Merindu Sungkem Sarat Doa ke Orangtua

hani

sungkem

Saya dilahirkan di tengah keluarga Jawa, yang dalam beberapa hal sarat dengan ritual dan tradisi. Salah satunya adalah sungkem. Sungkem adalah sikap bersimpuh atau berlutut ke orang yang dituakan kemudian tangan kita memegang lutut orang yang dituakan tersebut. Selanjutnya kepala menunduk sambil mohon maaf atau mohon didoakan. Biasanya yang disungkemi akan membisikan sesuatu di telinga atau merapal doa-doa untuk yang sungkem. Tangannya bisa memegang bahu kita atau kalau anak-anak, mengelus kepala si anak. Harusnya sih menurut yang saya baca-baca, ada kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa yang turut serta diucapkan bila kita sungkem. Berhubung tidak mahir berbahasa Jawa, sejak kecil pun paling-paling saya hanya mengucapkan permohonan maaf dalam bahasa Indonesia saja.

Tradisi sungkem biasanya kami lakukan di hari Raya Idul Fitri, seusai pulang shalat Ied. Posisinya ayah-ibu duduk berdampingan, kemudian anak-anak baris berlutut menurut urutan tua ke muda. Urutannya mulai dari sungkem ke Ayah terlebih dahulu kemudian dilanjutkan ke Ibu. Ketika tiba saatnya saya dinikahkan, kebetulan keluarga suami saya juga berasal dari keluarga Jawa. Jadi tidak aneh lagi dengan tradisi sungkem. Sehingga sesudah akad nikah dan upacara adat, ada juga upacara sungkeman.

Waktu saya kecil hingga SMA, ada Eyang Putri (ibunya Ibu) yang tinggal bersama kami. Otomatis, beliaulah yang pertama disungkemi. Seingat saya, wajah Eyang Putri itu bila disungkemi bisa berseri-seri plus bercahaya, dan rapalan doa akan mengalir ke kami. Begitu anak-anak Ayah-Ibu saya menikah dan beranakpinak, maka semakin panjang antrian yang sungkem. Urut-urutan antrian akan seperti ini, pasangan anak pertama dan anak-anak mereka, dilanjutkan dengan pasangan anak kedua dan anak-anak mereka, dan seterusnya. Hanya saja, selain rapalan doa, Ibu saya mulai membagikan amplop bagi cucu-cucunya. Tentu saja, wajah sumringah langsung terpancar dari para cucu. Lah, zaman saya dulu sebagai cucu, belum usum bagi-bagi angpaw.

Ternyata tradisi sungkeman lama-lama tidak semulus yang diharapkan para Eyang tersebut. Kami anak-anak harus berbagi hari, siapa yang terlebih dahulu disambangi selepas sholat Idul Fitri untuk sungkeman. Apakah ke orangtua saya, atau ke mertua? Sehubungan saya tinggal satu kota dengan mertua, maka diperlukan pengaturan jadwal tahun ini di siapa dan tahun depan ke mana. Tentu saja, kami kakak beradik dengan keluarga masing-masing tidak bisa lagi sungkem bersamaan sesudah sholat Ied. Tradisi sungkem ya tetap bisa dilakukan sesempatnya bila sudah sampai di rumah orangtua yang akan disungkemi. Tak masalah, ayah-ibu akan selalu senang koq bila disungkemi.

Waktu berlalu, satu demi satu sesepuh ini meninggal. Mula-mula Eyang Putri, beberapa tahun kemudian ayah mertua. Lalu beberapa tahun berikutnya ayah saya, kemudian ibu mertua, dan terakhir ibu saya menghadap ke Sang Khalik. Sebetulnya cukup lama juga Ibu seorang diri sebagai satu-satunya Eyang yang disungkemi di keluarga. Walaupun saya sudah puluhan tahun menikah waktu itu, masih saja didoakan semoga keluarga saja sakinah mawaddah wa rahmah.

Sesudah Ibu saya meninggal sejak 2014, tidak ada lagi sesepuh yang disungkemi. Entah, di antara kami bersaudara pun seolah tradisi sungkem memudar dengan sendirinya. Kami pun lalu tidak sungkem ke kakak paling tua. Anak-anak pun bila Lebaran tidak sungkem ke PakDe Bude atau Eyang-eyang lain yang masih ada. Paling bersalaman atau cium tangan saja.

Namanya juga tradisi, maka sungkem-sungkeman berlaku juga di keluarga kami sendiri, terutama ketika anak-anak masih kecil. Ketika anak-anak menikah mereka memang sungkem seusai akad nikah. Rasanya itulah terakhir mereka sungkem-sungkeman ke kami. Entah kenapa, pada hari Lebaran kami tidak mentradisikan sungkem-sungkeman dengan para menantu. Apalagi ada menantu yang bukan berlatarbelakang keluarga Jawa. Ya sudah, bersalam-salaman saling memaafkan saja.

Lebaran tahun 2017 nanti, merupakan tahun ke-3 tidak ada acara sungkeman dan didoakan oleh sesepuh. Rasanya ada yang hilang dari sebuah tradisi yang sudah berjalan bertahun-tahun. Walaupun sebetulnya berdoa cukup ke Allah swt. semata, tetapi dicium dan dibisiki Ibu supaya banyak rizki tuh sesuatu banget. Rasanya rindu dengan acara sungkem sarat doa seperti itu.

Bandung, 6 Mei 2017

 

Also Read

Bagikan:

hani

Halo, saya Tri Wahyu Handayani (Hani), tinggal di Bandung. Pemerhati arsitektur dan pelestarian bangunan, main piano, menjahit, dan jalan-jalan. Kontak ke bee.hani@gmail.com

8 pemikiran pada “Merindu Sungkem Sarat Doa ke Orangtua”

  1. Aku juga bu tradisi sungkem hanya ada waktu nenek dan aki masih ada selepas itu bubar xixixi kalau aku sendri sungkem juga terakhir pas nikahan aja 🙂 padahal menang seru aku masi inget klo sungkem mesti baris dan tiba giliran nenek sambil mengusap kepala lalu berdoa *sedih bayanginnya hehehe karena sekarang uda hilang tradisinya

    Balas
  2. Ping-balik: Pengalaman Mudik Lebaran Ke Malang Mencari Saudara. Kami Menjumpai 3 Hal Menarik. - blog hani
  3. Ping-balik: Tetap Bermaafan Walau Lebaran Tanpa Salaman
  4. Di Madura nggak ada sungkeman sih. Maksudnya sungkem dengan posisi seperti penjelasan kakak. Dimana kita harus duduk bersimpuh di hadapan sesepuh. Hanya saja, kami tetap melakukan maaf-maafan atau sambil minta didoakan dengan bersalaman dengan takdzim pada orang-orang yang dituakan dalam keluarga.

    Balas
  5. Di Makassar tidak ada acara sungkeman, tapi beberapa orang sudah mengadaptasi dengan melakukan sungkeman usai aqad nikah.

    Balas
  6. Kurang lebih sama mbak kalau di tempat saya. Tahun ini masih ada 2 ibu yang kami sungkemi. Ini sebenatnya momen penting untuk anak anak karena mendapat doa dari orang tuanya secara khusus. Bukankah doa orang tua untuk anaknya adalah salah satu doa yang mustajab?

    Balas

Tinggalkan komentar

DMCA.com Protection Status