Bumi tempat kita berpijak adalah bagian dari tata surya dengan matahari sebagai induk dari tata surya. Kita pun dikenalkan bahwa bumi itu bulat dan bintang-bintang di langit beserta planet-planet lain merupakan benda-benda di angkasa. Astronomi lah kunci semua ini, cabang ilmu alam yang mempelajari benda langit beserta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer bumi. Penelitian benda langit tersebut menggunakan teleskop refraktor yang diawali oleh Galileo Galilei seorang fisikawan dari Italia, kira-kira lima abad yang lalu. Beruntungnya Indonesia mempunyai Observatorium Bosscha yang mulai beroperasi tahun 1928 sehingga kita bisa mempelajari tata surya melalui teleskop raksasa.
Bermula Dari Mimpi
Awalnya seorang astronom Belanda bernama Dr Joan George Erardus Gijsbertus Voûte bermimpi bisa membangun pusat penelitian antariksa di pulau Jawa. Pada masa yang sama seorang pemilik perkebunan teh Malabar dan Pangalengan, bernama Karel Albert Rudolf Bosscha juga mempunyai mimpi yang sama. KAR Bosscha selain pemilik perkebunan juga pemerhati pendidikan bagi anak-anak pribumi, sehingga ia mendirikan sekolah dasar terutama bagi anak-anak karyawan dan buruh perkebunan. Ketika pemerintah Hindia Belanda mendirikan perguruan tinggi Technische Hoogeschool te Bandung, yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung, Bosscha adalah Ketua College van Directeureun (Majelis Direktur) yang mengurus kebutuhan material mulai dari pembangunan hingga kegiatan akademik.
Kecintaan Bosscha pada ilmu pengetahuan termasuk astronomi membawanya menjadi penyandang dana pembangunan Observatorium yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV), Perhimpunan Pengamat Bintang Hindia Belanda. Lokasi observatorium dipilih dengan memperhatikan geomorfologi area di sekitar kota Bandung, yaitu dipilih kota Lembang. Kota Lembang sendiri terletak di patahan sesar Lembang sehingga pemilihan lokasi memperhatikan peta geologi, di atas bukit batu yang lebih stabil. Pembangunan observatorium melibatkan arsitek C.P. Wolff Schoemaker yang mendesain dengan amat cermat dan penuh perhitungan. Desain dan konstruksinya memakan waktu lima tahun, sejak 1923 hingga 1928.
Bosscha pun melengkapi observatorium ini dengan teleskop raksasa Refraktor Ganda Zeiss dengan diameter masing-masing 60 cm dan panjang 11 meter yang khusus dipesan ke Jerman. Perusahaan optic ternama Carl Zeiss Jena membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikan pesanan teropong sesuai spesifikasi. Teleskop ini dibawa oleh Rotterdamsche Llyod berlabuh di Batavia, kemudian diangkut oleh dua puluh tujuh peti kemas berbobot 30 ton dengan kereta api ke Bandung. Dari Bandung dibawa dengan batalyon Genie, Angkatan darat Hindia Belanda.
Biro Bangunan Perusahaan Jawatan Kereta Api (S.S) merupakan pelaksana pembangunan bangunan beton berkubah dengan instrumennya yang canggih, termasuk bantalan rel untuk memutar kubah dan lantai tempat meneropong yang bisa dinaik-turunkan.
Fasilitas Observatorium Bosscha
Gedung observatorium terletak di tanah seluas 6 hektar, sumbangan dari keluarga Urzone, seorang pengusaha susu di Lembang. Lokasinya terletak di ketinggian 1300 dml, 15 km dari kota Bandung, dengan koodinat 1070 36’’ Bujur Timur dan 60 4” Lintang Selatan.
Waktu itu saya datang ke Observatorium bersama rombongan Historical Trips, Bandung, komunitas pemerhati cagar budaya. Kami lapor ke loket pembelian tiket dan berkumpul terlebih dahulu di lapangan tak jauh dari situ untuk mendengarkan penjelasan tentang tata surya. Sesudahnya kami berjalan menuju ke Gedung Kubah yang merupakan bangunan utama di kompleks Observatorium Bosscha.
Gedung Kubah
Gedung Kubah (kupel) merupakan bangunan berbentuk silinder beratap kubah menghadap ke timur. Bangunan terdiri dari dua bagian, yaitu badan bangunan dan atap kubah yang bisa berputar dan terbuka atap kubahnya menyerupai celah selebar 3 meter. Atap kubah beratnya 56 ton dan diameternya 14.5 meter, penutup atap lapisan luar terbuat dari baja setebal 2 mm dan bagian dalamnya berlapis asbes.
Bagian pintu masuk (entrance) merupakan area penerima yang tidak terlalu luas. Denahnya sendiri merupakan lingkaran berdiameter 11 meter, terdiri dari lantai tempat meneropong dan jalur sirkulasi selebar 1.5 meter mengelilingi lantai teropong. Lantai teropong beratnya 12 ton dapat dinaik-turunkan sesuai kebutuhan pada saat meneropong menggunakan motor listrik. Sedangkan membuka celah kubah agar teleskop dapat meneropong langit luas cukup dengan memutar roda katrol dengan tangan. Pada waktu celah kubah terbuka yang ada adalah keseruan decak kagum pengunjung observatorium.
Jenis-jenis Teleskop
Bangunan-bangunan lain yang berderet di depan gedung kubah ternyata bukan rumah tinggal, tetapi merupakan rumah untuk teleskop lainnya. Ada beberapa teropong yang ada di kompleks Observatorium Bossha:
- Teleskop Refraktor Ganda Zeiss
- Teleskop Refraktor Zeiss dari R.A. Kerkhoven
- Teleskop Schmidt Bima Sakti
- Teleskop Refraktor Bamberg
- Teleskop Cassegrain GOTO
- Teleskop Refraktor Unitron
- Teleskop Refraktor Secretan
Fasilitas Penunjang
Fasilitas penunjang lainnya di kompleks Observatorium Bosscha adalah ruang audivisual, ruang baca, toko souvenir, toilet dan wc umum, dan mushola. Selepas melihat cara mengoperasikan teleskop, peserta Historical Trips kemudian berfoto bersama dan menuju ruang audiovisual untuk mendengarkan penjelasan tentang astronomi dan menonton film pendek. Filmnya menceritakan adanya teori kehidupan lain selain di bumi, kemungkinan besar planet Mars. Jadi, siap-siap dalam waktu dekat sebagian mahluk bumi bisa pindah ke Mars. Selepas itu acara bebas, teman-teman pun menyambangi toko souvenir untuk membeli cenderamata khas Observatorium Bosscha.
Wisma Kerkhoven
Setelah mendapat penjelasan dan menonton film pendek, kami masih mengunjungi Wisma Kerkhoven. Wisma Kerkhoven juga didesain oleh C.P Wolff Shoemacher, tahun 1926. Dulunya diperuntukkan sebagai rumah dinas Direktur Observatorium Bosscha. Sekarang merupakan bangunan untuk pertemuan dan diskusi.
Observatorium Bosscha Sebagai Cagar Budaya Indonesia
Cagar budaya sesuai fungsinya merupakan upaya pemerintah memberikan edukasi ke warga negaranya hal-hal yang bersifat kebendaan warisan dari generasi sebelumnya. Menurut UU RI tentang Cagar Budaya, no 11 tahun 2010:
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”
Ada 5 kategori cagar budaya, yaitu: Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Definisi dari masing-masing kategori adalah sebagai berikut:
Benda Cagar Budaya: Merupakan benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak. Bisa berupa kesatuan, kelompok, bagian-bagianna, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejah perkembangan manusia.
Bangunan Cagar Budaya: Merupakan susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding, dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
Struktur Cagar Budaya: Merupakan susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan. Menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana kebutuhan manusia.
Situs Cagar Budaya: Merupakan lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya.
Kawasan Cagar Budaya: Merupakan satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Sampai saat ini, di website Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya tercatat 96.344 obyek terdaftar, 48.924 terverifikasi, 1.619 mendapat rekomendasi sebagai cagar budaya, dan 1.512 telah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Observatorium Bosscha sempat berhenti beroperasi ketika Perang Dunia ke dua. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan Observatorium Bosscha diserahkan ke pemerintah Indonesia oleh NISV, pada tahun 1951. Sekarang Observatorium Bosscha merupakan bagian dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) dan merupakan satu-satunya observatorium berteropong besar.
Keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya, selanjutnya tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu obyek vital nasional yang harus diamankan. Menilik keberadaannya, Observatorium Bosscha merupakan salah satu dari enam Cagar Budaya Indonesia yang ada di Bandung. Lima bangunan cagar budaya Indonesia lainnya adalah:
[metaslider id=”6710″]
Cagar Budaya Indonesia di kota Bandung
Gedung Sate
Gedung ini terletak di jalan Diponegoro, Bandung, didesain oleh J. Gerber, dibangun mulai tahun 1920 hingga 1924. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut Gouvernements Bedrijven (GB), awalnya sebagai gedung pusat Jawatan Pekerjaan Umum, menyiapkan pindahnya pusat pemerintahan ke Bandung. Sekarang berfungsi sebagai Kantor Gubernur dan Pusat Pemerintahan Jawa Barat.
Gedung Dwi Warna
Gedung ini dibangun tahun 1940, ketika tahun 1955 ada Konferensi Asia Afrika dimanfaatkan sebagai gedung rapat komisi para perwakilan delegasi konferensi dan gedung sekretariat konferensi. Pernah menjadi Gedung Dewan Perwakilan Daerah Jawa Barat dan Kantor Pusat Pembayaran Pensiun. Sekarang gedung ini dipakai sebagai Kantor Wilayah Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat.
Museum Geologi
Museum Geologi dan Gedung Dwi Warna sama-sama terletak di jalan Diponegoro, tak jauh dari Gedung Sate. Awalnya bernama Geologisch Laboratorium dirancang oleh Menalda van Schouwenburg, dibangun selama 11 bulan, sejak tahun 1928 hingga 1929. Awalnya sebagai laboratorium karena Belanda waktu itu sadar betul akan kekayaan bumi Indonesia dengan hasil bumi dan tambang. Museum Geologi terbagi menjadi dua sayap, Barat dan Timur. Ruang Sayap Barat dikenal sebagai Ruang Geologi Indonesia, sedangkan Ruang Sayap Timur menggambarkan sejarah tumbuhan-tumbuhan dan perkembangan mahluk hidup.
Kantor Pos Besar
Gedung besar ini dahulu bernama Posten Telegraf Kantoor dibangun tahun 1863, berfungsi sebagai kantor pos dan telegram. Jalan raya Anyer – Panarukan yang dibangun Daendels penggalan jalannya ada yang melewati kota Bandung. Penggalan jalan tersebut bernama jalan Raya Pos dan lokasi tempat gedung besar ini berdiri, dulunya adalah istal kuda tempat pergantian petugas pos. Tahun 1928 – 1931 direnovasi besar melibatkan arsitek bernama J. van Gendt. Sekarang masih berfungsi sebagai Kantor Pos Besar Bandung.
Gedung Merdeka
Gedung Merdeka awalnya bernama Societeit Concordia dibangun tahun 1895 yang berfungsi sebagai gedung pertunjukkan. Tahun 1926 direnovasi melibatkan arsitek C.P. Wolff Schoemacher, A.J. Aalbers, dan Van Gallen. Pada tahun 1955 dipergunakan sebagai gedung pertemuan Konferensi Asia Afrika. Sekarang sebagian Gedung Merdeka merupakan Museum Asia Afrika, sedangkan ruang auditorium kadang-kadang dipergunakan sebagai ruang seminar dan pertunjukkan.
Upaya Pelestarian dan Merawat Cagar Budaya Indonesia
Ketika Lembang di pilih sebagai lokasi observatorium, lingkungan sekitarnya masih sepi dan cocok untuk penelitian tata surya. Apalagi bila akan meneliti bintang yang seringnya hanya bisa dilakukan malam hari. Sekarang kondisi kota Lembang jauh berbeda dengan 90 tahun yang lalu, ketika Observatorium Bosscha diresmikan. Permukiman yang semakin padat di kota Lembang menyulitkan peneliti untuk meneropong bintang-bintang karena pendaran lampu-lampu dari rumah penduduk. Ditambah lagi, Lembang menjadi tujuan wisata dengan berbagai obyek baru wisata alam maupun wisata instagramable. Akibatnya langit kota Lembang di malam hari menjadi kurang cerah karena polusi cahaya.
Secara fungsi, sebetulnya bangunan Observatorium Bosscha masih berfungsi dengan baik, kubah masih berputar dengan lancar, atap kubah pun mudah dibuka dengan ringan. Teleskop Ganda Zeiss pun masih mudah digerakkan untuk siap meneropong. Kompleks observatorium yang terletak di bukit tidak berada di lingkungan perumahan, tetapi kota Lembangnya saja yang semakin padat.
Oleh sebab itu pemerintah berencana memindahkan fungsi observatorium Bosscha dengan membangun observatorium baru di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Observatorium Timau merupakan observatorium kedua milik Indonesia yang rencananya selesai pada tahun 2020 yang akan datang. Observatorium ini akan dikelola oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Kemungkinan besar, Observatorium Bosscha akan berkurang fungsinya sebagai tempat penelitian tata surya dan antariksa. Belum ada penjelasan apakah di kemudian hari bangunan ini masih tetap bisa dikunjungi.
Lalu apa upaya kita untuk tetap melestarikan keberadaan Observatorium Bosscha ini?
Langkah-langkah melestarikan antara lain:
1 – Kunjungi
Tak kenal maka tak sayang. Salah satu cara untuk lebih mengetahui obyek cagar budaya adalah mengunjunginya. Observatorium Bosscha sudah lama membuka waktu kunjungan secara terjadwal dan rapi penyelanggaraannya. Untuk mengunjungi Observatorium Bosscha, kita bisa naik mobil pribadi, bus sedang, atau menyewa angkutan umum. Jalan kaki dari kota Lembang juga bisa, karena jaraknya tak terlalu jauh, kira-kira 2.5 km dari jalan raya Lembang.
Jadwal Kunjungan Observatorium Bosscha
Observatorium Bosscha dapat dikunjungi sesuai jadwal yang diumumkan di website bosscha(dot)id yang cukup update di laman Cek Jadwal Kujungan atau follow Instagramnya. Jadwal kunjungan ada untuk instansi (hari Senin hingga Jumat) dan perorangan atau kelompok, khusus hari Sabtu. Harga tiket Rp. 15.000,- . Selain itu ada kesempatan kunjungan malam, harga tiket Rp. 20.000,- yang ada jadwal khusus per dua minggu tiap bulannya. Kalau langit cerah, pengunjung bisa merasakan meneropong bintang dengan Teleskop Refraktor Bamberg.
2 – Bergabung dengan Komunitas Pemerhati Cagar Budaya
Di beberapa kota termasuk Bandung banyak komunitas pemerhati obyek cagar budaya. Komunitas ini sering mengadakan acara seminar, jalan-jalan, sosialisasi tentang obyek cagar budaya. Tujuannya adalah agar masyarakat aware dengan peninggalan generasi sebelumnya.
3 – Donasi
Merawat cagar budaya itu tidak murah. Iklim tropis lembab di Indonesia ditengarai banyak obyek cagar budaya yang lapuk, lembab dan berlumut, sehingga perlu perawatan ekstra agar masih terjaga kelestariannya. Tidak ada salahnya ada peluang donasi pada obyek-obyek cagar budaya agar tetap terawat, supaya tidak musnah.
Nah, itulah pengalaman saya mengunjungi Observatorium Bosscha, salah satu Cagar Budaya Indonesia di kota Bandung.
Semoga bermanfaat.
Sumber:
bosscha.id
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
infobdg.com
kebudayaan.kemdikbud.go.id
lengkap banget ini, teh hani! seneng bacanya. peneropongan bosscha ikonnya bandung, gak ada di tempat lain 😀 kalo ga salah beberapa tahun lalu peneropongan ini pernah kerja sama dengan komunitas perihal sosialisasi masang lampu. Maksudnya sih supaya lampu-lampu (yang nyala di malam hari), gak ganggu kerja teleskop. tapi agak susah ya, lembang sekarang udah penuh rumah & tempat bisnis. kalo malam bermandikan cahaya.
Iya bener, ada sosialisasi masang lampu. Lah, sekarang banyak hotel, engga mau lah pemilik hotel kalau hotelnya temaram. Ya gitu, kalah deh Observatoriumnya…
Saya beberapa kali ke Lembang tapi belum pernah ke Observatorium Boscha. Andai anak anak diajak ke sana pasti senang sekali.
Iya. Sambil dengerin astronom di situ kasih penjelasan. Trus ada ruang audiovisual, jadi tambah ngerti deh…
Dari Jerman ke Batavia waktu itu dibawa pakai kapal ya mba? Baru lanjut pakai kereta ke Bandung.. hari2 bersejarah pasti.. baru tau awal mulanya gitu. Dan banyak telekop lain ya selain teleskop utama di komplek obeservatorium Bosscha
Iya. Lloyd itu perusahaan kapal barang. Belum nemu sih saya fotonya. Katanya berton-ton tuh berat teleskop tersebut.
Sejak nonton film Petualangan Sherina dulu itu aku langsung pengen banget main ke sini, sayangnya belum kesampaian euy. Makasi lho udah ada jadwal lengkapnya mbak, jadi benar-benar bisa mengagendakan untuk berkunjung
Semoga cagar budaya Indonesia tetap terawat, dimanapun berada
Sama-sama. Ayo sama Prima ke sana. Jalan kaki dari jalan raya Lembang ada jalan tembusnya.
Kalau dengar kata Boscha aku jadi ingat film Sherina. Sampai sekarang belum kesampaian buat datang ke sana. Dengar sih perlu waiting list ya mbak.
Memang perlu daftar dulu sih, engga bisa datang langsung. Kalo perorangan atau grup kecil bisa yang hari Sabtu, biasanya digabung. Makasih udah mampir…
Kabarnya Boscha mau pindah lokasi, ya, kak? Atau teropomgnya aja yg dipindahin?
Pemerintah bangun baru observatorium di Kupang. Kayaknya pakai teropong baru deh, yang lebih modern, digital. Yang di Bosscha biar aja, untuk riset.
Aku awal mengenal Observatorium Bosscha gara-gara film Petualangan Sherina. Waktu kecil sampai dibela-belain ke Bandung dari Tangerang Selatan, cuma buat ke Bosscha. Cuma sayang banget kita nggak tahu kalau ada jam kunjungnya 🙂 Makasih ya Mbak informasinya, nanti aku bakal berkunjung ke sana.
Wah ada beberapa tempat yang udah aku kunjungi nih kak di Bandung hehe. Tapi Bosscha-nya belum pernah haha padahal tau itu udah dari zaman filmnya petualangan sherina wkwk
Oh iya. Saya juga baca tentang pembangunan observatorium Timau. Mungkin kalau nantinya yang dipakai buat riset yang di dekat Kupang, yang di Bandung ini bisa jadi tempat study tour sekolah dan museum. Seru kali, ya.
kalau lihat bosscha selalu teringat film petualangan sherina haha. padahal dari dulu kepengen banget kesana tapi belum sempat tercapai nih 🙁
Nah..saya setuju sekali dg upaya2 ygbisa kita lakukan sbg partisipasi kita merawat Cagar budaya.
Saya pun ingin bergabung dg pemerhati cagar budaya juga nih..
Aku belum pernah ke Observatorium Bosscha dong, hahaha. Suka banget sama desain kubahnya. Btw, dia udah masuk wilayahnya Kota Lembang ya? Kirain belum masuk kota.
Salah satu spot wisata favorit juga kalau ke lembang. Dulu pertamkali sama temen2 SMP, belum lama saya bawa anak ke sini. Anak saya happy sama waktu saya kecil dulu.
Saya pengen banget ke Boscha ini. Tetapi, sempat ragu boleh untuk umum atau enggak. Ternyata boleh, ya
sudah lama sekali tidak kesini. penting sekali peran observatorium ini bagi dunia ilmu pengetahuan negara kita
Bosscha ini adalah salah satu tempat impian saya swjak nonton Petualangan Sherina waktu kecil dulu. Sudah beberapa kali ke Bandung tapi payahnya belum juga kesampaian bisa ke sana. Saya saya ingin menikmati wisata malam di sana, jadi bisa beneran lihat langit pakai teropong. Seperti di potongan film Petualangan Sherina.
Wah sangat menarik ulasannya, emang ya Boscha menjadi cikal bakal pengetahuan dan teknologi di Indonesia, dan banyak cagar budaya yang bisa kita eksplor di Kota Bandung.
Dulu saya tinggal di Bandung sebelah Utara, Ceu. Tapi saya nggak pernah ke Observatorium Bosscha ini. Soalnya nggak tahu jadwal bukanya kapan. (Waktu itu Google belum semudah sekarang untuk diakses.) Kalau jalan-jalan ke Lembang, biasanya saya baru bisa hari Minggu, karena itu jadwalnya ayah saya libur. Da kam kalo hari Minggu tutup observatoriumnya :))
Kalau anak saya sudah gedean dan mau duduk manis, mau lah saya ajak ke Observatorium Bosscha ini. Selain atap kubahnya unik, juga supaya bisa lihat teleskop raksasa 🙂
Yeaay, akhirnya di kampubgku akan dibangun observatorium.
Saya pikir teleskop di Bosscha ini akan dipindahkan ke Kupang, tapi sepertinya tidak ya. Akan ada penambahan teleskop baru.
Sampai sekarang akupun belum pernah ke Bosscha. Penasaran juga melihat bintang lewat teleskop zeiss itu seperti apa ya bentukannya 🙂
Bu Hani, terima kasih artikelnya detail banget. Saya jadi tahu latar belakang pendirian Bosscha. Ternyata beberapa warga Belanda juga ada kepedulian terhadap masyakarat lokal ya.
Sejak dengar kata Boscha dari film Petualangan Sherina, aku selalu ingin datang ke sini.
Sayangnya, setelah bertahun-tahun aku belum sempat menjejak kaki ke sana. Untuk sementara, aku puas baca dulu. Semoga impian ke Boscha segera terlaksana.
Sudah bbrp kali ke Bandung eh kok gak mampir kesini ya… Kalo ke Bandung lagi wajib nih mampir kesini.. dapet banyak edukasi nih kalo kesini
Iya sih ya Lembang sekarang ramai banget sama tempat wisata. Duh, padahal belum kesampean liat2 Boscha, observatorium nya udah mau pindah aja tahun depan, huhu