Tanggal 13 Maret 2020, diawali oleh Universitas Indonesia menerbitkan edaran bahwa kampus ditutup, termasuk asrama dikosongkan. Kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), pembelajaran jarak jauh, sampai akhir semester. Padahal di banyak kampus lainnya, ada yang kuliah baru dilaksanakan, ada yang baru selesai ujian tengah semester.
Satu demi satu kampus, disusul dengan sekolah-sekolah sejak mulai PAUD hingga SMA juga menerapkan pembelajaran jarak jauh. Kita semua masih gamang dengan PJJ ini, berbagai metode dan platform pun diuji coba. Orang tua mulai setres dan melimpahkan kekesalan pada guru yang memberi banyak tugas, tapi seolah cuma terima hasil.
Di sisi lain, dosen dan guru pun tak kalah setres, mencari akal cara penyampaian materi ajar ke mahasiswa maupun murid yang efektif. Berbulan-bulan berlalu, hingga tiba saatnya kenaikan kelas dan kelulusan. Kemudian berlanjut ke tahun ajaran baru dan naik ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Setelah berbagai polemik, di kota-kota besar ternyata masih diberlakukan PJJ ini. Kita yang semula terpaksa dengan sistem pembelajaran jarak jauh, akhirnya menjadi terbiasa dengan kondisi ini. Belajar seperti biasa ke sekolah dan kampus sepertinya baru bisa dilaksanakan sampai seluruh zona benar-benar dinyatakan zona hijau.
Hal-hal yang Semula Terpaksa
1 – Tidak Bertatap Muka Langsung
Sejarah baru adalah ketika pengajar harus memberikan materi ajar melalui kamera. Pilihan software untuk daring ini bermacam-macam, ada Zoom, Google Meet, Google Classroom, Skype, maupun lainnya. Bahkan ada yang cukup melalui group WhatsApp saja untuk grup kecil.
Ternyata dari berbagai obrolan, tidak semua pengajar percaya diri presentasi depan kamera. Misalnya membuat materi ajar dan direkam di video, ada saja salahnya. Entah baju yang salah, cara bicara, belum lagi harus menyiapkan media ajarnya dengan lebih detail.
2 – Kendala Teknis
Sudah bukan rahasia lagi, jaringan di Indonesia belum ada yang sepenuhnya stabil. Walaupun beberapa kampus memberikan bantuan kuota ke mahasiswa dan dosen, sepertinya belum berlaku untuk murid-murid dan guru. Bukan soal kuota, tetapi kecepatan jaringan, dan juga peralatan komunikasi harus dengan syarat tertentu. Selalu ada kendala sana-sini, sehingga penyampaian materi lambat. Entah di videonya maupun suaranya, sehingga komunikasi tidak lancar. Akhirnya, kita terpaksa berhadapan dengan tayangan yang suaranya lup-lep, kadang ada seringnya tiada.
3 – Menafsirkan Perintah Tertulis
Sebagian besar kita terbiasa dengan bahasa bertutur. Membaca materi ajar pun harus disertai diskusi dengan pengajarnya supaya lebih faham. Adanya kendala dalam berkomunikasi seperti ini, kemungkinan besar materi ajar tidak 100% sampai.
Bagi murid-murid SD yang didampingi orang tua, yang orang tua sudah lama tak tahu seluk beluk pelajaran SD, memang membuat setres. Orang tua terpaksa belajar lagi matapelajaran yang puluhan tahun lalu sangat berbeda materinya dengan materi zaman sekarang. Banyak juga orang tua yang tidak terbiasa berkoneksi dengan media belajar melalui internet membuat kendala juga.
4 – Belajar Mandiri
Ternyata tidak seluruhnya pelajaran jarak jauh ini merepotkan orang tua. Pada beberapa kisah, anak-anak justru belajar mandiri. Ya kali, tidak ada yang bisa ditanya, sedangkan guru di seberang layar mengharuskan mengerjakan PR. Mau tidak mau, anak terpaksa bisa menyelesaikan sendiri masalahnya.
Hal-hal yang Menjadi Terbiasa
1 – Tak Perlu Menjaga Sikap
Sejak di rumah saja dan tak perlu pergi-pergi untuk bekerja ternyata berdampak pada kegiatan sehari-hari. Biasanya harus mandi pagi-pagi dan harus segera berangkat supaya tak terjebak kemacetan. Maka sekarang acara mandi bisa lebih longgar. Sarapan pun bisa sambil di depan komputer dengan mematikan sebentar video.
Hal-hal lain, kita tak perlu pakai sepatu dan baju terbiasa memakai yang itu-itu saja, cukup berbekalkan kerudung berbeda saja. Bagi perempuan, rasanya sudah terbiasa tidak memakai segala krim-krim penangkal sinar matahari dan lipstick aneka warna.
Di sisi lain, guru atau dosen jadi tidak bisa membaca gestur muridnya. Sebelumnya sebagai pengajar saya bisa mengamati kelas, mana anak yang memerhatikan, mana yang melamun, dan mana yang ngobrol. Dengan terpaku pada layar monitor dan hanya melihat kotak-kotak berisi wajah mahasiswa, saya kurang bisa melihat ekspresi wajah mereka.
2 – Soliter
Saya tidak tahu kondisi melakukan pembelajaran jarak jauh ini bila berkepanjangan, apa efeknya ke peran anak-anak di masyarakat. Kekhawatiran saya adalah, mereka tidak biasa berbicara depan orang langsung. Bagaimana mengatur nada bicara ke orang lain dan membaca ekspresi wajah orang ketika diajak bicara.
Selama beberapa bulan ini, kita kan berbicara depan layar, di depan beberapa wajah-wajah atau kotak-kotak hitam, karena video dan suara dalam keadaan off. Bisa jadi, anak-anak akan menjadi anak-anak yang soliter, hidup menyendiri, karena sudah terbiasa dengan kondisi seperti sekarang.
3 – Kurang Fokus
Melakukan pembelajaran jarak jauh, dari sisi pengajar dan murid, sama-sama kurang fokus.
Saya jadi merasa lebih santai karena mengajar dari rumah. Setelah menyampaikan materi ajar dan menanti reaksi mahasiswa, saya malah nyambi membuka layar lain. Entah artikel kerjaan, ngeblog, medsosan, bahkan memanggang kue.
Kadang penantian untuk berdiskusi dengan mahasiswa pun tak berjalan sesuai harapan karena terkendala dengan jaringan yang kurang lancar. Belum lagi tiba-tiba mahasiswanya leave group karena kehabisan kuota.
Bagi pengajar yang juga ibu atau ayah mengajar dari rumah, kurang fokus juga disebabkan harus mendampingi putra-putrinya pembelajaran jarak jauh di rumah.
4 – Sabar
Menghadapi pembelajaran jarak jauh ini membuat kita terbiasa sabar. Kalau di awal pandemi mungkin kita terpaksa dan berujung setres karena marah-marah. Akhirnya setelah berbulan-bulan, kita pun beradaptasi dengan situasi pandemi dan lebih sabar saja.
Kesimpulan
Di lingkungan perguruan tinggi, Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dalam konteks PerMen no 51 Tahun 2018 ini menyikapi kemajuan teknologi dan imbas Revolusi Industri 4.0. Tujuannya diadakan PJJ ini adalah semakin banyak warga Indonesia yang memungkinkan belajar dan mencapai strata sarjana, tanpa harus hadir di kelas di kampus.
PJJ yang kependekan dari Pendidikan Jarak Jauh hanya diperbolehkan diselenggarakan oleh perguruan tinggi dengan akreditasi unggul.
Sedangkan pembelajaran jarak jauh (PJJ juga) yang sekarang berjalan, menurut saya merupakan keputusan yang bersifat darurat, karena kondisi pandemi. Silang pendapat antara PJJ dipermanenkan atau segera mengirim anak-anak berangkat ke sekolah seperti sebelum pandemi, tak berkesudahan. Akhirnya kita tak punya solusi apapun tetapi malah menyalahkan sana-sini. PJJ dibuat permanen, salah. Padahal maksudnya permanen adalah metodenya saja. Sekolah boleh dibuka di zona kuning dengan protokol kesehatan ketat, salah lagi. Orang tua tak berani mengirim anak-anaknya ke medan perang.
Akhirnya kita memang terpaksa menerima kondisi serba gamang ini. Seorang teman berputera empat, malah lebih senang dengan kondisi seperti sekarang. Artinya teman saya tak perlu capek antar jemput ke tiga sekolah berbeda, karena yang paling kecil masih balita. Salah seorang puterinya malah punya life skill baru, membuat roti. Bahkan banyak kursus online gratis, webinar, dan sharing-sharing lain bertebaran bisa dipilih untuk menambah wawasan dan skill baru.
Bagaimana menurut teman-teman? Sudah bosan di rumah yah…Samma sih, saya juga…
Bandung, 9 Agustus 2020
Begitu, ya. PJJ ini bikin kita jadi kurang waspada dengan sikap saat berkomunikasi dengan orang lain. Semoga bisa ditambal dengan cara lain, ya
Khawatir aja Kak. Anak² engga terbiasa ngomong dengan orang lain, membaca gestur, sikap waspada, dll. Iya, hrs mencari jalan nih…
Halo Mbak Hani. Ini curhatan dan tulisannya mewakili isi hati tante saya yang seorang dosen di sebuah kampus di Surabaya. Awalnya dia gaptek. Begitu mulai sistem pembelajaran jarak jauh, dia jadi kenal cara pakai Zoom, Google Meet, dll. Namun karena menyesuaikan kemampuan mahasiswanya, akhirnya dipilih menggabungkan Video Call WA dan WA group. Soalnya para mahasiswanya kerap kehabisan kuota, banyakan anak perantauan dengan kelas menengah ekonomi menengah ke bawah. Tante saya juga mesti menerjemahkan penjelasan ilmu kesekretarisan ke tertulis, gambar, video. Well, hikmahnya–kata tante saya–dia sekarang jadi kenal teknologi. Hehehe.
Sama Mbak. Semester yg lalu, mahasiswa malah saya suruh mudik aja cepet². Soalnya Bandung kan zona merah, drpada tertular. Orang tuanya juga cemas kan. Nah, di kampung halaman, jaringan lup-lep. Engga efektif banget PJJ nih. Habis, drpd engga belajar…Makasih yaa udh mampir…
Benar sekali mbak..
Awalnya pjj emang susah, tapi krn sudah beradaptasi akhirnya terbiasa
Selalu ada hikmah dari setiap kejadian ya. Termasuk pandemi ini.
Sebagian mungkin diberatkan, tapi bagian lain justru diringankan. Ini pelajaran untuk kita, supaya bisa menerima segala kondisi dan konsekuensi. Sukur dalam kemampuan, sabar dan tawakal serta ikhtiar dalam keterbatasan.
Sepertinya tidak ada pilihan lagi ya Mbak, selain menerima dengan ikhlas. Meski ada suka dukanya, tetapi saya pribadi akhirnya berusaha untuk berdamai dengan keadaan demi anak – anak juga. Apalagi di daerah saya masih zona merah. Semoga pandemi ini segera berlalu dan kita bisa kembali menjalani kehidupan dengan normal.
Sulit untuk anak, sulit untuk guru. Kebanyakan anak gak suka kalau ibunya yang jadi guru. Ibu yang guru sekalipun malah kesulitan ngajar anak sendiri. Semoga virus ini segera berakhir.
Ya, PJJ, sebuah keterpaksaan yang akan menjadi kebiasaan.
Ada positif, ada juga negatifnya.
Entah sampai kapan kita harus menikmati keadaan ini 🙂
Kalau saya boleh milih, lebih baik pembelajaran jarak jauh ini dipatenkan. Anak saya masih di level TK, dia cukup bisa menguasai pelajarannya meskipun penyelenggaraan sekolahnya secara online.
Tentang kemampuan sosialnya, dia bahkan mampu berinteraksi akrab dengan temannya melalui layar Zoom. Saya pagi ini takjub mendengar dia bertengkar dengan teman sekelasnya melalui Zoom di kelas. :))
Saya tidak bosan. Anak saya pun tidak. Paling-paling kendala kami adalah ketika sinyal provider sedang lemot, atau ketika aplikasi Zoom di laptop sudah mulai error sehingga harus segera diupdate. Tapi saya merasa terbebas dari keharusan transportasi untuk mengantar anak ke sekolah.
Memang ada kendala bagi gurunya, saya ikut merasakan. Kalau sinyal sedang lemot, pasti gurunya tidak bisa membaca gestur muridnya, apakah muridnya itu senang atau antusias atau murung.
Laptop yang kurang mumpuni juga rentan bikin radiasi yang mengiritasi mata. Jika gurunya punya masalah penglihatan, tentu lelah menghadap laptop selama berjam-jam demi pembelajaran online.
Pembelajaran jarak jauh ini bukan metode ideal. Tapi ini solusi paling aman untuk wabah saat ini. Semua orang, memang harus beradaptasi kalau mau pendidikan tetap berjalan. Karena janganlah sampai pendidikan itu berhenti, cuma gara-gara sekolah berpotensi untuk jadi klaster wabah.
Akhirnya memang yang memutuskan orang tua ya Mbak. Dilakoni saja … Walaupun Kementrian membolehkan sekolah dibuka di zona kuning. Tapi ya tetap was-was. Zona kuning itu mau jadi hijau, atau malah jadi merah.
Yap bener nih bun. Ponakan saya jg baru masuk TK A. Malah ibunya lebih suka sekolah di rumah begini. Karena lagi hamil lagi jadi gak pusing cari orang untuk antar jemput hehe.
Iya karena gak ada pilihan lain juga ya, terpaksa PJJ dilakukan. Yang penting dalam keadaan sehat semua dan terhindar dari virus Covid 19
Karena kondisinya darurat, jadi mau enggak mau di jalani ya Bun :). Tapi ternyata enggak semuanya menolak metode online. Teman saya juga ada yang lebih suka belajar online, menurutnya anak-anak lebih efisien belajarnya karena bisa memanfaatkan waktu yang tersisa buat mempelajari hal selain yang dipelajari di sekolah katanya.
Karena situasi dan kondisi memang mengharuskan untuk membiasakan diri, orang tua dan anak akhirnya sama sama belajar bukan hanya anak saja, semoga segera pulih negeri ini
Ini sih mau nggak mau ya mbak. Kalau nggak belajar daring terus mau gimana lagi. Orang sekolahnya juga belum mengizinkan murid masuk normal.
Setuju sekali mba Hani.
Kita memang didorong untuk bisa beradaptasi dengan kondisi dengan sangat cepat. mungkin kalo ngga ada pandemi kita bakal tetap menuju ke sistem yang sekarang, hanya saja adaptasinya bakal pelan-pelan, ngga sekencang yang sekarang.