Lompat ke konten

Tunggu Aku di Pintu Surga, Nak

“Ikhlas itu suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Ku cintai”- HR. Ahmad

1 Maret 2015
Kutatap wajah putri sulungku kala bersujud di hadapanku. Kuhapus air mata haru yang mengalir di pipinya. Hari ini adalah hari yang ditunggu setelah tahun lalu sempat dibatalkan.
Hari ini putriku akhirnya menikah dengan pria pilihannya yang telah dikenal lebih dari lima tahun. Jalinan kasih putus sambung dan nyaris batal, namun akhirnya pernikahan ini berlangsung juga, sederhana namun sakral. Doa agar menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah pun mengalir.

23 April 2015
Pesan WhatsApp dari putriku, Alma, nun jauh diseberang lautan dan di lereng gunung di Nepal. Isinya menyampaikan bahwa dia bersama tim pendaki gunung sudah bersiap akan mendaki 1000 m lagi, dan mohon doa. Alma pun memberi tahu, bahwa untuk beberapa hari ke depan, tidak ada sinyal komunikasi. Pengantin baru ini memilih mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan untuk berbulan madu mereka. Mereka ber-3, Alma, Andana, dan seorang teman berangkat dari Bandung, Indonesia tanggal 19 April 2015.

Siapa sangka bahwa tanggal 25 April 2015 terjadi gempa hebat 7,8 skala Richter di pegunungan Himalaya. Berikutnya adalah berita simpang siur gempa tektonik, jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan. Salah satunya yang membuat jantungku berdegup keras adalah tertimbunnya sebuah desa di lembah Langtang, desa transit bagi sebagian besar pendaki sebelum mendaki ke puncak Himalaya. Komunikasi terakhir dengan Alma, memang dia dan rombongannya sedang istirahat di Langtang ini. Duh, apakah Alma sudah berangkat atau belum ya sebelum gempa?

Pikiranku pun mengembara kesana-kemari, semoga Alma dan Andana bisa menyelamatkan diri. Mudah-mudahan ada gua sebagai tempat berlindung. Hatiku galau, teman-teman, saudara-saudara semua menanyakan keadaan Alma dan suaminya. Sedangkan aku pun masih menunggu berita yang akurat. Belakangan aku mendapat informasi bahwa lereng lokasi guest house rombongan Alma runtuh dan terbelah. Lereng ini rata dengan tanah sedalam 20 meter dan seluas 400 m.

7 Mei 2015
Ditemukan dompet khusus kartu yang berisi identitas Alma dan SIM nya. Dompet kartu berwarna merah tersebut ditemukan di lokasi bekas gempa yang mulai disisir oleh warga dan tim penyelamat. Setitik harapan muncul di dadaku. Harapan agar Alma kembali ke pangkuanku dengan selamat menggebu-gebu di dada. Akupun menunggu di Bandung penuh harap.

Hari-hariku menanti berita putriku seolah tak bertepi. Apa yang harus aku lakukan dalam kondisi tak jelas seperti ini? Belum lagi saudara dan sahabat yang selalu berkunjung ke rumah menanyakan berita yang aku sendiri pun tak tahu jawabnya. Bahkan ibu-ibu di kompleks berinisiatif datang ke rumah untuk mengadakan pengajian.
Pengajian untuk apa? Anakku tidak meninggal! Anakku hanya belum ditemukan. Aku percaya anakku masih hidup. Dia berlindung di gua bersama suami dan temannya.
Dalam kegundahan hatiku, pada suatu subuh di antara bangun dan tidur seolah Alma muncul di pelupuk mata dan berkata:”Biarkan aku pergi Mama”…

Akupun tersentak terbangun. Alma! Alma! Jangan tinggalkan ibu! Hanya Alma yang memanggilku Mama. Adik semata wayangnya dan suamiku, memanggil aku Ibu. Air mataku jatuh berderai. Ya Allah, betapa dahsyat ujianMu. Putri tersayangku, yang bahkan baru sebulan mengenyam indahnya pernikahan, lenyap di telan bumi bersama suami terkasihnya. Bahkan akupun tak bisa membayangkan, bila benar lembah Langtang itu runtuh, seperti apa kondisimu waktu itu. Berarti anakku terkubur hidup-hidup.

Kecemasan, sedih, marah, kecewa, dan nyeri di dada, silih berganti dengan rasa lelah. Setiap shalat Ashar air mataku selalu berderai tak henti-henti. Pertanyaan demi pertanyaan, yang tak akan ada jawabnya. Benarkah putriku tiba di akhir perjalanan hidupnya di usia ke-32 tahun? Tanpa sakit, tanpa firasat sebelumnya. Padahal masih jelas di pelupuk mata senyum kebahagiaan di hari penikahan mereka. Baru saja mereka mendirikan perusahaan berdua, dibidang peralatan mendaki gunung dan wisata alam, sesuai dengan hobby mereka berdua. Mereka pun baru mencicil tanah, dan membangun rumah impian mereka.

Berbulan-bulan terlewati tanpa ada tanda-tanda bahwa putriku, suaminya, dan teman mereka akan ditemukan. Bentang alam di lereng pegunungan Himalaya sudah sangat berubah akibat gempa. Siapa yang akan menggali sedalam dan seluas itu, dimana seluruh tebing runtuh. Apalagi cuaca seringkali tidak mendukung dilakukannya penggalian.
Sekitar bulan Juli 2015, pemerintah Nepal menghentikan pencarian. Otomatis pemerintah Indonesia pun menghentikan pencarian bagi warga Indonesia yang diduga menjadi korban. Surat keterangan dari KBRI dan dompet kartu milik Alma yang ditemukan di lokasi kejadian, dikirim ke rumah kami. Air mata lagi-lagi tumpah tak terbendung.
Hari-hari yang aku jalani ke depan seolah gelap. Anakku dua perempuan, sudah menikah semua. Putri sulungku hilang ditelan bumi bersama suaminya. Hilang sampai kapan? Mungkinkah akan ditemukan? Kalau meninggal, mana jazadnya? Dimana kuburnya?

Seandainya tahu anakku akan meninggal, aku akan membekalinya dengan ibadah yang cukup. Semua orang menasihati agar aku ikhlas, bahwa semua adalah titipannya. Aku ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya, bahwa yang menasihati aku, tidak pernah mengalami sendiri. Aku perlu belajar untuk ikhlas, seikhlas-ikhlasnya.
Akhirnya aku dan suamiku terpaksa mengurus hal-hal yang ditinggalkan oleh Alma dan suaminya. Masalah administrasi yang ternyata ribet, menghabiskan waktu, dan menguras energi serta air mata. Putriku dan suaminya ternyata membuka rekening bank atas nama berdua. Rekening bank bisa ditutup, bila ada pernyataan dari ahli waris dan surat kematian dari pihak yang berwenang. Sedangkan KBRI tidak mengeluarkan surat kematian, surat yang dilayangkan kepada kami, adalah surat hilang. Anak kami dinyatakan hilang, bukan meninggal. Bahkan pemerintah Nepal pun tidak mengeluarkan surat kematian bagi para korban yang belum ditemukan.

Atas konsultasi dengan pihak yang mengerti hukum, kasus putriku tersebut harus dibawa ke Pengadilan Agama. Berbagai bukti, kronologi, surat pernyataan dari berbagai instansi harus disertakan. Bahkan bukti koran pun harus koran Nasional dalam bentuk fisik koran. Akhirnya surat kematian putriku dan suaminya terbit dari Pengadilan Agama. Berangkat dari berkas-berkas ini kami bisa menutup akun di bank, dan menyedekahkan dananya. Rumah mereka yang belum selesai pun harus diselesaikan terlebih dahulu pembangunannya, baru bisa dijual.

Tinggal aku sekarang menjalani sisa hidupku bersama suami. Dua tahun berlalu, setiap sholat Ashar air mataku masih jatuh berderai. Entah, apakah di waktu Ashar itukah Alma menghadap sang Khalik? Mungkin aku akan mendapatkan jawabnya, bila tiba saatnya aku dipertemukan dengannya di alam sana. Insya Allah…
Tunggu Ibu di pintu surga ya Nak…

Keterangan:
Diambil dari kisah seorang sahabat dekat.

10 tanggapan pada “Tunggu Aku di Pintu Surga, Nak”

  1. Ya Allah aku ga nyangka Ibu dapat ujian ini,, semoga Almarhumah diterima disisiNya aamiin, semoga Ibu dan keluarga diberikan kelapangan hati dan ketabahan tak bertepi aamiin

    1. Mbak Sandra, itu kisah sahabat saya. Beliau sering curhat, dan saya ga berani komentar apa2. Sulit untuk memberi wejangan agar ikhlas, karena saya tidak merasakan sendiri. Ya sudah saya tulis saja…

  2. ibu ini kisah yg bikin aku meleleh, aku sangat merasakan kehilangan seseorang, tak mudah terlebih dengan keadaan yg dialami almh.
    sbg sahabat yg terdekat mmg sulit y bu kita hny mampu untuk terus ada disampingnya hingga waktu yg akan menyembuhkannya ?

  3. Tak terbayangkan sedihnya. Ini cobaan yang sangat berat untuk sahabat dekat ibu.
    Anaknya baru menikah satu bulan lalu terjadi kejadian seperti ini …
    Apapun itu semoga semua baik-baik saja.
    Dan sahabat itu bisa ikhlas menerima apapun takdir NYA

    Salam saya

  4. Pingback: Menahan Diri untuk Tidak Mengatakan, Ikhlas Ya - blog hani

  5. Sedih banget ya ditinggal putri dan menantunya secara dadakan. Apalagi usai sebulan pernikahan mereka. Yg bikin sedih lagi, meninggal tanpa tahu jasad dan makamnya krn terkubur hidup-hidup. Ya Allah kita tdk tahu kpn akan dipanggil, mmg hrs siap sedia amal kebaikan sblm hari itu tiba.

  6. Usia tak ada yang tahu. Tidak harus menunggu tua untuk dipanggil. Terima kasih untuk inspirasinya, Bu Hani. Semoga yang meninggal Husnul khotimah dan keluarganya diberikan ketabahan.

  7. Pingback: √Menahan Diri untuk Tidak Mengatakan, Ikhlas Ya | Hani Widiatmoko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

DMCA.com Protection Status