Membaca bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia, kali ini saya tidak merasa bangga. Karena Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah warganya yang menderita kusta, sesudah India dan Brasil.
Info ini saya peroleh ketika mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh Ruang Publik KBR dan NLR Indonesia, pada tanggal 14 April dan 19 April 2021 yang lalu.
Kusta?
Sepertinya ada yang salah nih dengan dunia kita. Hari gini masih ada penyakit kusta ya?
Seingat saya, ada di kisah sejarah Nabi, Nabi Isa diberi mujizat bisa menyembuhkan orang buta dan orang yang menderita penyakit kusta dengan hanya menyentuhnya.
Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta
(QS. Ali ‘Imran: 49)
Itu kan penyakit ribuan tahun yang lalu.
Di tengah munculnya berbagai penyakit dan virus baru, seperti halnya pandemi Covid-19. Ternyata kusta masih ada di tengah kita.
Tidak salah kalau menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), kusta merupakan penyakit tropis yang terabaikan (Neglected Tropical Disease).
Sudah banyak sebetulnya penyakit-penyakit yang sudah musnah dari muka bumi, karena berhasilnya vaksinasi dan pengobatan menyeluruh, misalnya cacar (virus variola) yang walaupun sembuh meninggalkan bopeng. Cacar bisa musnah dalam waktu 200 tahun.
Kenapa kusta tidak?
Stigma Penyakit Kusta
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta bahwa Kusta itu merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae.
Kusta adalah bercak di kulit disertai mati atau kurang rasa, karena kuman ini menyerang syaraf tepi, memengaruhi kulit, mata, dan hidung. Jika dibiarkan dan tidak diobati sejak dini maka ada kemungkinan terjadi disabilitas atau cacat.
Kerusakan organ terjadi umumnya karena terlambat berobat, jadi disabilitas atau cacat yang terjadi bukan disebabkan oleh kuman kusta, lebih diakibatkan karena terlambat berobat.
Penyakit kusta bisa menular ke orang lain melalui percikan ludah atau dahak yang keluar (droplet) saat batuk atau bersin yang mengandung bakteri Mycobacterium leprae. Berbeda dengan virus yang penularannya dalam hitungan hari, kuman lepra masa inkubasinya cukup lama, yaitu 2-5 tahun. Bahkan beberapa kasus ada yang 10 tahun.
Masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan kusta atau orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), membuat orang dengan gejala kusta enggan memeriksakan diri ke layanan kesehatan lebih dini.
Stigma yang melekat pada penderita kusta antara lain:
- Kusta bukan penyakit kutukan
- Kusta bukan disebabkan oleh santet
- Kusta bukan penyakit turunan
- Kusta tidak ditularkan melalui jabatan tangan
- Kusta tidak ditularkan melalui makanan
- Anak yang tertular dan terkena kusta bukan karena hasil hubungan suami-istri saat haid
Adapun risiko penularan kebanyakan terjadi di dalam keluarga karena hubungan dan kedekatan dalam waktu lama. Itu sebabnya penularan pun terjadi ke anak-anak, bukan disebabkan penyakit turunan atau dari ibu hamil ke bayinya.
Perlu perhatian khusus pada anak, karena penderita kusta pada anak mencapai 9,14% dari seluruh penderita kusta.
Tipe Penyakit Kusta
Dalam sejarah modern, bakteri penyebab penyakit ini, Mycobacterium leprae (M. leprae), ditemukan oleh G. A. Hansen pada 1873, sehingga kusta disebut juga sebagai penyakit Hansen.
Penyakit kusta ada 2 tipe dari jenis bakteri dan dampaknya secara fisik pada penderitanya, yaitu:
1 – Kusta Kering (PB – Pausi Basiler)
Ditandai dengan jumlah bercak kusta 1 hingga 5 bercak dan kerusakan kurang dari 1 syaraf tepi serta tidak ditemukan Basil Tahan Asam (BTA negatif) pada pemeriksaan kerokan kulit.
2 – Kusta Basah (MB – Multi Basiler)
Ditandai dengan jumlah bercak kusta lebih dari 5 atau kerusakan lebih dari 1 syarat tepi serta ditemukan Basil Tahan Asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit.
Adapun tanda-tanda dan gejala penyakit kusta bisa diperiksa dari tanda-tanda pada kulit dan pemeriksaan syaraf.
Tanda-tanda pada kulit:
- Bercak kemerah-merahan atau keputih-putihan pada bagian tubuh
- Bercak yang tidak gatal
- Bercak yang tidak berasa (tidak sakit)
- Bercak yang tidak berkeringat atau berambut
Tanda-tanda pada syaraf:
- Rasa kesemutan atau nyeri pada anggota badan atau wajah
- Tidak ada rasa pada telapak tangan atau kaki
- Kelemahan pada otot tangan atau kaki
- Luka pada telapak kaki yang sulit sembuh
- Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna
Munculnya Kasus Baru dan Target Menuju Eliminasi Kusta
Pada kesempatan webinar yang saya ikut tersebut ditayangkan peta situasi penyebaran kusta di Indonesia. Noktah merah terbanyak ada di Indonesia Timur.
Pada peta tersebut sudah 27 propinsi mencapai eliminasi kusta.
Ada tujuh yang belum mencapai eliminasi kusta, yaitu provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Pengertian dari eliminasi kusta adalah angka kasus kusta kurang dari 1 orang per 10 ribu penduduk.
Bila diperinci lebih dalam, masih ada 113 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi dari total 514 seluruh kabupaten/kota tersebar di 22 propinsi.
Bahkan sepanjang 2020 ditemukan sebanyak 9.000 kasus kusta, sehingga total kasus kusta di Indonesia tercatat 16 .704 kasus aktif yang harus mendapat penanganan dan pengobatan.
Turun-naiknya kasus kusta di Indonesia ini perlu penanganan menyeluruh dari seluruh elemen masyarakat, bukan hanya dari Kementrian Kesehatan saja.
Oleh sebab itu di tahun 2024 Indonesia menargetkan seluruh kabupaten kota sudah mendapatkan status eliminasi kusta.
Untuk mencapai target eliminasi kusta di Indonesia ini, Yayasan NLR Indonesia dibentuk pada tahun 2018 untuk melanjutkan pencapaian pemberantasan kusta yang telah dilakukan NLR (Netherland Leprosy Relief) sejak 1975.
Yayasan NLR Indonesia bermitra dengan sejumlah organisasi yang menangani penyandang disabilitas, organisasi masyarakat sipil, institusi pendidikan, serta pemerintah lokal, kementrian, dan lembaga pemerintah.
Sekarang ini di seluruh dunia program eliminasi kusta menggunakan pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas) dan zero exclusion (nihil eksklusi).
Untuk mencapai target tahun 2024 Indonesia Bebas Kusta
target Indonesia Bebas Kusta tahun 2024, sumber: pribadi |
1 – Layanan Kesehatan, Pengobatan Kusta, dan Perawatan Diri
Kusta dapat disembuhkan asal telaten menjalani pengobatan. Pemerintah sekarang telah memberikan layanan kesehatan di seluruh Puskesmas termasuk memberikan obat-obatan secara gratis.
Pasien yang sudah didiagnosa kusta harus minum obat kusta, multy drug therapy (MDT) secara teratur hingga sembuh.
Untuk pasien kusta dengan tipe kering (PB), perlu minum 6 blister obat dalam kurun 6 bulan berturut-turut secara teratur. Sedangkan untuk pasien kusta dengan tipe basah (MB), perlu minum 12 blister obat dalam kurun 12 bulan berturut-turut secara teratur.
Setelah selesai terapi pengobatan, pasien sudah tidak menularkan kusta.
Dari dua jenis kuman kusta tersebut, memang tipa basah yang mempunyai risiko penularan lebih tinggi. Oleh sebab itu perlu pendampingan terhadap penderitanya agar berobat hingga sembuh.
2 – Temukan Kasus dan Mengarahkan Untuk Berobat
Sebagai warganegara Indonesia sudah saatnya menghilangkan stigma terhadap penderita kusta. Bila cepat dikenali gejalanya, jangan lalu dikucilkan. Ajak untuk segera ke layanan faskes terdekat atau Puskesmas untuk menegakkan diagnosa.
Kusta yang masih berupa gejala awal bisa diobati dan sembuh. Bila dibiarkan apalagi dikucilkan, kusta akan semakin parah dan menyebabkan disabilitas. Ditambah lagi, risiko penularan pada keluarga sendiri pun semakin besar, karena kontak erat dalam waktu lama.
Sedangkan bagi penderita yang telah mengalami disabilitas perlu pendampingan dan perawatan diri agar tidak mengurung diri dan minder.
Beberapa kisah inspirasi dibagikan di website NLR, ada kisah pak Dasuki dan pak Satri di Subang, yang berhasil sembuh dari kusta.
Kemudian kisah Nia, seorang gadis dari Desa Rap Rap, Kabupaten Minahasa Utara. Awalnya mengurung diri dan sedih setelah didiagnosa kusta. Kemudian dengan dorongan tetangga dan petugas Puskesmas dan setelah minum obat selama 6 bulan, sudah sembuh dari kusta.
3 – Memberikan Alat Bantu dan Latihan Vokasional
Stigma kusta seringkali disandingkan dengan status ekonomi dan kemiskinan. Padahal kusta bisa menular ke siapa saja, tidak terbatas kaya atau miskin.
Sakit yang tidak diobati yang menyebabkan disabilitas lah yang menyebabkan OYPMK tersebut sulit mendapatkan pekerjaan. Akibatnya mereka tergantung pada orang lain atau keluarganya yang belum tentu berkecukupan.
Disabilitas yang biasanya tampak adalah gangguan penglihatan dan deformasi pada ujung jari tangan atau kaki. Bantuan yang diberikan bisa berupa kacamata atau kruk untuk alat bantu berjalan.
Sedangkan bantuan berupa latihan vokasional adalah ketrampilan yang masih bisa dilakukan dengan kondisi keterbatasan tersebut.
Diharapkan perusahaan-perusahaan memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas. Contohnya adalah Yamaha Bulukumba yang menerima pemagang disabilitas di divisi servis dan bengkel. Kemudian Anugrah Frozen Food yang juga membuka kesempatan karyawan magang disabilitas.
Lingkungan & Rumah Sehat Untuk Pencegahan Penularan Kusta
Menurut beberapa informasi, kuman kusta mudah berkembang biak di tempat dingin. Semakin panas cuaca, maka semakin cepat kuman mati. Oleh karena itu, sangat penting untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam rumah. Usahakan tidak ada tempat lembap di dalam rumah.
Guru Besar Dermatologi Veneorologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp. KK(K), FINSDV, FAADV, menjelaskan bahwa kusta termasuk jenis penyakit infeksi yang perkembangannya ditentukan oleh tiga faktor. Yaitu, host (kekebalan tubuh manusia), agent (kuman/bakteri), dan environment (lingkungan)
Kesulitan kita yang hidup di negara tropis adalah kelembapan yang tinggi, sehingga mudah tumbuhnya jamur di ruangan yang lembap.
Hal ini dibarengi pula bila ada penghuni yang sakit di rumah tersebut maka risiko penularan sangat tinggi. Walaupun kusta durasi penularannya sangat lama, bisa bertahun-tahun dan hubungannya harus sangat dekat, tetap saja penyakit ini merupakan penyakit menular.
Maka selain pengobatan dan berbagai upaya untuk meningkatkan harkat hidup penyandang kusta, kita harus mulai melakukan eliminasi justru dari rumah.
Berikut hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menciptakan rumah yang sehat dan bebas penyakit:
lingkungan & rumah sehat untuk penderita kusta, sumber: pribadi |
1 – Pastikan udara mengalir
Dalam dunia arsitektur ada sistem penghawaan alami yang dinamakan ventilasi silang.
Pastikan di rumah tersebut ada udara yang mengalir melalui jendela atau pintu di seluruh rumah. Buka pintu dan jendela setiap pagi agar udara bersih selalui tergantikan. Lebih bagus lagi, ada lubang-lubang ventilasi yang biasanya ada di atas jendela atau pintu.
Rumah-rumah tradisional, terutama di daerah Papua, merupakan rumah honai hanya mempunyai satu pintu. Perlu inovasi desain rumah tradisional agar lebih sehat bagi penghuninya.
2 – Terang matahari ke dalam ruangan
Tuhan sudah menciptakan penangkal penyakit paling ampuh yaitu matahari, terutama sinar matahari pagi. Banyak penyakit yang pencegahannya melalui sinar matahari ke dalam rumah atau penghuninya yang harus rutin berjemur.
Tentunya agak sulit bila rumah-rumah jaraknya berdekatan dan desain rumahnya tanpa jendela. Diperlukan bantuan solusi dari para pakar, misalnya arsitek, ahli lingkungan, dan fisika bangunan, untuk mendesain rumah sehat bagi semua kalangan.
Masalah lain adalah rumah-rumah di perkotaan yang padat dan sinar matahari sulit masuk ke dalam rumah. Untuk itu bisa ditambahkan dengan genteng kaca atau material transparan agar terang matahari masuk ke dalam rumah.
Kesimpulan
Kusta sampai sekarang masih dianggap sebagai penyakit sepanjang zaman. Padahal pengobatan semakin maju dan kusta dapat sembuh total. Memang perlu waktu 6 hingga 12 bulan, hingga perlu ketelatenan dan dukungan semua pihak untuk mendorong para penderita kusta untuk konsisten.
Bersama KBR dan NLR Indonesia mari menyukseskan Proyek SUKA (Suara Untuk Kusta), agar Indonesia terwujud bebas kusta di tahun 2024, dan juga bebas kusta di seluruh dunia selama-lamanya.
Mari menjadi relawan bersama banyak komunitas kusta di seluruh Indonesia, seperti komunitas orang dengan disabilitas, UNDIP, FARHAN, GPDLI, Permata, Beskar Bone, DSM, FKDC, Comparisson,YAMAKINDO, Ayo Indonesia, dan lain-lain.
Artikel ini diikutsertakan untuk lomba #MelihatKustaLebihDekat
Masih banyak diantara kita mengucilkan seseorang penderita kusta ya kak, padahal harusnya kita support agar tetap semangat.
Dan semoga dengan diadakan nya webinar ini, makin banyak yang sadar kalau kusta itu sendiri bukan penyakit kutukan.