Di Indonesia setiap tanggal 10 November akan kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Banyak pahlawan yang gugur berperang melawan penjajah di masa lalu, termasuk pahlawan perempuan.
Dari sekian banyak pahlawan perempuan, saya kagum dengan sosok Cut Nyak Dhien. Kisahnya mungkin sering kita baca di buku-buku sejarah zaman SD. Tak ada salahnya kita membaca lagi kisahnya, memahami, serta meneladani semangat perjuangannya.
Keluarga Bangsawan
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Lampadang, dan wafat 6 November 1908 di Sumedang.
Beliau berasal dari keluarga bangsawan Islam di Aceh Besar di distrik VI mukim. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, anggota Ulee Balang yang berkuasa di VI mukim, dan ibunya juga berasal dari keluarga bangsawan. Masa kecilnya dididik kuat dalam urusan agama dan pekerjaan rumah tangga, seperti lazimnya perempuan di masa itu. Konon Cut Nyak Dhien terkenal dengan kecantikannya sehingga banyak pria yang melamarnya. Orang tuanya kemudian mengatur pernikahannya di usia dua belas tahun dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra keluarga bangsawan.
Perang Aceh
Perang Aceh diawali tanggal 26 Maret 1873 ketika Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Tentara Belanda waktu itu mengirim 3000 tentara dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler untuk menguasai istana Sultan. Di pihak Aceh, dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Alauddin Mahmud Syah II, dan bernama Ekspedisi Aceh Pertama. Di masa ini Kohler tewas dalam peperangan.
Pada bulan November 1983, selama Ekspedisi Aceh Kedua, Belanda kembali menyerang Aceh dan berhasil mengusai distrik VI mukim dan diikuti menguasai Istana Sultan pada tahun 1874. Peperangan terus berlangsung di mana rakyat Aceh berusaha merebut kembali VI mukim.
Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dalam aksi di Gle Tarum, yang membuat Cut Nyak Dhien bersumpah membalas dendam terhadap Belanda.
Beberapa waktu setelah suaminya wafat, seorang pahlawan Aceh Teuku Umar melamarnya. Walaupun awalnya Cut Nyak Dhien menolak, akhirnya menerima lamaran ketika Teuku Umar mengizinkannya berperang. Mereka menikah pada tahun 1880 dan memiliki seorang putri bernama Cut Gambang. Dhien, sebagai perempuan, sangat bertekad untuk tetap berperang sambil membawa putrinya bersamanya.
Perang Aceh bagi rakyat Aceh adalah perang suci melawan Belanda. Mereka berperang dengan berbagai teknik perang, bergerilya, menyerang dengan perangkap dan penyergapan. Bahkan pura-pura menyerah kemudian diam-diam mengkhianati Belanda, seperti yang dilakukan oleh Teuku Umar.
Peristiwa ini dalam sejarah Belanda dikenal sebagai “Het Veraad van Teukoe Oemar” (Pengkhianatan Teuku Umar).
Berbagai taktik perang dan keberanian luar biasa membuat rakyat Aceh terkenal sulit ditaklukan oleh Belanda. Teuku Umar terbunuh dalam pertempuran ketika Belanda melancarkan serangan mendadak terhadapnya di Meulaboh.
Setelah suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien masih terus melawan Belanda dengan pasukan kecilnya hingga tahun 1901. Karena semakin renta dan penglihatannya menurun, perjuangan Cut Nyak Dhien mulai melemah. Kemudian salah satu anak buahnya, Pang Laot, memberi tahu keberadaan markasnya ke Belanda. Cut Nyak Dhien kemudian ditangkap dan dibuang ke Sumedang.
Di akhir hidupnya Cut Nyak Dhien diberitakan mengajar agama di Sumedang hingga wafat. Makamnya baru ditemukan 50 tahun kemudian, ketika pemerintah daerah Aceh sengaja menelusuri jejaknya. Baru tahun 1964, Cut Nyak Dhien diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno.
Teladan Cut Nyak Dhien
Menilik kisah perjuangan Cut Nyak Dhien, saya menangkap bahwa di masa itu sudah ada kesetaraan gender. Cut Nyak Dhien, sebagai perempuan dengan semangat memang maju berperang melawan Belanda. Tidak ada kelakuan bermanja-manja mentang-mentang perempuan, apalagi beliau adalah putri bangsawan. Kesadaran berbangsa mengusir penjajah membuatnya malah menjadi berani. Bahkan beliau berperang sambil membawa putrinya. Beliau sangat layak diangkat sebagai Pahlawan Perempuan.
Coba bandingkan dengan perempuan kekinian. Berapa banyak perempuan yang memang bergerak melawan penjajahan masa kini? Penjajahan masa kini itu apa? Ya kebodohan, tidak mandiri, dan mudah menyerah.
Jadi, marilah kita selalu belajar melawan kebodohan. Mandiri, tidak harus selalu tergantung orang lain. Terakhir, kita sebagai perempuan tidak boleh mudah menyerah.
Setuju?
Selamat Hari Pahlawan Nasional!
Bandung, 10 November 2019