Unpopular Opinion Kuliah di Jurusan Arsitektur – Part 1

hani

Unpopular Opinion Kuliah di Jurusan Arsitektur - Part 1

Saya senang menjahit, jadi sempat tuh kepengen kursus fashion aja, di Susan Budihardjo. Dulu desainer terkenal. Mamah sempat kuliah sampai tingkat II, keburu menikah dan punya anak. Adalah tersirat anak-anak perempuannya kudu kuliah.

Karena suka juga bebikinan craft, sempet juga kepikir pengen kuliah di Seni Rupa deh.
“Han, kamu kan pinter. Ngapain kuliah di Seni Rupa…Arsitektur gitu” kata teman sebangku.
Waktu itu dia udah keterima PMDK di IPB. Kayaknya sekarang namanya eligible itu yah?

Oh ya, zaman saya tuh pertama kalinya diadakan tes gabungan perguruan tinggi negeri, namanya SKALU (Sekretariat Kerja Sama Antar Lima Universitas). Seleksi masuk PTN ini diikuti oleh lima PTN, yaitu UI, ITB, IPB, UGM, dan UNAIR.
Jadilah saya ikut tesnya di stadion GBK, Senayan.

Pendek cerita, masuk ITB, dan masih 3 semester di tingkat I, belum penjurusan.
Dulu tahun akademik mulainya bulan Januari, jadi semester 1, ikut Matrikulasi, baru semester 2 dan 3, TPB (Tahap Persiapan Bersama). Belakangan ada perubahan sistem di pendidikan, awal tahun ajaran baru dimulai bulan Agustus/September, sampai sekarang.

Kurikulum

Ketika teman saya di grup ngeblog MGN (Mamah Gajah Ngeblog) tanya, gimana sih sekolah arsitektur zaman sekarang, sehubungan ramenya AI? Saya pengen jawab, tapi kok panjang banget kan kalau via chat. Jadi saya nulis aja di sini.

Sebetulnya saya menulis buku judulnya “Kuliah Jurusan Apa?” yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Teman-teman bisa baca versi digitalnya di iPusNas dan Google Books:
https://books.google.co.id/books?id=KxlIDwAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

Sempat ada psikotes zaman TPB, dan saya disarankan masuk ke TP (Teknik Penyehatan), sekarang namanya Teknik Lingkungan.

Salahnya dulu, engga ada open house atau kisi-kisi sebagai sarjana TP kerjaannya apa? Tahunya Teknik Penyehatan urusannya sama limbah. Jadi skip, saya engga nurutin milih jurusan TP, apalagi kebayang bakalan ketemu Kimia. Arsitektur saja lah. Untungnya IPK-nya memenuhi. Soalnya kalau engga, harus ulang TPB.
Zaman sekarang kayaknya DO deh, atau dilempar ke jurusan yang engga favorit.

Kuliah lah saya di jurusan Arsitektur, dulu Teknik Arsitektur

Kurikulum zaman dulu 160 sks, setiap semester rata-rata 20 sks. Kalau diingat, saya bukan mahasiswi yang cemerlang, diselingi pakai sakit kuning (hepatitis A) dulu di semester 3, dan menjelang tugas akhir sudah dapet peringatan KRS kuning. Dulu kan belum online yah, jadi kalau perwalian ambil KRS di Rektorat jalan Taman Sari.
Kalau kuning tuh peringatan masa studi, kalau merah, udah habis masa studi, udah diambang DO.

Kurikulum sekarang, 144 sks, yang wajib ditempuh 4 tahun. Sehingga banyak matakuliah yang dikurang-kurangin.

Misalnya dulu kerja praktek sampai 3, yaitu magang di kontraktor, konsultan, dan pengawas proyek. Kalau zaman sekarang hanya 1 tempat saja, boleh milih antara kontraktor-konsultan-pengawas proyek. Apalagi bersaing juga dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lain, baik negeri maupun swasta.

Teknik Presentasi

Semester awal bener-bener latihan menggambar manual. Ada yang latihan arsir, jalan-jalan belajar menggambar perspektif di luar ruangan, lalu belajar komposisi bentuk menggunakan media tanah liat dan aneka media lainnya.
Gambar konstruksi pakai penggaris panjang bentuk T dan dua penggaris segitiga. Diajarin kakak kelas, penggaris T nya dikasih rol lalu pakai tali diikat ke meja, sehingga bisa turun-naik gitu seperti katrol.

Baru semester tiga boleh pakai mesin gambar. Dibeliin bapak mesin gambar, dibawain dari Singapura, waktu dinas ke sana. Mesin gambarnya kecil dan ringan, lupa mereknya apa. Masih ada sih sampai sekarang.
Zaman itu merek yang terkenal Mutoh, berikut meja gambarnya, kokoh gitu segeda gaban.
Sedangkan meja gambar saya, beli di pinggir jalan Taman Sari.

Dosen-dosen saya waktu itu pada punya konsultan dan terkenal pada masanya. Mereka S2 nya di LN, yang gelar belakangnya M.Arch. Pokoknya keren dah.
Apalagi dosen killer, yang kalau tugas salah atau tidak sesuai target, kertas roti bisa dikuwel-kuwel sama beliau lalu dibuang.
Trus, temen-temennya yang lagi antri mau asistensi pada ciut nyali.
Herannya ciwi-ciwi feminin suka aman terkendali aja kalau asistensi, ga pernah kena sobek kertas gambarnya.

Kerisauan Mamah Alfi tentang maraknya AI, tidak cuma menjadi pemikiran di jurusan Arsitektur saja, tetapi juga hampir di semua jurusan yang berkaitan dengan art.

Zaman sekarang, mungkin sejak tahun 2000, bermunculan software menggambar digital, antara lain AutoCAD, yang mempercepat proses teknik presentasi.
Beberapa kampus melarang mahasiswa memakai software untuk presentasi di tiga semester awal. Mereka baru boleh pakai CAD setelah semester IV dan seterusnya.

Beberapa dosennya mewajibkan untuk asistensi tersebut gambar drafnya di print. Kalau saya sih baik hati, mereka boleh asistensi membawa laptop. Dan menunjukkan hasil rancangannya melalui monitor. Kasihan aja sih, kalau salah, dioret-oret, ntar kudu ngeprint lagi.
Selain mahal, kertas loh…hari gini zamannya paperless.

Hasil obrolan sesama dosen dan praktisi, mahasiswa yang berkarya langsung di laptop kurang rasa akan skala. Dulu kan kami menggambar manual, seringnya skala 1:100.
Jadi kalau menarik garis 1 cm, di kepala tuh kebayang 1 cm adalah 1 meter. Membuat pintu, menyusun layout furnitur, jarak antar furnitur, orang bisa lewat di antara furnitur, dan lain-lain.
Semua dibayangkan di kepala.

Kalau pakai software, walaupun bisa diatur juga skalanya, bisa zoom in zoom out. Ini yang bikin “rasa skala” buyar. Belum lagi, demi irit kertas, mahasiswa print di kertas A4, skalanya fit paper.
Udah ga jelas skalanya kalau fit paper.
Sering banget menjumpai, mahasiswa menata layout kamar, furnitur segede-gede apa, engga ada space buat orang lewat.

Memang dengan menggunakan software pekerjaan lebih cepat, walaupun kita harus hafal perintah. Untuk tarik garis, perintahnya ini. Bikin garis lengkung, beda perintah. Pindahkan pintu atau mengubah arah pintu, beda perintah. Begitu seterusnya.

Konsultan besar malah menggunakan software lebih canggih lagi, ketika pengguna tinggal memasukkan perintah, dan hasil rancangan langsung muncul, tarrra…

Software makin canggih, tentu saja spek komputer makin tinggi apalagi spek image. Kalau engga mumpuni, bakalan lelet banget, salah-salah crash.

Survei Lapangan

Ternyata kalau diingat lagi, paling suka tuh masanya survei lapangan sebelum mengerjakan tugas-tusas studio. Misalnya tugas Studio Perancangan, kami survei dulu bangunan sejenis yang akan di rancang.
Tugas Studio Lingkungan/Lansekap, bahkan surveinya jalan-jalan sampai ke Pantai Cipatujah di Garut.
Pelajaran sejarah, Kuliah Lapangan lah ke Sumatera Barat, Jawa Tengah, atau Bali. Boleh pilih yang mana. Saya pilih ke Jawa Tengah biar engga terlalu berat, karena saya waktu itu baru sembuh sakit kuning (Hepatitis A).

Ya gitu deh, kuliah di Arsitektur, kalau engga typus ya sakit kuning…

Zaman sekarang, mahasiswa mager banget. Mereka googling. Googling tuh kekurangannya, kita tidak bisa membayangkan skala (lagi-lagi soal skala) ruang. Engga membayangkan tiga dimensi, seperti apa rasanya membayangkan di dalam ruangan tersebut.

Merancang hotel, membayangkan masuk ke lobby-nya, duduk di restoran menghayati lalu-lalang pelayanan, masuk ke kamar hotel kayak apa luas kamarnya. Fasilitas apa saja di hotel tersebut dan lain sebagainya.

Ada sisi lain yang mahasiswa zaman sekarang kena imbas. Ketika beberapa kali ada peristiwa pengeboman fasilitas publik.
Pihak manajemen sering sulit mengeluarkan izin survei bagi mahasiswa, walaupun sudah membawa surat pengantar. Manajeman bangunan publik trauma melihat mahasiswa berbondong dan membawa ransel.

Harus ada ordal di manajemen yang kenal dengan dosen di kampus. Atau ada dosen pendamping yang mendampingi saat survei lapangan/

Proses Desain

Ber-arsitektur berkaitan dengan proses merancang, yaitu memikirkan mau merancang apa.

Dulu proses mendesain berjenjang, sesuai dengan yang diajarkan di buku-buku teori. Mulai dari mengumpulkan data, melakukan analisisi lanjut sintesis. Membuat oret-oret konsep desain, lalu hasil rancangan sesuai konsep. Asistensi, kalau kurang pas, ulang lagi prosesnya merancangnya dengan membuat beberapa alternatif desain.

Dilengkapi pula dengan maket studi yang dibuat dari sterofoam, packing, lilin malam, dan material lain. Biasanya proses menyusun tata letak bangunan, kami wajib studi maket terlebih dahulu.

Zaman sekarang, sering memerhatikan dosen-dosen gen milenial yang jauh di bawah usia saya, yang mengajarkan proses ATM.
ATM tuh singkatan dari amati, tiru, modifikasi.
Buat saya itu proses yang engga banget sih, bukan proses desain.

Saking banyaknya contoh di internet, dan untuk menghemat waktu, ngapain capek-capek mikir dari awal? Udah tiru saja desain yang ada, dan diubah dikit-dikit. Proses desain menggunakan maket hampir tidak ada lagi, karena diambil alih oleh sketsa 3D menggunakan software. Mirip, tapi flat, karena hanya tampil di layar. Sekarang bisa disertai animasi dan rendering, jadi pura-puranya (virtual reality) kita berada di ruangan tersebut.

Kebaruan zaman sekarang memang nyaris engga ada sih.

Selanjutnya tentang tokoh dalam dunia arsitektur dan sub bab lain. Part ke-2 ya…

Also Read

Bagikan:

hani

Halo, saya Tri Wahyu Handayani (Hani), tinggal di Bandung. Pemerhati arsitektur dan pelestarian bangunan, main piano, menjahit, dan jalan-jalan. Kontak ke bee.hani@gmail.com

Tags

2 pemikiran pada “Unpopular Opinion Kuliah di Jurusan Arsitektur – Part 1”

  1. Memang sepertinya pemanfaatan AI sudah merambah ke mana2 ya!? Tak bisa dihindari. Terima kasih Bu. Ditunggu lanjutan tulisannya 🤗🙏

    Balas
  2. Ping-balik: √Unpopular Opinion Kuliah di Jurusan Arsitektur - part 2

Tinggalkan komentar

DMCA.com Protection Status