Pada suatu kesempatan, saya turut seorang teman yang sedang menyusun disertasinya di Bali. Teman saya tersebut, Dwinik, meneliti pemanfaatan ruang terbuka di sebuah desa adat bernama Pengotan, sekira satu jam perjalanan dari Ubud.
Dengan menyewa sebuah mobil, kami berenam, berangkat pagi hari meninggalkan Ubud, supaya menyempatkan mampir di sebuah kawasan wisata lain.
Tidak ada penanda khusus untuk sampai di Desa Adat Pengotan tersebut. Dwinik yang mengemudikan sendiri mobil yang kami sewa, sudah hafal lokasinya, karena memang dia sering ke sana.
Desa Adat Pengotan
Kenapa Pengotan? Secara geografis, Desa Adat Pengotan masuk dalam wilayah Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Menurut tatanan masyarakat Bali, Pengotan termasuk Bali Age atau Bali Kuna. Masyarakat desa Pengotan dianggap penduduk asli Bali, dan hanya warga terpilih yang berhak mengatur tatanan adat di desa tersebut.
Mobil parkir di ujung jalan, kami pun turun berjalan kaki masuk ke area desa. Sepi dan asri.
Desa Pengotan memang tak jauh dari Danau Batur – Kintamani, sehingga udara terasa sejuk walaupun matahari dan langit cerah. Jalan setapak bersih dan rapi, kurang lebih 500 meter, mengarah menuju Pura besar yang sedang direnovasi.
Kalau diperhatikan, begitu berjalan menyusuri jalan utama di Desa Pengotan, jalan lurus menuju Pura nan megah, tetapi di kiri dan kanan jalan nampak rumah-rumah asli sangat sederhana, terbuat dari bambu dan kayu. Begitu sampai di pelataran Pura, kami disambut oleh Undagi setempat.
Dalam tatanan masyarakat Bali, selain terdapat pengelompokan masyarakat menurut kasta, ada juga mengelompokan menurut keahlian. Undagi adalah ahli bangunan, kalau dalam masyarakat modern, mungkin sama dengan arsitek.
Dari penuturan Dwinik, Pura Penataran Agung Pengotan memang sedang diganti atap alang-alangnya. Seperti kita ketahui bangunan tradisional Bali beratap alang-alang atau ijuk. Setiap tiga tahun sekali atap-atap tersebut harus diganti dengan ijuk baru, dan untuk menggantinya dilakukan ritual tertentu, serta memerlukan biaya banyak.
Bagi masyarakat Bali, Pura merupakan bangunan peribadatan yang dianggap sakral dan harus dirawat dengan benar. Tak masalah bahwa rumah sendiri merupakan rumah sederhana.
Sebelum sampai di halaman Pura Penataran Agung Pengotan, kami menyempatkan menyambangi rumah-rumah penduduk setempat. Tidak semua berdinding bambu, beberapa rumah yang pemiliknya cukup mampu, dinding rumah tidak lagi terbuat dari bambu, tetapi dari batako.
Setiap keluarga mempunyai halaman sendiri, dibatasi oleh tembok setinggi 1.5 meter, dan ada gerbang kecil untuk masuk ke halaman. Suasana tampak sepi, sedikit sekali aktifitas yang ada.
Pada setiap halaman atau kapling keluarga tersebut terdapat dua buah rumah yang berhadap-hadapan.
Di depan rumah terdapat teras cukup luas yang berjarak sekira 50 cm dari permukaan tanah. Dengan demikian rumah-rumah tidak langsung didirikan di atas tanah, tujuannya agar tidak lembab.
Menurut Undagi, rumah-rumah yang tampak sepi tersebut kemungkinan penghuni rumah sedang ke ladang, atau anak-anaknya ke sekolah. Bisa juga begini, rumah-rumah adat tersebut memang bukan untuk ditinggali sehari-hari. Hanya dipakai pada saat akan ada upacara adat di halaman Pura Penataran Agung. Misalnya pernikahan masal, upacara penguburan, atau upacara adat lainnya.
Santap Siang nan Lezat
Sejak awal kami menuju Desa Adat Pengotan, Dwinik sudah promosi, bahwa nanti siang kami akan disuguhi makan siang khas setempat, hasil olahan istri Undagi.
Benar saja. Setelah selesai melihat-lihat bangunan yang ada di Desa Adat Pengotan, kami diundang oleh Undagi untuk menyambangi rumahnya.
Rumahnya tak terlalu jauh dari kawasan Pura, masih ke Selatan sedikit. Dwinik pun memindahkan mobil, supaya selesai makan siang, kami bisa langsung pamit.
Dua dari teman kami harus ke bandara, untuk naik pesawat pukul 3 sore. Sedangkan dari Pengotan ke Ngurah Rai kalau tidak macet, lama perjalanan bisa lebih dari satu jam.
Ketika kami sampai di teras rumah Undagi, sang Istri sibuk membawa nampan berisi penganan dan kopi. Pemirsah, tahu kan, kopi Bali yang sudah terkenal endes itu. Saya yang jarang minum kopi pun, tak sungkan nyeruput juga segelas kopi.
Tak soal, apakah kopi itu baiknya diminum sebelum atau sesudah makan.
Kopi Bali dan Makanan Ringan
Tak lama, Undagi membawa sendiri satu magic jar berisi nasi. Alamak, kami jadi malu. Masak iya, satu wadah besar nasi. Katanya mau diet.
Ternyata nasinya buka sembarang nasi, tetapi namanya Nasi Sela. Yaitu nasi yang dimasak bersama potongan ubi kecil-kecil. Akibatnya nasi tampak cantik, berwarna putih dengan bintik-bintik kuning.
Apanya kami ini enggak tergugah seleranya jadinya…
Nasi Sela dan Ikan, Jukut Undis, Sambal Matah
Kemudian satu demi satu lauk pauknya disajikan. Ada ikan mirip pesmol, kemudian bungkusan daun pisang, mirip pepes. Kemudian sepiring besar irisan bawang, cabe rawit, dan daun jeruk.
Berhubung kami berenam, ibu-ibu semua, maka keluarlah pertanyaan, nama jenis masakan, resep, dan lain-lain. Ternyata ikannya merupakan ikan air tawar berasal dari Danau Batur, dimasak agak berkuah, namanya Ikan Nyet-nyet.
Sedangkan irisan bawang merah-cabe rawit itu adalah Sambal Matah. Kuncinya kata Ibu Undagi, semua irisan bawang merah-cabe rawit-daun jeruk itu disiram dengan minyak panas.
Oke, nanti saya coba ah di rumah.
Kuliner khas Pengotan, sumber: pribadi
Bungkusan daun pisang mirip pepes tadi, ternyata bahannya merupakan sisa minyak kelapa dan aneka bumbu, namanya Telengis. Masih ada lagi hidangan yang disajikan, yaitu Jukut Undis, mirip sayur kacang merah, tetapi lebih pekat, dan kacangnya kecil-kecil, seperti kecang kedelai hitam.
Telengis, sumber: pribadi
Rasanya? Istimewa banget. Pokoknya sajian hotel bintang 5 kalah deh.
Tak terasa, masakan ikan habis kami gado (makan tanpa nasi). Kami ini jadi malu-maluin, masakan istri Undagi licin tandas kami santap.
foto bersama Undagi dan keluarga, sumber: pribadi
Kalau kami tak buru-buru harus mengantar teman lain ke Bandara, rasanya kami masih ingin meluruskan kaki, dan menikmati sepoi angin sore hari di Desa Adat Pengotan.
Bandung, 30 Juli 2018
Makanannya gurih-gurih ya mbak, jadi kepingin de…
Telengis kayaknya gurih tu..
Iya gurih tak ada duanya. Nagih lah…
Jadi pengen tinggal di sana. Kayaknya suasananya menyenangkan ya, Mbak.
Lupakan diet deh kalo ke sana… hehehe
Lhah iya…Teman saya itu sampai dipanggil Ibu oleh anaknya Undagi. Saking sering dan betah tinggal di sana.
Jadi ngiler
Banget…Nyam-nyamlah pokoknya…
Jadi kangen kalau main ke rumah teman waktu kuliah di Bali dulu…Pasti disuruh makan . Maklum Meme nya tahu kalau saya anak kos kwkwwk.
Belum lagi pulangnya dibawain jaje Bali juga…komplit dah kenyangnya
Enak benar lihat sambal matahnya, Mbak hani
Nasi sela enak, Mak. Ada manis-manisnya, gitu hihihi. Saya juga pernah makan telengis, dibawain teman kerja.
Jadi lapeeer…apalagi makannya di desa yg tenang seperti itu, pas5i nambah rerus deh…hehe
“kiri dan kanan jalan nampak rumah-rumah asli sangat sederhana, terbuat dari bambu dan kayu”
Pasti asri sekali disana yaa Bunda Haniiii 😍
Saya baru tau, ternyata di Bali ada juga pengelompokan berdasarkan keahlian selain berdasarkan kasta.
Suasananya keliatan adem ya, Mbak.
Ternyata desa ini dekat Danau Batur. Saya belum pernah dengar sebelumnya nama desa ini. Padahal sudah pernah ke Kintamani dan Danau Batur, juga sampai nyeberang danau ke Desa Adat Trunyan.
Apakah dekat dengan Pengotan dekat dengan Trunyan? Desa-desa di sekitar Danau batur tergolong masyarakat Bali Aga. Dan ada lagi di Karangasem.
Pengotan masih di tepi jalan besar, tak jauh dari Kintamani, ke arah Den Pasar, di kanan jalan. Jadi tidak turun di tepi danau Batur. Iya, Pengotan pun termasuk Bali Aga.
wah itu makanannya super nikmat. apalagi khas bali dibuat oleh orang bali juga, jelas kalah masakan hotel. langsung lap iler nih, hihi
Iya. Enak banget masakannya si Ibu, istri Undagi. Ikannya bisa gurih banget rasanya…
Baru kmaren nonton vlog ttg nasi sela, dan skarang ada yg bahas di blog. Jd makin penasaran.
Btw sambel matahnya menggoda bangetttt…melimpah ruah, yampuuun. wkwkwk
Iya sambal matahnya mantap. Coba bikin sendiri di rumah, beda iiih. Padahal bahannya sama, pakai irisan daun jeruk juga…
Makanannya sederhana tapi keliatan enak, unik banget ya kuliner desa di Bali. Jadi lapar, kebayang nasinya di campur ubi, lauknya menggoda selera..semoga bisa ke Bali..
Wah… jadi penasaran dengan makanan tradisional Desa Pengotan. Kayaknya enak banget, tuh. Nggak ada satupun yang pernah saya cicipi. Semakin penasaran …
Ngiler deh bayangin makan nasi yang masaknya pake ubi dengan ikan air tawar itu. Duh, aku juga pengen nih jadinya.
Belum pernah mencicipi semuanya. Kayaknya enak. Jadi lupa diet, hihi…
Beneran bisa lupa diet kalau menunya seperti itu. Tetapi, saya belum pernah merasakan nasi sela. Kayaknya unik juga rasanya
nikmatnya makan hidangan tradisional , walau baru pertama nyoba ternyata menggoyang lidah banget ya mbak…
kalau ketagihan bisa minta ikutan lagi sama bu Dwinik he.. he..
Nasi selanya bikin penasaran buat dicobain.. jadinya ada rasa manis2nya dari ubi gt donk ya…
Pwrjalanan yang seru memang seperti ini, ada intwraksi dengan warga. Kalau bisa makan bersama mereka, itu anugerah banget sih.
Satu yang aku suka dari rumah di Bali, halaman dan bangunannya besar. Rasanya orang Bali tidak kenal rumah tipe 21 deh. Ahahahah
Aku baru denger nih mba tentang Desa Pengotan.. Rasanya jasi pingin ke desa adat juga kalo nanti ada kesempatan buat jalan-jalan ke Bali.. Endeus maknyus itu santapannya ya mbaa.. Kalo udah ada yang dibungkus daun gitu pasti lebih berasa enaknya, deh.. hehe.. Dan aku jadi pingin nyoba di rumah bikin nasi pake ubi gitu juga.. 😀
Indonesia emang keren ya mba, mau wisata apa aja juga ada. Semoga anak cucu kita masih bisa menikmatinya nanti, zaman tidak mengikisnya terlalu cepat
Ngiler banget liat sajian nasi dan lauknya mbak. Baca blog postnya mba ini, jadi makin cinta Indonesia deh. Keberagaman budaya, kulinernya. dan alamnya tak perlu diragukan lagi. Bali apalagi.. Desanya ini, rumahnya yang dari anyaman kayu, itu masih ditempati warganya ya mba? Inginnnnn banget saya liburan ke Bali, tapi nginep ala homestay gitu bersama warga. Ada di Desa Pengotan ini tak ya? Ingin membaur dengan masyarakatnya.
Sedap sekali makan makanan lokal yg dimasak penduduknya langsung. Nama ikannya lucu yaa. Hahhaa
Ah, aku belum pernah punya kesempatan utk ke desa adat di Bali mbak. Kapan2 kalau ke Bali lagi pengen jg liat geliat kehidupan desa adat di sana. Syukur2 bisa menginap di sana 😀 TFS
Ramah-ramah orang Bali tuuu. Seneng…
undagi, kayaknya pelajaran sd apa smp ya dulu jadi ga asing. sekarang udah jarang banget denger dan baca istilah ini
Undagi, artinya ahli bangunan, semacam arsitek gitu. Biasanya turun temurun.
Pengen ke sna. Makan msakan undagi
Iya…apalagi disertai semilir angin di desa. Nyaman…engga kerasa makannya banyak…Hehe…