Sebelumnya saya tidak terlalu memerhatikan maraknya kedai kopi kekinian yang bermunculan di sekitar rumah saya. Adanya kedai-kedai ini baru saya sadari setelah melakukan penelitian tentang kedai kopi di Pangalengan, Jawa Barat.
Budaya minum kopi sebetulnya sudah ada zaman orang tua atau kakek-nenek kita. Bahkan nongkrong ngopi bari ngaroko (ngopi sambil merokok) ada sampai sekarang yang lebih banyak pelakunya adalah pria. Nongkrong dalam arti harfiah, merupakan perilaku tukang-tukang di lokasi konstruksi sebelum mereka mulai kerja. Sedangkan perilaku ngopi sambil ngobrol ngalur-ngidul bisa kita jumpai di warung kopi tradisional disertai juga dengan hidangan kukusan atau gorengan.
Tentang Perkebunan Kopi Indonesia
Hasil penelitian ke Pangalengan tersebut membawa saya ke sejarah perkebunan kopi di Indonesia. Indonesia menurut data tahun 2018 merupakan negara penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Mayoritas kopi dihasilkan melalui perkebunan rakyat sebesar 95,46 persen, sisanya adalah perusahaan perkebunan swasta (2,37 persen) dan perusahaan perkebunan negara (2,17 persen).
Keberhasilan tata niaga dan perkebunan kopi di Indonesia tidak lepas dari peranan pemerintah Hindia Belanda di abad 17. Ketika itu Belanda pertama kali membawa masuk benih kopi arabika dari Srilangka untuk ditanam di pulau Jawa. Walaupun awalnya ada kegagalan, tetapi pada penanaman selanjutnya ternyata biji kopi yang dibawa ke Eropa dan dilelang, harganya cukup tinggi.
Selanjutnya dengan metoda tanam paksa, Belanda kemudian membudidayakan kopi hampir di seluruh wilayah Nusantara, mulai dari Batavia, Cirebon, kawasan Priangan, dataran tinggi Sumatera Utara, Gayo, dan Sulawesi.
Antara Kopi Warung dan Kopi ala Cafe
Seingat saya kita mengenal cafe atau kedai kopi luar negeri yang masuk ke Indonesia sekira awal tahun 2000-an adalah Starbucks. Trend tersebut kemudian seolah menjadi the next level untuk ngopi. Kopi yang di warung tradisional duaribuan, jadi menambah gengsi bila seseorang ngopi di ‘kedai kopi kekinian’ (penamaan untuk membedakannya dengan warung) seperti itu.
Kemudian menyusul kedai kopi kekinian lokal, Ngopi Doeloe untuk menyaingi Starbucks tersebut. Ya masih bisa lah, harga lebih terjangkau, ngopi di situ engga kalah gengsi juga.
Bahkan saya pun dulu masih sering mampir ke Ngopi Doeloe untuk sekedar nulis-nulis buka laptop sambil internetan.
Pembeda lainnya dibanding warung, cafe atau kedai kopi ini selain kopinya diracik dengan mesin moderen, juga menawarkan hidangan ringan hingga main course. Dilengkapi dengan koneksi wi-fi tentu saja.
Itu sebabnya kedai kopi kekinian jadi marak dan menjadi tempat ngumpul atau diskusi yang asyik.
Masyarakat pun jadi mulai mengenal berbagai rasa kopi racikan. Beda dengan kopi warung yang standar kopi hitam, paling pilihannya hanya pakai gula atau tanpa gula. Maka di kedai kopi kekinian, pilihan rasa racikannya bisa sangat beragam, dengan pilihan asal kopi.
Saya suka rasa kopi tetapi bukan peminum kopi, sehingga tidak tahu beda rasa kopi asal Pangalengan (Malabar), kopi Aceh, kopi Lampung, kopi Toraja, kopi Bajawa, dan lain-lain.
Bagi pecinta kopi, pilihan asal kopi pun berpengaruh pada nilai jual kopi di kedai kopi bersangkutan.
Bisnis Kedai Kopi Kekinian
Hasil bincang-bincang di Pangalengan tersebut saya jadi tahu bahwa industri kopi di Indonesia cukup menjanjikan. Budaya minum kopi bukan lagi kelas warung tetapi naik kelas menjadi kedai kopi kekinian. Di Pangalengan tersebut ternyata ngopi diracik sekelas cafe pun marak, dengan berbagai ruang saji yang unik. Mulai dari gedung besar, nempel rumah memakai garasi, hingga memodif mobil sehingga bisa menjadi ruang racik. Soal duduk/ nongkrong ngopi tinggal membuka kursi lipat dan bisa mobile digelar di mana saja.
Wangi dan lezatnya kopi, ada proses panjang dari biji kopi hasil panen hingga sampai di cangkir kopi yang kita minum. Ada pola tanam, waktu memanen, cara menyimpan, cara roasting, apakah disangrai manual atau menggunakan mesin roasting. Kemudian juga cara menghidangkan kopi tersebut.
Akibatnya muncul profesi baru yang sebelumnya tidak terpikir, yaitu barista.
Kalau di warung kopi, cukup Ibuk atau Teteh di warung yang menyeduh kopi dengan air mendidih, maka di kedai kopi kekinian memakai mesin racik yang harganya bisa ratusan juta.
Varian kopi yang beraneka juga menjadi nilai jual masing-masing kedai kopi kekinian tersebut. Misalnya ada rasa espresso, americano, cappucino, caffe latte, macchiato, affogato, ristretto, frappe, dan berbagai varian baru lain.
Peminum kopi akan tahu kekhasan kedai A, di rasa espresso, sedangkan kedai B, di caffe latte, dan banyak lagi.
Bisa jadi orang yang hobi minum kopi, akan mencoba rasa setiap ada kedai kopi kekinian baru buka.
Begitu maraknya kedai kopi kekinian tersebut karena adanya bisnis franchise (waralaba). Hanya bermodalkan menyewa ruangan kecil atau bergabung dengan bisnis lain, kita sudah bisa menjual kopi kekinian yang rasanya tak kalah dengan kopi ala cafe.
Melalui sistem waralaba, stok kopi disupply dari pemilik brand, jadi kita tinggal memperkerjakan beberapa orang staf di lapangan saja. Menu kopi dan rasa kopi sudah standar, bahkan ada layanan antar yang bisa dipesan oleh konsumen.
Penutup
Ngopi selain soal rasa, ternyata ada budaya yang turut serta. Ngopi yang dulu disajikan sederhana, cukup diseduh air panas, ternyata bergeser dengan berbagai ilmu cara menyeduh yang menjadi profesi khusus. Kedai kopi kekinian juga menyeret memerlukan ilmu lain untuk meramaikan bisnis ini. Ada profesi desain grafis untuk mendesain bungkus kopi, ada profesi interior untuk mendesain interior cafe. Belum lagi marketing, influencer, hingga Babang Gojek yang siap antar kopi ke rumahmu.
Gara-gara menulis tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober 2022, bertema Mamah dan Kopi, saya sampai survei nih tadi pagi jalan kaki sekitar rumah saya. Jalan kaki ke luar kompleks ke arah utara, sekira 600 meter, saya menjumpai ada enam kedai kopi. Ada yang satu bangunan khusus, ada yang menempel dengan bisnis lain, atau bagian dari minimarket. Bahkan depan rumah saya pun ada, hanya saja, yang depan rumah tuh hanya melayani online.
Saya belum jalan ke arah selatan nih atau menyeberang ke jalan besar hingga se kecamatan. Bisa nih jadi ide penelitian lanjutan tentang kedai kopi kekinian berikutnya.
Semoga bermanfaat.
Ditunggu Teh, hasil penelitian selanjutnya 😉
Waktu mudik kemarin, sempat membeli kopi online dianter gojek dan juga beli di minimarket. Ternyata rasa yang dibeli di minimarket lebih enak loh daripada yang populer banget. Tapi sebenernya, dengan maraknya kedai kopi kekinian, jadi lebih banyak yang aware dengan rasa kopi yang asli dan bukan sekedar kopi sasetan saja. Aku juga baru belakangan minum kopi yang dari biji, bisa dibilang emang lebih enak dibandingkan kopi saset instan.
Ehehehe Teh Hani, karena Teteh mengangkat sedikit tentang Ngopi Doeloe, saya jadi nostalgia, itu dulu tempat jajan sambil nge-wifi gratis yang nyaman. Udah gitu makanan dan minumannya enak-enak semua. Duh sekarang masih sama kayak dulu endak ya rasa dan suasananya?
***
Banyak juga ya Teh Hani, kedai kopi di sekitaran rumah Teteh. Dari Kamidaka hingga Maher. Saya belom pernah nyobain sama sekali kafe dekat rumah Teteh yang Teteh tuliskan. Eh ini mah karena faktor geolokasi deng, ehehe, lokasi rumah MaMer jauh dari Buah Batu.
***
Terima kasih tulisannya ya Teh Hani. Jadi mendapat info sejarah singkat kopi di Indonesia. 🙂
Bu Hani, saya jadi ingat dulu pertama kali minum Starbucks pas lagi ke US, disana harganya rasanya terjangkau banget, hanya 1.5 USD. Waktu tahun 2009 an di kantor saya Starbucks ikut buka juga, kaget lihat harganya yang sampai 50 ribu haha, lalu ga mau beli..saat itu saya mulai minum kopi padahal, minum kopi Kapal Api sachet :).
Saya dulu suka ke Ngopi Doeloe, iya bener enak dan tempatnya juga nyaman. Masih ada ngga ya sekarang , mudah-mudahan masih bertahan.
Menarik nih, kafe-kafe di sekitar rumah Mbak Hani. Sekali-sekali perlu dikunjungi lah, mengingat area sana cukup sering juga saya lewati. Terima kasih banyak untuk infonya, Teh Hani…
hebat teh Hani sampai survey kedai kopi segala keren deh!
Kopi Indonesia itu kaya banget ya Bu. Mudah-mudahan kopi Indonesia makin banyak dikenal di manca negara.
Kopi, minuman sejuta umat ya Bun. Jadi penasaran deh dulu awal kemunculan kopi gimana ya? Diracik hingga menjadi minuman yang nikmat kan
Di dekat rumah saya juga sudah ada dua kedai kopi mbak, padahal hitungannya jalan kampung, tapi emang ramai sih karena jalur alternatif.
Iya kedai kopi tuh kini jadi bisnis yang menjanjikan ya. Kalau saya sendiri sih, masih setia dengan kopi sachetan yang diseduh sendiri di rumah
Saya juga suka kopi kak. Kalau lagi ada uang banyak ya beli di coffe shop, kalau lagi pas pasan ya beli kopi sachet an buat diseduh di rumah sendiri, hehe.
Belum pernah sih coba kopi kekinian kayak di cafe, karena emang gak suka kopi dan pantangan jika minum kopi. Tapi seru sih, apalagi yang kopi late yang dihias gitu. Ada seni dan semangat di dalamnya.