Begitu seorang gadis naik status jadi seorang istri, seringkali yang diharapkan dia pun bisa memasak. Memasak menu harian merupakan perjuangan tersendiri kala berumahtangga. Padahal di zaman milenial ini berapa persen gadis yang ketika menjadi istri siap memraktekkan aneka resep menu sehari-hari? Seorang teman di kantor malah cerita, dia dulu ingin sekali membantu ibunya di dapur. Tetapi dilarang oleh ibunya, teman saya disuruh belajar saja. Biar urusan dapur, urusan Mamah, kata beliau.
Seingat saya, ketika mulai cawe-cawe (bantu-bantu, bhs Jawa) di dapur, umur saya 11 tahun. Saya membuat puding maizena, yang tidak terlalu sukses. Kemudian sih saya makan saja sendiri. Kagok sudah dibuat, mosok dibuang. Urusan masuk dapur kemudian berkembang berkreasi membuat dadar aneka variasi. Omelet namanya.
Ibu saya berputra 5 orang, 3 diantaranya perempuan. Dibanding saudara perempuan saya, saya lumayan tidak alergi dapur. Masih mau mencoba-coba resep. Tetapi resep-resep kue atau penganan. Tidak ada dalam kamus saya, memasak lauk-pauk. Semua kan terserah Ibu saya dan ART.
Belajar Memasak Menu Harian
Ketika saya menikah pengetahuan tentang menu lauk-pauk minim dong. Untungnya saya rajin mengumpulkan resep dari berbagai sumber, guntingan koran, majalah Femina yang saya bundel di 2 map ordner, atau mencatat resep dari acara TV. Tetapi resep Femina sebagian besar resep mewah dengan bahan-bahan serba terukur dan kualitas prima. Jarang menu sehari-hari sederhana dengan biaya terjangkau. Misalnya sayur bening dan tempe goreng. Bahkan mengoreng tempe pun saya tak tahu bahan dan takarannya. Apakah dicelup air garam saja, apakah ulekan bawang putih, ketumbar, dan kunyit? Pengetahuan tentang tanaman untuk bumbu dapur apalagi, saya blank. Belum bisa membedakan antara daun kunyit dan daun laos.
Waktu saya berumah-tangga sendiri terpisah dari orangtua, saya sudah punya anak satu usia 9 bulan. Nah, saya kan tertatih-tatih mengelola dapur. Menunya antara menu MPASI dan menu sehari-hari. Selain saya mencari resep harian yang mengolahnya tidak ribet, saya pun masih belajar, suami itu demennya masakan apa. Ada saja hal-hal memalukan ketika menyiapkan bahan dasar, serta memasaknya hingga siap dihidangkan. Karena segalanya trial & error. Pernah juga saya ikut kursus memasak, tetapi membuat kue.
Belajar dari Kegagalan
Ceritanya begini.
Bibi Sayur waktu itu membawa ati-ampela di antara barang dagangannya. Dan sayapun berencana mengolahnya menjadi semur ati-ampela. Saya cuma heran, bagaimana caranya penampakkan semur ati-ampela seperti di warung makan. Jadi, waktu itu ati-ampela hanya saya cuci lalu dicemplungkan ke dalam bumbu. Aduk-aduk, mateng deh.
Nah, ketika suami mau makan malam. Saya dengan bangganya menyajikan menu ati-ampela. Jeng jeng…pas diiris…itu ya ternyata ampela masih gelundung belum dibuang isi temboloknya.
Suami, speechless. Saya pun melongo.
Jauh hari kemudian saya baru tahu, bahwa tugas Bibi Sayur membersihkan dan membuang makanan ayam yang belum tercerna itu.
Bahkan sampai sudah lewat tahunan kemudian, suami masih suka becandain kebegoan saya itu. Dan saya, apa boleh buat, tidak bisa baper. Saya hanya ngeles, saya kan dulu sekolahnya teknik, bukan sekolah masak. Halah. Itulah bullyan suami ke saya, soal ati-ampela. Enggak sih enggak dibully. Aib saja sih.
Baiknya suami saya itu (yaiyalah baik, kalau tidak mosok dipilih jadi suami). Dia lalu membelikan buku resep untuk saya. Dua malah. Sudahkah dipraktekkan? Ya sudah tentu saja.
Menu andalan saya Sop Buntut dan Kacang Merah. Hanya saja buntutnya saya ganti dengan daging tetelan atau tulang iga. Enaknya sama kok. Namanya juga ibu rumahtangga, pengiritan kan perlu. Kemudian Rawon, karena suami dari Jawa Timur. Hanya saja kalau resep aslinya semua daging, kalau di keluarga kami ditambah dengan labu siam, supaya jadi banyak dan tidak boros daging. Kata suami, Ibu Mertua dulu begitu, super irit. Sepakat. Selain lebih irit, bisa lebih sehat karena diberi sayuran.
Meniru
Ibu saya kurang bisa memasak. Beliau lebih bisa menjahit baju. Konon ceritanya dulu oleh Eyang Putri yang berputera delapan, Ibu sebagai anak sulung, kebagian menjahit baju untuk adik-adiknya. Bagian memasak, tante saya yang nomor tiga.
Sedangkan Ibu Mertua kata suami, jago masak. Dulu sering menerima pesanan masakkan. Kemudian beberapa ketrampilan beliau mengolah makanan bahkan bisa menyambung asap dapur ketika Ayah Mertua pensiun dini. Antara lain membuat abon dan telur asin.
Sebagai anak wajar saja suami sering memuja-muji masakan Ibundanya. Walaupun ketika saya menikah dengan suami, Ibu Mertua sudah jarang memasak. Selain beliau sudah sepuh, sudah berumahtangga selama 50 tahun lebih, wajarlah sudah malas memasak. Jadi sebagai menantu saya belum pernah belajar memasak dari beliau.
Pernah pada suatu hari saya membuat Soto Ayam. Kata suami, masakan saya tak seenak soto ayam buatan ibunya. Jleb…jleb…baper…baper…
Walaupun sudah lama lewat, masih teringat saja sampai sekarang. Halah.
Pada suatu hari saya membeli Kumpulan Resep Sop dan Soto, terbitan Gramedia. Anak-anak masih kecil, jadi seringnya saya perlu resep yang berkuah. Ketika saya mencoba resep Soto Ayamnya, kata suami enak, mirip dengan soto buatan Ibu. Senang sih, dipuji masakan saya enak. Walaupun sebetulnya, kenapa tidak bilang enak doang. Tidak perlu imbuhan seperti masakan siapa-siapanya gitu. Curhat…haha…
Mau tahu resep Soto Ayam yang mendapat pujian itu?
Berikut resepnya:
Pasang-surut Memasak Menu Harian
Urusan dapur dan menyiapkan menu sehari-hari, ada masanya pasang, di mana saya rajin sangat mencoba berbagai resep sampai yang sulit-sulit. Saya pernah membuat pepes ikan mas, resepnya dari buku resep hadiah suami. Kemudian bandeng isi, resepnya dari Femina. Itu lho, yang bandengnya dipukul-pukul sampai dagingnya empuk, lalu bisa dijabut seluruh tulangnya dan dikerok dari kulitnya. Kemudian ditumis, dijumputin durinya satu demi satu, diberi bumbu, lalu dimasukkan lagi ke selongsong kulitnya. Dan masih dilanjutkan dengan proses lain sebelum sampai ke meja makan.
Terniatlah!
Masakan Padang pun pernah mencoba. Enak? Entahlah. Hari-hari berikutnya jarang mencoba lagi. Pertama ribet, kedua bersantan. Serahkan saja ke ahlinya kalau ini. Standarnya sehari-hari saya lebih sering sekitar tumis-menumis, goreng-menggoreng, masak cemplang-cemplung tanpa catatan resep. Kisahnya saya tulis juga di sini. Bonus resep lho!
Surutnya semangat memasak menu harian kapan? Ya sekarang-sekarang ini, saya mulai merasakan surutnya keinginan memasak menu harian. Bukan berarti saya lalu tidak memasak sama sekali. Saya justru sering mencoba-coba resep kue, penganan camilan atau roti, yang sampai sekarang belum seempuk roti dari bakery.
Ada beberapa alasan kenapa sekarang tak semangat memasak menu lauk-pauk harian:
1. Bosan
Bosan memikirkan kombinasi menu, dengan bahan-bahan itu-itu lagi yang dijual tukang sayur di gang.
2. Tidak ada yang makan
Di rumah tinggal saya berdua suami. Makan di rumah berdua hanya makan malam. Jadi memasak heboh berujung makanan baru habis berhari kemudian.
3. Repot
Memasak untuk 2 orang, sama repotnya dengan memasak untuk 4 orang. Peralatan memasak yang digunakan dan dibersihkan sama saja. Apalagi kami tak punya ART.
4. Ada go-food dan restoran siap antar
Dengan adanya telepon dan aplikasi makanan siap antar memudahkan urusan penyediaan lauk-pauk harian kami.
Kalaupun saya mood memasak biasanya masakan yang dipanggang atau one dish meal. Saya hanya mengolah, mengaduk, masukkan ke dalam loyang pyrex, panggang 45 hingga 1 jam. Saya tinggal gadgetan atau update blog seperti sekarang ini. Tarra…jadilah Ayam Panggang Madu, Mousaka (resep favorit keluarga, resep dari Femina, bisa dicek di Cookpad), makaroni schotel, dan lain-lain.
Atau saya memasak agak banyak ketika anak saya dan istrinya datang berkunjung dan menginap. Kalau tidak, dan sehari-hari hanya berdua, cukuplah beli lauk matang dari kantin kampus. Suami juga penuh pengertian, seringnya dia yang beli lauk-pauk itu.
“Aku beli lawuh Padang”, pesan dari WhatsApp suami.
“Sip…”, jawab si Istri yang mulai malas masak, sambil diimbuhi emoticon lope-lope.
Nah, teman bloger apa resep andalanmu?
Bandung, 14 Januari 2018
Resep andalan saya adalah telor dadar mba, tinggal kocok telur tambahin garam sedikit. Kalau agak niat tambahin daun bawang dan irisan bawang putih. Wkwkw.
Saya juga istri yang belum jago masak, malah karena ada bayi jadinya kami pesan catering 😀
Haha iyah…telur dadar variasinya banyak. Saya suka dicampur potongan tahu, jadi deh tahu telur. Dimakan sama irisan cabe rawit dan kecap. Siiip.
Punya bayi memang ga bisa banyak ke dapur. Nanti kalau sudah mulai makan, baru deh ribet mikir menu yang si Kecil doyan. Makasih yaa sudah mampir…
Ya Allah bunda itu drama ati ampela yang belum di buang temboloknya kok persisi sih saya aku dulu, hahaha. Dengan PD nya juga di goreng, eh ternyata belum di bersihkan dalamnya, tapi waktu itu saya masih SMA jadi ya wajar kali ya kalau belum tahu (ngeles ini sih ). Kalau sekarang saya juga variasi aja, kadang masak kadang beli, tergantung kondisi aja, dan suami juga termasuk laki2 yang tidak mewajibkan istrinya masak, jadi lebih fleksible
Seru banget cerita bunda Hani, bikin mesam-mesem deh saat membacanya.
Saya pun punya cerita lucu tentang memasak karena memang awalnya juga tidak pernah masak kan sebelum nikah.
Bunda Hani mah semangatnya luar biasa ya. Mertua saya pun udah malas masak saat anak-anaknya ikut suami semua, heheh. Mungkinkah saat sudah tua nanti saya akan begitu? hehe
Ihihihi aku ngekek baca paragraf penutup yang bagian si babeh WA beli lawuh. Kebayang bunda ngebalesnya bari seuri jeng gogoleran di sofa 😬😬
Kalo aku sejak nikah jadi mendadak bisa masak Bun. Sampe sekarang lebih banyak masak sendiri ketimbang jajan. Tapi yaa gitu. Asal cemplung tanpa takaran yg penting enak
100 buat mba Bety haha…
Gogoleran di sofa sore² itu paling enak…
Saya dulu juga gitu bun, mana kencur dan mana kunci kok rasanya sama sampai keliru masak sayur bayam dikasih kencur hehee.. Alhamdulillah sekarang udah mulai paham beda kunci dan kencur hehee
Haha iyaya…pengalaman itu guru paling baik…
Wkwkwk … ups, maafkeun Bun, saya gak bisa nahan ketawa waktu baca tragedi ati ampela. Serupa dengan yang dialami oleh keponakan saya. Dia dulu waktu mau nikah disuruh belajar masak, dan hampir aja masak ampela tanpa dibuang dulu isi temboloknya. 😀
Pertama kali masak untuk keluarga, saya juga berdasarkan buku resep, Bun. Banyak koleksi saya, hanya dalam praktiknya yang dimasak ya, itu-itu lagi hihihi
Sebelum menikah dulu, aku udah wanti-wanti sama calon suami, aku ini ga bisa masak. Taunya cuma bikin telor ceplok, telur dadar, dan masak air. Itu doang, blas. Alhamdulillah, dia menerima kekuranganku itu dengan lapang dada.
Setelah jadi istri, ternyata keinginan untuk membahagiakan suami lewat masakan itu muncul. Aku jadi beraniin diri untuk belajar masak. Cari resep, tonton video masak, nanya sama mertua, endebre..endebre.
Dengan semangat 45, aku bikin deh menu khusus untuk makan malam. Ceritanya pengen bikin surprise gitu sama suami. Pas dia cicipin, ekspresinya flat gitu. Langsung deh patah hati. Wakakaka. Tapi sekarang sih udah mendingan, walaupun belum berbinar-binar, setidaknya ekspresinya udah ga flat lagi. Hahaha.
Ya ampun, gemes aku sama kalian berdua, couple idolaku, hehehe. Saya juga mood-moodan Mbak. Aslinya emang gak suka di dapur meskipun sebenarnya mau usaha belajar masak. Gak tahu kenapa, gak betah di dapur. Tapi belakangan saya punya langganan lauk, kalau pas males ya ke situ. Kalau delivery terus bangkrut aku. Najib maem e banyak.
Wih bunda Hani keren deh. Aku setuju banget sama manajemen dapur buat berdua dan berempat, ya kalo di rumah cuma berdua pesen online aja lah, hihihi.
Eaa.. Pak Didit romantis, ternyata.
Kalau soal masak, saya asli ya nggak bisa-bisa amat yang penting anak dan suami doyan, hehe..