Bulan November yang baru lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, dalam siaran persnya mengumumkan bahwa sekolah boleh dibuka tahun 2021. Berarti pada bulan Januari 2021. Keputusan pemerintah ini tertuang dalam keputusan bersama antara empat menteri yakni Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Media sosial pun ramai dengan adanya keputusan tersebut. Beberapa malah tidak membaca teliti dan menafsirkan boleh dibuka dengan harus masuk sekolah dan belajar tatap muka. Padahal kebijakan ini masih harus dilengkapi dengan persetujuan dari pemerintah daerah setempat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Kementrian Agama, persetujuan kepala sekolah. Tak kalah penting adalah persetujuan wakil orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam komite sekolah.
Saya menduga, kebijakan ini merembet pula ke Pendidikan Tinggi. Sebagai pengajar di sebuah kampus, sudah siapkah saya bila sekolah boleh dibuka tahun 2021?
Jadwal Baru Bila Sekolah Boleh Dibuka Kembali
Beberapa artikel yang saya baca menjelaskan bila sekolah boleh dibuka maka penerapan pembelajaran akan dilakukan secara bertahap. Jumlah peserta didik disyaratkan sebanyak 30-50 persen dari standar per kelas.
Misalnya untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dengan standar awal 28-36 peserta didik per kelas, maka akan diisi oleh 18 peserta didik. Demikian pula untuk Sekolah Luar Biasa dan PAUD, peserta per kelas pun dikurangi pada setiap sesi tatap muka.
Kemungkinan besar akan ada penjadwalan ulang pada jam belajar dan kelas yang boleh dibuka.
Keinginan untuk membuka lagi sekolah dan pembelajaran tatap muka memang keinginan hampir semua orang yang peduli dengan pendidikan. Dampak berkepanjangan dari PJJ antara lain tidak meratanya pencapaian hasil belajar pada semua siswa. Tidak semua siswa mendapatkan jaringan internet yang mumpuni dan tidak semua siswa mempunyai perangkat untuk belajar secara daring dari rumah.
Bagaimana dengan kampus?
Seperti kita ketahui jadwal perkuliahan di kampus berbeda dengan jadwal sekolah yang siswa ke sekolah tiap hari. Mahasiswa di kampus kehadirannya tergantung pada jadwal per matakuliah yang diatur oleh administrasi kependidikan dan kesediaan dosennya.
Program studi yang per angkatan ratusan mahasiswa biasanya dibagi menurut beberapa kelas paralel dengan tim dosen. Banyak kampus-kampus yang pengaturan jadwal kelasnya sangat padat sehingga ada pekerjaan besar untuk mengatur shif kelas.
Dalam bayangan saya, kelas-kelas yang diatur shif, maka ada kemungkinan pola belajar mengajar menjadi dua macam, yaitu offline dan online. Kemungkinan sekolah-sekolah pun teknisnya ada dua macam metode pembelajaran. Belum lagi, bila orang tua tidak mengizinkan putra-putrinya belajar secara tatap muka ke sekolah.
Kalau begini, kan, kerjaan pengajar jadi dobel-dobel gak, sih?
Dari segi pencapaian hasil belajar selama sembilan bulan terakhir saya pun khawatir hasilnya jauh dari ekspektasi. Saya mengajar di program studi Arsitektur yang sangat memperhatikan kemampuan skil merancang melalui produk gambar. Hasil diskusi dengan teman-teman sesama pengajar, mengajar melalui daring menjadi sulit terpantau progres mahasiswa tersebut.
Di sisi lain, bila kampus mengizinkan diadakan tatap muka dengan mahasiswa, maka ada kebiasaan baru yang harus saya lakukan ketika mengajar.
Kebiasaan Baru pada Belajar Tatap Muka di Saat Era AKB
Pada saat menulis ini jadi rancu menuliskan tentang “kebiasaan baru” ini. Kemarin ini sudah melakukan kebiasaan baru yang jadi kebiasaan lama.
Sembilan bulan terakhir kita semua melalukan kebiasaan baru dalam hal belajar-mengajar, yaitu pembelajaran jarak jauh.
Bukan hal mudah mengajar online, selain menyiapkan perangkat hardware dan software, juga kebiasaan di rumah.
Sembilan bulan ternyata cukup menjadikan kebiasaan baru tersebut menjadi adapted. Saya jadi terbiasa mengajar online.
Kalau diperinci kebiasaan selama mengajar di rumah antara lain:
1.Tak perlu ke kampus. Biasanya saya menyupir sendiri atau naik transportasi umum yang berjarak 13 km dari rumah. Perlu waktu 45 menit hingga 1 jam perjalanan.
2.Tak perlu memikirkan harus memakai kombinasi baju dan berhias.
3.Mengajar hanya menatap layar laptop dan sesekali diskusi dengan mahasiswa.
4.Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di luar Bandung, beberapa ada yang tidak hadir karena kendala sinyal.
5.Berbagai perangkat pengisian administrasi pendidikan di kampus secara online belum berjalan sesuai harapan. Misalnya daftar hadir, ujian, upload soal, upload nilai, dan lain-lain.
Bila belajar-mengajar tatap muka dilaksanakan maka harus ada persiapan:
1.Dosen harus siap kesehatannya.
2.Ke kampus lagi dan siap menghadapi hiruk pikuk lalu lintas di jalan raya.
3.Menyiapkan lagi baju dan segala pernak-perniknya. Dandan lagi…
4.Kelas harus diatur supaya ada jarak antara mahasiswa di kelas dan dosennya.
5.Harus mengajar memakai masker.
6.Menghindari kerumunan.
7.Membawa bekal sendiri.
8.Tidak berlama-lama di kampus
9.Tetap menyiapkan mengajar online misalnya ada shif kelas.
Ini baru belajar-mengajar. Di kampus ada tugas dosen yang termuat dalam Tri Darma, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selama satu semester terakhir semua dilakukan secara online, maka harus ada penyesuaian baru agar bisa laksanakan kembali secara offline.
Kesimpulan
Tahun 2020 sebentar lagi berakhir. Biasanya kita sibuk membuat resolusi untuk tahun yang akan datang. Tetapi kekacauan tahun 2020 ini, sepertinya hanya berharap tahun 2021 kita semua survive dan sehat selamat, sih.
Adaptasi kebiasaan baru yang lama-lama engga baru, karena sudah terbiasa. Lalu akan kembali lagi ke kebiasaan sebelum pandemi, yang bukan kebiasaan lama juga, sih. Karena ada hal-hal baru juga yang menyesuaikan.
Lieur, ga?
Semangat ya, bila sekolah boleh dibuka lagi di tahun 2021! Manusia memang gudangnya beradaptasi dengan segala kebiasaan baru, kok.
Bener banget nih. Semua memang harus siap sedia. Semoga sehat semuanya.
Amiiin. Iya pandemi masih betah di bumi. Tinggal kita harus mencari akal agar tetap berkegiatan tetapi juga tetap sehat.
Makasih sudah mampir…
Kalau 2021 harus kembali ke sekolah? ko saya rasanya masih belum sreg buat ngelepas si kecik. Karena anaknya belum betahan pakai masker, sukanya lari sana lari sini, haduuh.
Mungkin kalau yang usia SMA dan kampus bisa lah bertanggung jawab sama protokol kesehatan. Bagaimana nanti keputusannya, setuju sama Bunda Hani, kudu siap beradaptasi apapun situasinya.
Jujur sebenarnya masih agak ragu juga kalau Januari nanti sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mulai sekolah tatap muka, lumayan repot juga sepertinya, harus pake masker terus, jaga jarak plus sering-sering cuci tangan dan belum tentu semua orang bisa disiplin ikuti protokol kesehatan, apalagi anak-anak. Tapi apapun itu mudah-mudahan kita semua sehat-sehat terus aamiin.
Hari ini saya mengikuti Seminar Ikatan Dokter Anak Indonesia terkait pembelajaran tatap muka yang rencananya akan dimulai bulan Januari. Dan niatan mengizinkan anak sekolah lagi kok jadi urung kwkwkw
Melihat dan mengingat bahayanya.
Apalagi anak sulung, SMA, sekelas 40 anak, seangkatan 7 kelas, sekolahnya bangunannya padat, di shift pun kayaknya sulit ya
Sementara si bungsu SD sekelas 32, seangkatan 4 kelas jadi dari kelas 1-6
Total kira-kira di sekolah mereka ada 800 anak
Duh bayangin protokol kesehatan,bagi shift dll pusing….
Si Najib malah sudah masuk ke sekolah karena kebetulan hanya 4 anak yang mau belajar tatap muka. Jadi semi privat dengan protokol yang ketat dan hanya 2 jam saja. Sejauh ini alhamdulillah aman. Untuk Najwa, memang sekolah belum memberi kepastian, tapi sepertinya lanjut PJJ sampai akhir tahun ajaran. Sebagai ortu sebenarnya aku udah lelah Mbak. Kuesel jiwa raga. Sekolah itu kan pengalihan buatku. Meskipun aku sadar pendidikan anak2 bukan tanggung jawab sekolah. Tapi gak bisa apa2 wis. Masih suka sebel aja sama yg gak percaya korona. Sama yang gak pakek masker dan ngakak2 di tempat umum.
Pingback: Bila Sekolah Boleh Dibuka Tahun 2021, Bagaimana Dengan Kampus? – Blogger Perempuan
Saya berharap semua orang tua siswa tidak setuju kalau anaknya masuk sekolah awal tahun 2021, sekalian saja PJJ hingga akhir tahun pelajaran. Soalnya di daerahku, gubernurnya persilahkan sekolah dibuka dengan catatan, guru harus diswab setiap pekan sementara siswa sendiri tidak diperlakukan sama. Kan virusnya tidak bisa milih kan yah, hanya mau menyerang gurunya saja, siswa tidak.