu dingin. Jadi ini konsepnya isi bak dengan air hangat, baru mandi gebyur-gebyur kayaknya sih…
Ternyata di kamar tuh Wi-fi lelet, dan sinyal HP dari provider merah maupun kuning pun tidak bisa menembus lantai beton. Saya lupa, kelemahan kita berada di area di bawah lantai beton adalah susah sinyal.
Jadilah sore itu saya dan suami eksplor bangunan lama hingga ke lantai atas dan teras depan yang terlihat dari jalan. Tangga bangunan lama terletak di belakang terbuat dari kayu dengan railing juga dari kayu dicat hijau. Lantai atas seluruhnya juga dari kayu, di belakang ada teras lebar yang sepertinya tidak dipakai apa-apa.
Agak gelap waktu itu dan kesannya…apa ya…ya khas bangunan lama sih.
Ada kamar kosong yang terbuka pintunya sehingga saya bisa foto-foto ruangannya. Ternyata kalau di gedung lama ini, kamarnya besar-besar. Ada yang satu tempat tidur besar dan satu kecil. Atau tiga tempat tidur single. Ruangan dilengkapi dengan meja dan dua kursi tamu. Kamar mandi terlihat lebih modern daripada kamar standar yang kami tempati. Terlihat bersih dengan keramik putih, WC, daaaan…shower.
Kami tidak lama-lama di atas, karena mau jalan-jalan saja jelajah wilayah sekitar dan kulineran.
Kamar-kamar di bangunan lama bukan berdasarkan nomor, tetapi A-B-C-D, dan di atas E-F-G-H.


Kamar-kamar di gedung belakang baru diberi nomor seperti biasanya kamar hotel. Ada deretan kamar-kamar kiri-kanan, atas-bawah yang simetris. Tangga terletak di ujung bangunan, berdempetan dengan bangunan lama. Kalau melihat elevasi lantai atas di gedung belakang, terlihat lebih rendah daripada level lantai atas gedung lama.
Memang ciri khas bangunan kuno, mempunyai plafon yang tinggi sehingga sirkulasi udara baik dan nyaman, serta tidak perlu AC.



Ketika malam hari kami kembali ke hotel hari sudah malam dan lampu terang benderang di Hotel Trio. Ternyata malam hari malah lebih indah daripada sore hari.
Saya coba lagi ke atas, suasana ruangan lebih terang dan mendapatkah hasil foto yang lebih bagus.


Oh ya, kemarin waktu check in, oleh resepsionis kami ditawari pilihan sarapan. Ada tiga pilihan, nasi goreng, mie goreng, roti isi dan telur rebus, dan pilihan minum teh atau kopi.
Rencananya sebetulnya kami mau kulineran di Pasar Gede Hardjonagoro, jajan pasar atau es dawet di sana kan yummy. Waktu kami pergi pagi itu, sarapan memang belum ready, jadi baru disiapkan saat kami pulang dari pasar.
Akhirnya suami memilih mie goreng dan saya roti saja. Pertimbangannya kalau roti, bisa jadi bekal kalau perlu.

Kira-kira pukul 08:30 kami check out untuk pindah hotel yang telah disiapkan oleh koordinator di Jalan Slamet Riyadi. Rencananya kami titip koper saja di concierge, untuk lanjut jalan-jalan sampai Jumatan.
Penutup

Saya sebetulnya jarang mereview hotel, apalagi hotel yang saya inapi juga biasanya budget hotel. Kalau dari segi kelas atau bintang hotel, saya tidak menjumpai jumlah bintang untuk Hotel Trio Solo di aplikasi. Kemungkinan sekelas hotel melati, karena fasilitasnya hanya kamar, lobby, dan teras belakang dilengkapi beberapa meja makan. Dapur pun sederhana, tidak ada fasilitas memasak seperti halnya dapur pada restoran hotel.
Besok-besoknya kata koordinator tim peneliti kami ini, tadinya kami pun mau dibookingkan di Hotel Trio juga. Tapi tidak jadi.
Bagi orang-orang tertentu yang menginap di hotel request fasilitas modern yang mumpuni, ambience, dan bentuk kenyamanan lainnya, Hotel Trio Solo mungkin kurang pas. Waktu itu saya sekadar penasaran, kayak apa sih menginap di hotel jadul di area pasar, ketika kota Solo baru diawal abad-20. Selain itu juga mengamati gaya Arsitektur Eklektik yang menjadi ciri khas hotel.
Semoga bermanfaat
Sumber:
ttps://telusuri.id/hotel-trio-mansion-peranakan-tionghoa-yang-tersisa-di-solo/
https://sarasvati.co.id/online/12/langgam-eklektik-hotel-trio-solo/
Kamarnya terlihat biasa aja. Malah kesannya kayak kaku. Tapi, suka banget deh sama interior di ruangan lainnya. Klasik banget. Warna tosca dipadu putih (atau cream?) bikin terlihat lebih unik. Kayaknya kalau ke Solo, saya pengen coba deh menginap di sini
Kalau liat foto pertama di lobby – kayak waaaw gitu serasa di keraton
etapi pas baca makin ke bawah dan liat foto-fotonya – sepertinya agak B aja ya mbak Hani. Tapi memang pengalaman menginap di Hotel Trio Solo berkesan yah, selain karena lokasinya yang strategis dekat dengan Pasar Gede dan Stasiun Jebres plus pengalaman berkesan karena nginep di hotel klasik.
Suasananya emang kayak di rumah, ya. Dengan eksterior yang mewah khas saudagar dan kamar-kamar yang simpel.
Keunikan hotel ini dapat di lihat dari luar. Arsitektur lama tapi sungguh memikat mata yang memandang terutama pemilihan warna yaitu perpaduan tosca dan putih.
Lucu banget hotelnya dominasi tosca
Seger tapi estetik dan youngest hehe..
Aku kalo ke solo selalu gabisa staycation karena rumah kakek disana tapi kayanya sesekali harus nyoba hotel trio hahaha
Kalau arsitek beda yang pilih hotelnya hehe..yang diperhatikan desain bangunan bergaya apa terus dikaji ..diulas..dll
Keren Mba Hani, saya jadi tahu apa itu gaya arsitektur campuran yang kalau di ilmu arsitektur namanya Gaya Eklektik yang diterapkan di Hotel Trio ini.
Unik hotel jadul begini…membawa kita bernostalgia, suka saya…
Entar ke Solo mau nginepn di sini ah
Soalnya walau anakku punya rumah di Solo, tapi lebih deket ke Boyolali
sementara saya suka banget ngukur jalan sambil berwisata dan kulineran tanpa batasan waktu
sebetulnya keluarga punya rumah di Solo, tapi gak diurus dan sekarang mungkin udah roboh 😀
Warna tosca dan putih dengan pilar-pilarnya persis kaya di pendopo Keraton Surakarta. Kalau aku sih iyes meskipun hotel jadul tapi kejadulannya justru yang jadi ciri khasnya
Usianya sudah lebih tua daripada NKRI ya Mbak. Jadi yah kebayanglah banyak sudut “ketuaan” dan keterbatasan yang harus dinikmati. Apalagi masuk dalam skala budget hotel. Lengkap sudah. Tapi terkadang hotel oldiest begini tuh ngangenin ya Mbak. Apalagi ada akulturasi budaya yang membuat bangkitnya sentuhan seni yang unik dan estetik.
Salut dengan manajemen hotel Trio yang tetap mempertahankan ciri khas bangunan lamanya, walau sudah ada perluasan bangunan baru. Dan ternyata kamar-kamar di bangunan lama ukurannya lebih besar ya
beneran saya jadi merasa ikut menikmati suasana hotelnya. Suka dengan tangga dan corak keramik jadul nya itu
Di kelenteng Cianjur ini ada yg mirip seperti itu lho
Makanya saya jadi merasa kenal gitu sama designnya
Pengalaman nginapnya jadi nambah ilmu dan wawasan juga buat kami nih Bu
Saya sih tipe yang enak saja mau tidur di hotel gimana asal tidak terasa sumpek. Kalau di Trio ini mungkin saya malah sibuk lihat-lihat interiornya lalu sibuk browsing tentang arsitekturnya.
Berasa bisa nyicip nginep di rumah kolonial. Hehehe
Modern tapi sekaligus klasik ya. Menarik banget, besok mau mampir deh kalau ke Solo.
Salut banget melihat kokohnya bangunan arsitektur jaman dulu yang masih tegak berdiri sampe sekarang.
Hotel trio ini memang masih terlihat standar cuma kebersihan, kenyamanan dan pelayanan memang yang nomor satu. Bagus ya asri juga lingkungannya. Rekomendasi hotel yang layak untuk dicoba.
Suka banget deh mbak Hani selalu mereview banyak penginapan. Pengalaman bepergiannya banyak berarti ya mbak. Ikut bersyukur dan terinspirasi.
Manajemennya keren lo iin, hotelnya masih terawat dengan baik walaupun sudah lama dibangun. Masih tampak sisa kejayaannya. Beberapa hotel lama sudah tidak terawat walaupun masih beroperasi. Saya kerap memilih hotel budget atau hotel melatin seperti ini jika hanya untuk singgah sebentar sekedar merebahkan punggung.