sumber gambar: hospicecarenetwork
Teman saya pernah curhat, dia kesal karena banyak orang menasehatinya supaya ikhlas. Ditambahi pula dengan kata-kata, nanti juga hilang sedihnya dimakan waktu.
“Enak aja, orang-orang bilang suruh saya ikhlas”, omelnya, ketika kami kumpul bareng.
Kami berlima, Dewi, Endang, Dwinik, Inne, dan saya, bersahabat sejak tahun 1989an (lupa), ketika sama-sama bertugas sebagai ASN yang dipekerjakan di perguruan tinggi swasta. Walaupun tempat tugas kami berbeda-beda, kami masih sering hangout hingga sekarang.
Kira-kira tiga tahun yang lalu, Dewi terkena musibah. Putri dan menantunya hilang ditelan bumi.
Kisahnya di sini: Tunggu Aku di Pintu Surga, Nak
Kesedihan berubah menjadi kekesalan akibat berbagai nasehat yang sampai ke Dewi. Baik yang sengaja datang ke rumah, atau yang disampaikan di sebuah pengajian yang dia ikuti.
Sampai-sampai ada suatu masa dia enggan bertemu orang, enggan hadir ke pengajian. Keluar rumah hanya mengajar, selesai mengajar langsung pulang.
Mungkin hanya kami-kami temannya yang di grup WhatsApp menamakan grupnya Ladies Programme, yang setia mendengar curhatannya. Tak satu pun dari kami, setahu saya, berani berkomentar ketika dia menyatakan kekesalannya. Kadang, hanya usapan di bahu, atau memeluk saja.
“Enak aja, si A (dia menyebut nama, saya lupa siapa) bilang, nanti juga hilang oleh waktu. Emangnya bisa, anak hilang, trus dilupain gitu aja?” tanyanya dengan nada tinggi ke kami.
“Engga ngerasain juga!” sambungnya lagi.
Saya pernah kehilangan kakak sulung akibat kejadian yang tragis juga, bisa merasakan kegalauan hatinya. Saya ingat, Mamah, sampai puluhan tahun kemudian tidak pernah lupa kesedihannya.
Sehingga saya bisa menenangkan hatinya, bahwa tidak benar, bisa lupa. Buktinya Mamah saya masih, kok, teringat tahunan kemudian. Bahkan Mamah pernah punya lemari khusus yang isinya memorabilia, benda-benda milik almarhum kakak saya itu.
Waktu itu Dewi merasa lebih kalem mendengar penjelasan saya. Jadi, kalau emang mau diingat terus, so what, kan? Istilahnya, anak-anak gue, mau gue inget sampai tua, kek, kenapa elo pada urusan.
Lhoh, kok, saya ikut kesel yak…
“Si B (lupa namanya, dan saya tak kenal siapa-siapanya), nanya, Wie, elo nyesel nggak, ngebolehin anak-anak berangkat?” sambung cerita Dewi pada kesempatan yang lain.
“Eh, mosok dia heran, pas aku bilang engga nyesel. Lhah, mau nyesel apanya, kan udah kejadian. Lagian emang cita-cita mereka bulan madu naik gunung bareng”, jelasnya lagi.
Lagi-lagi kami hanya mendengarkan. No comment.
Belajar dari kesusahan yang menimpa teman atau kerabat, saya jadi berhati-hati untuk tidak sembarangan mengatakan:“Yang ikhlas ya …”
Apalagi mengatakan begini:”Semua itu titipan, sewaktu-waktu bisa diminta kembali oleh Yang Maha Kuasa”
Wah, itu yaaa, individu yang kesusahan bisa tambah sedih, lho. Belum lagi, kalau kita ternyata tidak mengalami kejadian yang sama. Itu mah, selain nambah sedih, bisa jadi bikin marah.
Kalau saya sih, lebih memilih diam. Atau dipeluk saja teman atau saudara kita.
Dengan dipeluk, justru lebih menentramkan, kok.
Cerita lain, tetangga depan rumah, putra keduanya wafat, tak sampai sehari setelah dilahirkan. Rupanya ibunya ada kelainan darah, yang kemungkinan besar diturunkan ke anak laki. Karena anak pertamanya, seorang putri, tak ada masalah.
Itu yaa … tetangga sebelah rumah waktu takziah bilang begini:”Turut berdukacita ya. Maaf, saya enggak layat, enggak tahu kalau meninggal. Yang ikhlas, mudah-mudahan nanti dikasih pengganti ya …”
Saya waktu itu ada di tempat yang sama, rasanya gimana gitu. Enggak sopan banget yah tetangga sebelah rumah tersebut. Cukup menyatakan berdukacita saja. Tidak perlu ditambahi dengan, nanti dikasih pengganti.
Anak, mau nomor kesatu, dua, kesepuluh, untuk ibunya masing-masing tak tergantikan, dong.
Lhoh, saya jadi ngelantur nih ceritanya.
Ini gara-gara tema 1minggu1cerita “Ikhlas”.
benar mbak,sy jg mulai menerapkan ikhlas itu tidak dengan kata-kata tetapi lebih ke penerapan dalam perbuatan karena ikhlas itu tidak mudah
Betul Mbak. Ikhlas engga cukup dengan ucapan. Yang tahu ikhlas engganya hanya Allah.
Makasih yaa sudah mampir…
Bener banget, Bun, jangankan kata-kata yang menohok, kalimat yang menghibur pun kadang buat kita susaaah banget nerimanya. Namanya orang sedang bersedih gimana, sih. Rasanya kepengen aja menikmati kesedihan itu dulu. Puas-puasin. Habisin kuotanya biar besok-besok nggak sedih-sedih amat.
Tapi ya gimana mau dihabisin kuotanya kalau sedih karena musibah belum hilang, eh udah ketambahan sedih akibat perkataan sok bijak orang-orang yang mampir ke telinga.
Semoga aku pun bisa menahan diri untuk sebatas memeluk atau mendengarkan aja semua keluh kesah teman-teman yang tertimpa musibah. Rasanya itu cukup. Mereka butuh telinga aja.
Bener banget bun, aku menjaga banget nggak ngucap begitu. Paling hanya peluk atau mengusap tangan atau bahunya. Karena juga pernah ngalami kehilangan dan dibilang nanti ada gantinya rasanya tuh pengen nglempar panci. Wkwkwkwk …
Nah iya itu. Dipeluk saja tanpa bilang apa²…
Wah akupun kadang suka refleks aja gitu bun bilang “semoga cepet diganti ya” huhuhuhu.. pas baca tulisan ini jadi ngerasa kalau itu nggak tepat ya … makasih bunda udah nulisin ini jadi aku bisa belajar untuk lebih bijak lagi.
Aku sedang belajar ini. Kadang kalau pas kena musibah gitu, pas kejadiannya justru kayak ikhlas aja. Tapi belakangan suka nyesel sendiri. AH, nggak gampang memang.
Kalau datang berkunjung ke orang yang sedang berkabung, saya juga suka bingung mau ngomong apa, Bun. Ya, gitu, takut salah ngomong. Karena kalau kita dalam posisi dia, pastinya sedih banget. Palingan hanya ngomong ikut berduka aja. Karena saya tau untuk ikhlas itu butuh perjuangaan.