Pada suatu kesempatan silaturahim Idul Fitri yang sering disebut halal-bihalal melalui Zoom di antara teman kuliah, ada pembicaraan untuk mengadakan temu Zoom lagi. Ternyata di pertemuan kedua ini ada sesi sharing dari teman-teman berbagai kota dan negara tentang Aged Care (Pelayanan untuk Lanjut Usia). Sesi sharing dibagi oleh dua teman kami yang mempunyai pengalaman bekerja secara profesional sebagai tenaga aged care dan sukarela mendesain fasilitas untuk aged care ini. Kendala utama menghadapi kelompok usia mereka adalah mewaspadai demensia yaitu gejala sering lupa atau pikun.
Apa itu Demensia
Demensia bahasa awamnya adalah pikun yang sering timbul pada kelompok warga lanjut usia atau lansia. Beberapa literatur menyebutkan dimensia bukan penyakit, artinya ditularkan seperti virus atau bakteri, tetapi gejala-gejala kemunduran cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain. Seringkali gejala dimensia yang timbul adalah perubahan memori jangka pendek, pikiran, kemampuan berbicara, dan kemampuan motorik.
Kita harus mewaspadai demensia, karena mengubah kepribadian pasien. Penderita demensia akan kehilangan kemampuan dan pengetahuan tertentu yang telah didapatkan sebelumnya. Bentuk demensia yang umum adalah Alzheimer yang merupakan 50 hingga 60 persen dari semua kasus demensia. Walaupun demikian bukan tak mungkin, usia muda pun terkena demensia karena faktor medis.
Gejala Lupa yang Perlu Diwaspadai
Gejala seorang lupa berulang-ulang sering dikaitkan dengan usia. Memang, sih, gejala ini lebih rentan terjadi pada orang berusia lanjut. Namun, kondisi ini bukan bagian normal dari penuaan. Gangguan kesehatan ini bisa terjadi pada orang yang lebih muda. Gejala awal penyakit ini dapat dimulai ketika seseorang berusia 30-an, 40-an, hingga 50-an. Jadi, tetap perlu hati-hati, karena demensia bisa datang tanpa menunggu usia beranjak senja.
Seseorang mungkin menderita demensia, jika terjadi pemburukan pada:
- Kemampuan mengambil keputusan (Decision-making ability)
- Kebijaksanaan (Judgment)
- Orientasi waktu dan ruang (Orientation in time and space)
- Pemecahan masalah (Problem solving)
- Kemampuan berbicara (Verbal communication)
Perubahan perilaku termasuk:
- Makan
- Berpakaian (mungkin membutuhkan bantuan)
- Kegemaran
- Aktivitas rutin (mungkin menjadi tak dapat melakukan pekerjaan rumah tangga)
- Kepribadian (tanggapan yang tak semestinya, kurang dalam pengendalian emosi)
Sharing Session tentang Merawat si Pelupa
Seperti dijelaskan sebelumnya kenapa tiba-tiba membahas mewaspadai demensia dan penyandangnya sering mendapat julukan pikun atau pelupa, gara-gara teman kami ada yang berkecimpung merawat lansia.
1 – Sharing dari Perth
Teman saya, Roy, tinggal di Perth. Dia menikah dengan warga Australia dan menetap di sana sudah lama. Ternyata di hari-hari belakangan ini dia bekerja sebagai aged care worker. Setiap hari bekerja dari pukul 7 pagi hingga sore hari, mendatangi rumah-rumah yang penghuninya warga lanjut usia. Namanya lanjut usia, ternyata jauh-jauh lebih lanjut dari kami-kami. Rata-rata usia 80-an, yang paling sepuh usia 107 tahun. Seperti kita ketahui, warga Australia terbiasa hidup mandiri. Jarang yang mau tinggal bersama anak-anak mereka, atau bahkan mereka memang hidup sendiri dan tidak punya keluarga. Oleh sebab itu profesional seperti Roy ini sangat dibutuhkan dalam tatanan hidup bermasyarakat.
Tugas aged care worker adalah membantu membersihkan, memandikan, memberi makan, dan mendampingi aktivitas sehari-hari mereka.
Saya lupa menanyakan, berapa prosentase lansia ini di Perth. Tetapi dugaan saya, dengan gaya hidup teratur dan makan bergizi jauh sebelumnya, prosentase lansia semakin meningkat di banyak negara. Beberapa masih bisa produktif sampai batas tertentu, tetapi kala raga sudah terlalu uzur, tentunya perlu bantuan orang lain untuk menjalani hidup sehari-hari.
Selain di rumah sendiri, di Perth sudah ada rumah-rumah lansia berfasilitas lengkap disertai tenaga medis dan aged care. Di Indonesia mungkin semacam rumah jompo atau panti wreda. Bedanya rumah jompo dan panti wreda di Indonesia, dikelola oleh lembaga sosial dan belum lazim juga membiarkan orang tua kita hidup di panti-panti seperti itu. Seolah bukan anak berbakti, tidak mau merawat orang tua sendiri di usia senja.
2 – Sharing dari Solo
Kali ini sharing dari Solichul Hadi, atau akrab dipanggil Dede. Dede menetap di Solo dan dari sharingnya dia mengelola rumah lansia. Sebetulnya bangunan yang ada diperuntukkan sebagai gedung kuliah, tetapi karena sebab tertentu, ada belasan lansia yang membutuhkan tempat tinggal. Mereka tergusur, karena rumah lansia sebelumnya terkena pelebaran jalan.
Tentunya perlu mengubah fasilitas ruangan yang tadinya ruang kuliah menjadi ruangan-ruangan yang ramah lansia.
Dede yang mendalami ilmu ergonomi memaparkan bahwa orang tua melemah di anggota tubuh tungkai, tetapi masih kuat di anggota tubuh tangan. Itu sebabnya cara bergerak mereka adalah mengandalkan pegangan tangan. Berjalan tentunya jauh lebih lambat. Tetapi jangan heran, Eyang-eyang kenapa, kok, masih bisa menyulam dan merajut. Karena jari-jemari mereka masih kuat.
Cara bergerak dengan fokus berpegangan seperti ini diistilahkan merambat atau merayap.
Artinya, perlu railing di semua tempat untuk mereka berpegangan. Di selasar, di kamar, di kamar mandi dan WC.
Lantai juga tidak boleh licin, karena lansia rawan tergelincir.
Membangun Hunian untuk si Pelupa
Setelah teman-teman saya itu memaparkan pengalaman mereka, diskusi malah berlanjut, apa yang bisa kita lakukan di hari tua. Banyak di antara kita yang baru menyadari setelah usia sekian titik-titik, bahwa, oh iyaya, kita kalau tua tinggal sama siapa?
Banyak di antara teman-teman berpendapat, di hari tua tidak mau merepotkan anak-anak. Jadi timbul gagasan untuk membangun hunian seperti dicontohkan Roy di Perth itu. Artinya pengelolaannya swasta dan komersil, yang ingin tinggal di situ harus membayar per bulan atau deposit sekian-sekian. Hunian bisa berupa kompleks perumahan terbatas atau apartemen yang aman dan nyaman.
Gagasan ini cukup menarik dan mungkin saja profitable. Menjadi tua itu kan keniscayaan. Walaupun saya belum mendapatkan data statistiknya, sepertinya beberapa dekade ke depan, jumlah warga Indonesia lanjut usia akan lebih banyak daripada warga usia 30 tahunan.
Apalagi sudah banyak informasi, kalaupun usia kita meningkat pencegahan demensia bisa dilakukan dengan menjaga pikiran tetap aktif, seperti rajin mengasah otak dengan permainan bongkar pasang atau permainan memori. Aktif secara fisik, misalnya rutin berolahraga agar tubuh tetap bugar. Bergaya hidup sehat dengan tidak merokok dan konsumsi alkohol.
Penuhi pula nutrisi harian dengan perbanyak konsumsi makanan kaya omega-3, buah dan sayuran, serta biji-bijian. Risiko sering lupa juga bisa diatasi dengan perbanyak asupan vitamin D. Mewaspadai demensia dan kenali gejalanya sejak dini untuk mendapatkan penanganan segera agar tidak terjadi gangguan yang berkepanjangan.
Update
Baru-baru ini ramai di media sosial tentang seorang Ibu yang dititipkan oleh putra-putrinya di sebuah Griya Lansia. Berita menjadi viral karena warganet ramai menghujat putra-putri sang Ibu sebagai anak durhaka. Menjadi sorotan di berita tersebut adalah surat pernyataan para putranya menyerahkan segala sesuatunya ke Griya Lansia tersebut bila sang Ibu wafat.
Menyoroti berita tersebut, saya tidak menganggap putra-putri Ibu Trimah itu sebagai anak durhaka. Wong, mereka juga masih tinggal dengan mertua masing-masing. Gimana mau mengurus Ibu mereka? Menurut saya, mereka sudah berbakti dengan menitipkan ke tempat yang layak.
Saya malah menyesalkan, ngapain cobak, pengurus Griya men-share surat pernyataan dari putra-putra Ibu Trimah. Walaupun nama-namanya diblok, surat tersebut merupakan surat bermaterai, harusnya hanya diketahui dua belah pihak. Udah gitu wajah Ibu Trimah terpampang nyata. Ini mah Griya-nya yang cari gara-gara, pengen tenar.
Kembali ke pembahasan artikel saya, kan, malahan kami teman-teman kuliah punya cita-cita membuat kompleks lansia dooong. Supaya tidak merepotkan anak. Yaa kali, katanya mau memutus sandwich generation. Mosok lalu menggantungkan hidup ke anak?
Kalau saya sih, inginnya ya hidup mandiri tidak numpang ke anak, tetapi juga rumahnya dekat dengan anak. Huf…banyak maunya nih bu Hani…
Semoga bermanfaat…
Tulisan ini merupakan artikel dengan tema “LUPA” di grup blog 1minggu1cerita
Bandung, 13 Juni 2020, diupadet 10 November 2021.
Habis baca ini, tiba-tiba kepikiran mau bikin rumah yg lebih sempit dari rumah saya yg sekarang, agar saat tua nanti (semoga masih ada usia hingga 80-an) saya bisa mengelilingi rumah tanpa lelah. Eh, apa sih.
Semoga kita bisa menikmati hari tua tanpa penyakit yg merepotkan anak-anak ya mbak. Amin
Saammma Bun. Cita-cita kami, rumah dibelah dua, sebelah untuk rumah tinggal. Sebelah lagi dikontrakkan, supaya ada penghasilan. Hehe…
Iya, sammma juga, bisa menikmati hari tua tanpa merepotkan anak-anak.
Saya juga jadi mikir, tua nanti harus bagaimana. Bayangan sih, tua nanti saya pengen mandiri juga. Dekat sama anak-anak, dan lebih berkarya lagi.
Eh, aku tahu tuh Sholihul hadi. Tapi panggilannya di Solo pak Didik bukan Dede, hehe.
Soal cita2 di masa tua, saya juga ingin kelak tidak merepotkan anak2. Berarti harus siap mandiri sejak sekarang ya?
Lha iya sesama Solo ya. Kami mah manggilnya Mas Dedek ajah, juragan batik. Hehe…
Wah, tau gitu waktu suami sering tugas ngajar ke Solo, aku maen ke mb Anik. Seringnya ke mba Candra Dewojati.