Teman-teman, sudah pernah tahu belum, ada sebuah masjid yang hampir semua dindingnya berwarna merah? Bila belum, ayuk ikut ke Cirebon. Kita sama-sama belajar cagar budaya di sana, salah satunya adalah Masjid Merah Panjunan.
Masjid Merah Panjunan terletak di sudut jalan Panjunan/Kenduruan, Kecamatan Lemahwungkuk, kota Cirebon. Masjid ini sudah sangat tua, didirikan tahun 1480 M. Bila dihitung, usia masjid tersebut sudah lebih dari 500 tahun.
Disebut masjid merah atau Masjid Abang, karena warna merah dari dinding bata yang menjadi material utama masjid. Sementara nama Panjunan berasal dari kata anjun yang berarti tanah liat atau gerabah. Pendirinya adalah Syarif Abdurrahman al-Baghdadi atau Pangeran Panjunan. Menilik namanya, beliau memang berasal dari Bagdad-Iraq, imigrasi ke Indonesia bersama saudaranya dan berguru agama Islam ke Sunan Gunung Jati. Beliau selain mengajarkan agama Islam juga mengembangkan kerajinan gerabah yang terkenal di masa Kesultanan Cirebon.
Begitu kita sampai di lokasi, terlihat bahwa Masjid Merah Panjunan dikelilingi oleh pagar bata merah setinggi 1.5 meter dengan ketebalan 40 cm. Untuk masuk ke area masjid harus melalui gapura yang berbentuk mirip candi Hindu-Buddha. Di dinding pagar berdiri papan nama bahwa Masjid Merah Panjunan merupakan bangunan cagar budaya.
Pengertian Cagar Budaya
Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan Kawasan cagar budaya di darat dan/atau air yang perlu dilestasikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, Pendidikan, agama, dan atau kebudayaan.
Jadi Masjid Merah Panjunan ini telah dilindungi oleh UU no 11 tahun 2010 dari bahaya kepunahan dan harus dilestarikan.
Arsitektur Masjid Merah Panjunan
Begitu melangkah ke halaman masjid hanya seluas 10 X 1 meter. Selanjutnya ada beberapa ruangan, di antaranya ruang shalat utama, serambi, tempat wudhu, dan serambi serta bilik tambahan di sisi selatan masjid. Awalnya bangunan ini merupakan sebuah mushala Al-Athyah seluas 40 meter persegi, kemudian setelah berkembang menjadi masjid, luasnya menjadi 150 meter persegi.
Teman-teman, coba perhatikan denah Masjid Merah Panjunan di atas. Bentuk denah berupa empat persegi panjang dan terbagi menjadi ruang shalat utama dan serambi. Untuk memasuki ruang shalat utama dari serambi timur, terdapat pintu gerbang yang sehari-hari juga dimanfaatkan sebagai mihrab. Ada pintu yang sangat kecil di antara gerbang yang berbentuk gapura. Untuk melewatinya kita harus menunduk sebagai tanda kerendahan hari kepada Allah swt. Ruang shalat utama juga bisa dicapai dari sisi selatan, area serambi selatan. Satu pintu lainnya terdapat di sisi utara dari tempat wudhu.
Ada dinding pembatas setinggi 1.5 meter antara ruang shalat utama dan serambi timur. Dinding pembatas ini pun terbuat dari susunan bata merah yang cukup tebal. Konon, teknik membangun dinding bata merah ini tanpa menggunakan semen atau bahan perekat lain, tetapi hanya dengan cara menggesekkan batu satu sama lain hingga menempel. Dinding yang dibangun dengan teknik ini dikenal nama kuta kosod.
Untuk menjaga kelestarian Masjid Merah Panjunan, ruang shalat utama yang beratap tajug tumpang dua ini hanya dibuka setahun dua kali, yakni saat pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Sehari-sehari kita hanya bisa shalat di serambi yang beratap bentuk limasan, maka gapura berpintu kayu pun menjadi mihrabnya. Adapun mihrab utama berwarna putih dengan bagian atas berbentuk relung setengah lingkaran.
Struktur Atap Tajug
Walaupun ruang shalat utama tidak dibuka, kita masih bisa mengamati kemegahan struktur atap tajug payung agung yang megah. Strukur atap ini ditopang oleh 4 buah sakaguru dari kayu jati berpenampang lingkaran dengan ornamen di bagian bawah serta ornamen susunan kayu di bagian atas. Kolom-kolom penopang struktur tajug dihubungkan oleh balok-balok melintang, kemudian tampak susunan kasau berjajar rapi memuncak di bagian tengah. Penutup atap dulunya terbuat dari genteng berwarna hitam. Tetapi sekarang sudah direnovasi memakai material baru.
Keunikan gaya arsitektur Masjid Merah Panjunan ini terletak di gabungan berbagai budaya yang berkembang saat itu. Ada tiga unsur budaya, yaitu Hindu-Buddha, Islam, dan Cina. Gaya ornamen Cina dikenali dari beberapa keramik buatan Cina yang menempel pada dinding. Konon piring-piring keramik ini merupakan bagian dari hadiah ketika Sunan Gunung Jati menikah dengan Tan Hong Tien Nio. Keunikan lainnya adalah, di masjid ini menentukan waktu shalat masih dengan cara melihat bayangan matahari yang dinamakan istiwaq.
Bagaimana, menarik, bukan? Kalau teman-teman akan berwisata religi mengunjungi Masjid Merah Panjunan, lokasinya tak jauh dari jalan raya Karanggetas, kemudian masuk ke dalam gang sepanjang 100 meter. Mencarinya mudah, karena areanya sering disebut Kampung Arab atau Kampung Wali dan masih banyak bangunan lama di sekitarnya.
Daftar pustaka:
Budi, Bambang Setia; 2017; Masjid Kuno Cirebon; Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia; Bandung.
Fanani, Achmad; 2009; Arsitektur Masjid; Penerbit Bentang; Yogyakarta
Bandung, 20 Desember 2019
Desain Mihrabnya ada ciri khas jaman dulu banget. Ada sentuhan budaya cina di desain mihrabnya. Keren
Iya. Bagusnya dirawat dan dilestarikan.
bangunan zaman dahulu sudah berkonsep matang. Dalam dan penuh ke _Tuhan – an sekali. Membimbing umatnya untuk lurus mengikuti ajaran. Hebatnya lagi, dengan bahan sederhana dan perlatan sederhana para arsitek dan pemikir mampu membangun bangunan yang bertahan ratusan tahun. Perlu di jaga terus ya kak
wish list buat explore cirebon nih, peninggalan sejarah disana dirawat dengan sangat baik
Desainnya menarik ya, kelihatan betul keunikan masjid ini pada masa lalu. Wisata budaya asyik juga
Wah bisa liat penentuan waktu solat pakai bayangan ya mba.. pernah diajarin juga sama ibuku klo pas pengen solat awal tapi agak samar denger azan.. baru tau sunan gunung jati pernah menikah sama gadis tionghoa
Wahhh kami baru tahu ada masjid dengan desain bangunan yang begini. Seperti perpaduan beberapa budaya yang menjadi satu ketuhanan.
Kayaknya aku pernah kesini deh kak tapi aku lupa ahah. Soalnya waktu kunjungan ke Cirebon sempet mampir untuk solat tapi aku lupa masjid yang mana. Masjidnya masyaAllah bagus dan penuh nilai sejarah ternyata yaa kak, InshaAllah kalo mampir ke Cirebon lagi mau mampir kesini 🙂
Membaca tulisan sedetail ini bikin jadi pengen kesana. Kesalahan Saya kalau datang ke bangunan bersejarah, kurang baca sejarah & detailing seperti ini
Masjid yang keren…dan penuh makna sejarah. kalo ke cirebon pengen deh mampir kesini..
Cantik banget masjidnya Bun, warna merah dari bata yang digunakan ya, beruntung kalau bisa menikmati keindahannya…pengen lihat deh..
wah kebetulan kemarin saya habis dari Cirebon, tapi sayangnya tidak tau kalau ada masjid merah ini. Di Cirebon memang masih banyak ya wisata cagar budaya seperti ini. Desainnya juga unik, ada campuran dari beberapa budaya. Kapan-kapan kalau ke Cirebon lagi mau mampir kesini
udah 2x ke Cirebon, tapi belum pernah sholat di sini nih. bangunannya khas jaman dulu ya, memang dilestarikan, jadi bagus deh
Jika mengunjungi suatu daerah, yuni paling suka kalau berkunjung ke masjid agung yang ada di daerah tersebut. Nah, nanti ketika yuni ke Cirebon, mungkin yuni akan mengunjungi masjid ini. Keren sekali sepertinya. Apalagi jika dibangunnya hanya dengan menggesekkan bata satu dengan yang lain.
Cirebon terkenal juga dengan kota wali ya Mbak. Arsitekturnya mengingatkan saya pada masjid menara di kudus. Simbol penyebaran agama islam pada zaman wali yang sangat menghargai perbedaan dalam beragama.
Unik sekali ya Bun.. dindingnya merah, lain daripada yang lain. Dan interiornya juga keren. Aku beberapa kali ke Cirebon mainnya ngemol lagi, ngemol lagi wkwkwwk males da hareudang pisaaan di sana mah
Baru dengar ttg masjid tsb, klo ke Cirebon lg kudu mampir ke masjid itu. Untuk usia 500 th masjid Abang msh nampak kokoh & keren arsitekturnya. Terima kasih infonyaba Hani
O, Sunan Gunung Jati pernah menikah dengan gadis Cina.
Wah info terbaru nih buat saya. Penasaran deh.
Ikonik yang Bun, sangat sesuai dilindungi sebagai cagar budaya. Apalagi memiliki banyak keunikan di dalamnya. Semoga Masjid Abang dapat lestari hingga generasi mendatang.
Waw detail sekali Bunda Hani menceritakan soal masjid ini. Piring piring keramik itu sangat mencirikan ada sentuhan china di masjid. Masjid bersejarah yang masih sangat terawat. Insya Allah mau berkunjung juga kesini kalau pas ke cirebon
Ada di cirebon yaa bunda. Bwberapa kali ke cirebon tapi belum pernah singgah ke masjid ini. Ternyata termasuk cagar budaya yg perlu dilestarikan yaa
Unik struktur batanya itu ya, Bu. Sekarang masjid-nya masih digunakan untuk ibadah nggak, Bu?
Saya suka mengunjungi masjid yang masih mempertahankan bangunan sejak awal berdiri, rasanya beda gitu salat di tempat itu. Kagum sama kemampuan orang zaman dulu yang nggak sekolah arsitektur. Sekarang bisa dipakai kajian para arsitek ya mbak?
MasyaAllah … 500 tahun ya usia masjidnya, Bun? Dilihat dari komposisi bangunannya yang terbuat dari kayu jati, tidak heran kalau masjid ini masih berdiri kokoh. Kalau datang ke masjid ini, selain bisa beribadah, pastinya bisa sambil mempelajari keragaman budaya yang sudah masuk ke Indonesia sejak jaman dahulu. Berarti di sini juga tidak dilaksanakan sholat Tarawih selama Ramadhan ya, Bun? Jadi ingin tahu juga nih mengenai teknik kuta kosod.
Baru dengar saya ada masjid merah di cirebon. Mulai dari arsitektur dan sejarahnya punya cerita dan makna ya. Cagar budaya seperti ini memang harus terus dijaga dan diperkenalkan ya mbak. Kalau tidak mampir ke blog mbak Hani, mungkin saya tidak tau kalau di Cirebon ada masjid merah panjunan.