Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara adalah sebuah kaldera vulkanik raksasa yang diakui sebagai UNESCO Global Geopark. Kawasan ini ditetapkan sebagai destinasi pariwisata super prioritas, yang memiliki nilai historis, ekologis, dan ekonomis yang tak ternilai. Namun, keindahan danau kebanggaan masyarakat Batak ini kini terancam serius oleh masalah lingkungan yang kronis yaitu pencemaran air.
Kondisi ini memicu kekhawatiran luas, ketika Danau Toba bahkan pernah dijuluki sebagai “toilet raksasa” akibat penurunan kualitas air yang signifikan. Hal ini tentu saja menjadi perhatian utama dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara (https://dlhsumut.org/).
Sumber-Sumber Utama Pencemaran
Pencemaran Danau Toba bersifat kompleks, berasal dari kombinasi aktivitas ekonomi dan kurangnya tata kelola limbah di sekitar kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tepian danau.
Industri Perikanan (Keramba Jaring Apung/KJA)

Penelitian dari lembaga penelitian dan berbagai lembaga pendidikan menuliskan bahwa industri perikanan berupa keramba jaring apung merupakan salah satu penyumbang utama pencemaran nutrisi (eutrofikasi) di Danau Toba.
Pakan ikan yang tidak termakan akan mengendap di dasar danau, melepaskan senyawa Nitrogen (N) dan Fosfor (P) dalam jumlah besar.
Kelebihan unsur hara ini memicu ledakan populasi alga (blooming alga) dan gulma air seperti eceng gondok, yang pada akhirnya mengurangi kadar oksigen terlarut di dalam air (deoksigenasi).
Kondisi ini rentan menyebabkan kematian massal ikan dan merusak ekosistem perairan.
Limbah Domestik dan Pariwisata
Daerah di sekitar Danau Toba terdapat tujuh kabupaten, yaitu Samosir, Toba, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Dairi, Karo, dan Simalungun. Kabupaten Samosir merupakan pulau utama yang terletak di tengah Danau Toba. Ketujuh kabupaten ini mengalami pertumbuhan penduduk dan pariwisata yang amat cepat.
Berbagai akomodasi berupa hotel dan fasilitasnya, restoran yang bermunculan di tepi danau, ditambah juga semakin padatnya rumah-rumah di sekitarnya, masalah terbesar adalah limbah cair rumah tangga.
Seringkali fasilitas pariwisata ini membuang langsung limbah cair ke danau dan sungai yang bermuara ke danau tanpa proses Instalasi Penglolaan Air Limbah (IPAL) yang memadai dan optimal.
Akibat peningkatan kandungan zat organik, amonium, dan bakteri patogen yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang masih mengandalkan air danau untuk konsumsi dan kegiatan sehari-hari.
Aktivitas Pertanian dan Deforestasi
Akibat kawasan pertanian di sekitar danau menggunakan pupuk kimia dan pestisida di lahan pertanian, maka residu bahan kimiawi tersebut terangkut.air hujan dan masuk ke badan danau, menambah beban nutrisi (N dan P).
Ditambah lagi penebangan pohon di wilayah hulu menyebabkan erosi tanah. Material sedimen (endapan tanah) kemudian terbawa oleh aliran sungai dan meningkatkan tingkat kekeruhan air danau, serta merusak habitat di dasar perairan. Deforestasi ini juga membuat kawasan Danau Toba rawan terjadi longsor dan banjir.
Dampak Ekologis dan Sosial-Ekonomi
Pencemaran air memiliki konsekuensi yang jauh melampaui sekadar masalah estetika.
Terjadinya Eutrofikasi (pengayaan nutrisi) dan penurunan oksigen terlarut, mengancam kehidupan ikan endemik (seperti Ikan Batak) dan organisme air lainnya. Air danau rentan berubah warna, keruh, dan berbau.
Air yang tercemar dapat menjadi media penularan penyakit berbasis air seperti diare, penyakit kulit, dan gangguan pencernaan, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses air bersih terjamin.
Citra Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia tercoreng. Penurunan daya tarik alam, ditambah dengan isu bau dan kekeruhan, dapat menurunkan jumlah kunjungan wisatawan dan memukul sektor ekonomi lokal.
Penurunan populasi ikan dan kasus kematian ikan massal menyebabkan hasil tangkapan nelayan tradisional berkurang drastis, mengancam mata pencaharian mereka.
Penutup
Penyelamatan Danau Toba membutuhkan kolaborasi yang kuat dan solusi jangka panjang dari pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara (https://dlhsumut.org/), masyarakat, serta sektor swasta.
Pengendalian KJA (Zero Keramba): Pemerintah perlu merealisasikan komitmen untuk membatasi, bahkan menuju program “zero keramba” di lokasi yang melebihi daya dukung. Hal ini harus diiringi dengan program alih profesi yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat pemilik KJA, seperti mengalihkan ke perikanan darat, pertanian ramah lingkungan, atau sektor pariwisata.
Pembangunan IPAL Terpadu: Peningkatan infrastruktur pengolahan air limbah domestik dan hotel di kota-kota utama (seperti Parapat dan sekitarnya) adalah mutlak. Proyek IPAL harus dioptimalkan dan diperluas koneksinya untuk menampung seluruh limbah cair.
Restorasi Hutan: Melakukan reboisasi dan penanaman di Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mencegah erosi dan sedimentasi yang masuk ke danau.
Penegakan Hukum: Tindakan tegas terhadap pihak industri (termasuk perikanan skala besar) dan individu yang terbukti membuang limbah secara ilegal.
Edukasi dan Perubahan Perilaku: Menggalakkan kampanye publik dan edukasi secara berkelanjutan agar masyarakat dan wisatawan tidak membuang sampah, khususnya sampah plastik dan limbah, langsung ke Danau Toba.
Danau Toba adalah warisan dunia yang tidak dapat dipulihkan dalam semalam. Diperlukan keseriusan politik, investasi berkelanjutan, dan kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengembalikan kejernihan airnya dan menjamin keberlanjutan ekosistemnya bagi generasi mendatang.
Sumber: Foto oleh Amirul Hafis Badrulhisham: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-lanskap-badan-air-dekat-pegunungan-1601513/
https://mongabay.co.id/2019/09/22/menteri-susi-ancam-danau-toba-atur-keramba-jaring-apung/


