Sebuah notifikasi chat di grup WhatsApp Ladies Program tampil. Grup ini merupakan grup yang kami bentuk, kira-kira di awal tahun 1990-an. Anggotanya hanya berlima, yaitu Dewi, Endang, Inne, Dwinik, dan saya. Kami adalah tenaga edukatif ASN yang ditempatkan di perguruan tinggi swasta berbeda-beda di Bandung. Hanya saja, dikemudian hari, Endang dan Dwinik bertugas di kampus teknologi negeri di Bandung, kampus para Mamah MGN, karena PTS tersebut diakuisisi.
“Bu Dwinik, yuk kapan kita kumpul-kumpul lagi Ladies Program?” sapa Dewi.
“Iya, InsyaAllah ikut ya, nanti habis asistensi dulu sama Bu Hima” jawaban balik dari Dwinik.
Kumpul-kumpul di antara kami sebetulnya jarang kami lakukan, karena kesibukan di kampus masing-masing. Apalagi satu demi satu teman-teman melanjutkan studi ke program doktoral, tentunya kesempatan kumpul-kumpul semakin sulit dicari waktu yang pas.
Di sisi lain ada pula di antara kami yang ditugasi menjabat struktural di kampus, tentunya hal ini juga menambah pekerjaan selain mengajar dan melakukan penelitian.
Walaupun demikian dalam satu tahun kami usahakan kumpul di hari ulang tahun dari kami berlima tersebut. Rulesnya adalah kami kumpul di ulangtahun A, maka temannya yang ber-empat patungan untuk mentraktir yang ulangtahun. Tempat untuk ngumpulnya diserahkan pada pilihan yang ulang tahun.
Dalam satu tahun, saya di bulan April, Dwinik bulan Mei, Endang, bulan Juli, Inne, bulan November, dan Dewi bulan Desember.
Apakah selalu tepat di bulan bersangkutan? Tentu saja tidak.
Bisa-bisa di jatah saya bulan April, baru terlaksana di bulan Juni. Demikan seterusnya kemungkinan mundur selalu terjadi.
Kalau ngumpul apa sih yang diobrolin? Cerita kampus masing-masing, cerita sejawat, ya kan kampusnya beda-beda, pasti kebijakannya beda-beda.
Bisa saja karena saya mengajar sebagai dosen luar biasa di kampus tempat Dewi mengajar, jadi saya kenal siapa-siapa yang jadi obrolan. Namanya juga di Bandung, lingkup perdosenan mah kecil, si A kenal dengan di X-Y-Z yang si B kenal juga.
Atau kami membahas keluarga masing-masing. Tentang anak-anak, sekolah mereka, jodoh mereka, kesehatan masing-masing, obrolan selalu ada… Kadang selesai makan, lanjut nonton bareng.
Suami sudah hafal dengan kebiasaan istrinya bertahun-tahun ini. Jadi sudah tahu kalau pagi izin, nanti tidak makan siang di rumah, karena mau kumpul-kumpul dengan ibu-ibu Ladies Progam.
“Oh, IIDM (Ibu-ibu Doyan Makan) karena kan ada IIDN (Ibu-ibu Doyan Nulis)?” tanya suami sambil senyum-senyum.
Kami memang satu profesi, dari jurusan kuliah yang sama, Arsitektur, tetapi beda-beda almamater sarjananya atau tahun angkatan, tetapi dipersatukan sebagai tenaga edukatif ASN yang ditempatkan di PTS. Program magister dan doktoralnya pun beda-beda almamaternya. Tapi tidak masalah, persahabatan kami bagai kepompong.
Persahabatan bagai kepompong
diciptakan: Jalu Hikmat Fitriadi
Maklumi teman hadapi perbedaan
Persahabatan bagai kepompong
Dwinik itu selain mengajar juga mroyek, dan kalau ada proyek-proyek di luar pulau, saya sering diajak dalam timnya. Ke Kuantan Singingi di Kabupaten Riau, yang jaraknya 180 km dari kota Pekan Baru. Ke pulau Bangka yang hanya presentasi, berangkat pagi pulang sore dari Bandung pergi-pulang.
Atau pernah juga saya menghadiri seminar ICNT di Ubud, Bali, Dwinik mengajak berkunjung ke desa penelitian program doktoralnya di Desa Pengotan, di Kabupaten Bangli, pulau Bali.
Dari kami berlima, Dwinik memang yang paling ramai, sebagai warga Surabaya yang sudah lama menetap di Bandung, keramahan Sunda dan ceplas-ceplos Suroboyo melekat ke Dwinik.
Begitu ramah dan hangatnya Dwinik, sampai oleh anak-anak di Desa Pengotan, beliau dipanggil Ibuk.
Cita-citanya banyak, sesudah selesai program S3-nya, pengennya beliau buka catering dan terima masakan. Dari kami berlima, Dwinik paling pinter masak. Bahkan memang sudah melibatkan tetangga untuk terima masakan. Misalnya ada acara di jurusan Arsitektur di kampus, ada seminar atau sidang terbuka, bisa dipastikan, Dwinik yang masak.
Akhir-akhir memang jarang kami bisa kumpul berlima, seringnya berempat atau bahkan bertiga, yaitu Dewi, Endang, dan saya.
Kesibukan mengatur waktu bimbingan dengan promotornya menjadi kendala tersendiri bagi Dwinik untuk bisa kumpul. Tetapi kebiasaan Dwinik adalah, walaupun tidak bisa kumpul di ulang tahun salah satu dari kami, dia tetap mau patungan. Bahkan kalau ada waktu pas semua bisa ngumpul berlima, dia yang bayarin kami semua. Katanya fee proyek sudah turun.
Sampai pada suatu pagi saya di chat oleh Robi, salah seorang dosen yang sekampus dengan Dwinik.
“Mbak Dwinik meninggal pagi jam 7 ini sdh tahu ya bu Tri?’
“Beluuum… (emoticon menangis bercucuran). Innalillahi wa innailaihi rojiun. Kenapaaa?”
“Coba hub mbak Tina yaa…”
“Oke”
Telpon-telponan dengan Tina berujung saya bertangis-tangisan dengan Tina, di teras luar Bank BNI Cabang BuahBatu, tanggal 13 November 2020 tersebut.
Berita yang membuat saya patah hati banget. Kami tahu Dwinik ada masalah jantung, dan harus menunggu jadwal operasi di sebuah rumah sakit. Tapi kami tak tahu tepatnya nama penyakitnya. Seingat saya arithmia, tetapi seingat saya lagi, Dwinik menolak operasi, akupunktur saja.
Ya kali sudah jarang ketemu, sekalinya ngumpul mosok membahas penyakit? Jadi kalau kami kumpul memang hanya sepintas membahas penyakit.
Sesudah agak reda saya menangis dan menutup telepon, saya pun berkabar ke WA keluarga saya, suami dan anak-anak kenal dengan keluarga mereka. Bahkan suami Dwinik pernah satu perusahaan dengan suami, beda divisi. Anak-anak kami pun sepantaran.
Lalu mengabari grup Ladies Program…
Kesedihan menyeruak… Waktu itu tahun 2020, pandemi sedang menggila, belum ada vaksin, kami semakin jarang bisa kumpul-kumpul.
Dwinik adalah yang paling muda di antara kami.
Memang umur hanya Allah subhana wata’ala yang tahu kapan waktunya.
Ada yang menyayat di hati kami berempat sesudahnya.
Dwinik wafat di atas sajadah, ditemukan oleh keponakannya, karena suami dan dua putranya tidak tinggal di Bandung.
Malamnya Dwinik ternyata berhasil submit jurnal sebagai syarat untuk Sidang Terbuka Doktoralnya. Sidang Terbuka sudah dijawdalkan 8 Desember 2020.
Minggu depannya sesudah Dwinik wafat, cucunya lahir, seorang putri. Cucu yang sangat diharapkan karena kami berempat lainnya sudah pada punya cucu.
Saya ingat kalau ketemuan, Dwinik selalu bilang:”Duh…aku kapan ya punya cucu?”…
Walaupun sudah dua tahun berlalu, Dwinik serasa masih di antara kami. Kerenyahan suaranya, keramahannya, caranya menegur, bahkan profpic grup kami biarkan tetap berlima.
Artikel ini ditulis dalam rangka Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober 2022, yang nulisnya sambil cirambay…
Dari awal mbaca sptnya Dwinik teman yg sangat spesial di hati teteh. Ternyata di akhir tulisan bener2 bisa mbuat kangen almarhumah yaa..
Saya mbaca ini jadi pengen ngumpul sama tmen2 angkatan tapi da yaa jauh raga semua huhuhu
Aaah ibu di awal tulisan, happy sekali baca tulisannya, jadi teringat geng sma yang juga suka kumpul kumpul makan makan sekali waktu, walau ga sering.
Pas di akhir, ikut berdukaaa, duh sedih sekali. Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Semoga almarhumah husnul khotimah, diterima iman islamnya, dilapangkan kuburnya. Kalau dari ceritanya, beliau ini pasti ngangenin yaa.
Bacanya ikutan cirambay oge teh. MasyaAllah baiknya almarhumah, ikut mendoakan almarhumah semoga kebaikannya menjadi penerang kuburnya, menjadi pemberat timbangan amalnya.
Saya suka nih ide mentraktir teman yang ulang tahun. Betul juga ya, mestinya begitu. Jadi tidak perlu memberatkan satu orang.
Ikut berduka cita untuk Bu Dwinik.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, semoga almarhumah husnul khotimah. Ditinggal mendadak gini ngagetin banget ya teh. Ya walaupun mendadak ataupun pakai sakit dulu, buat yang ditinggal tetap sedih banget sih ya. Ikut berduka ya teh..
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Tulisan Teh Hani mengandung bawang. :(..
Turut berduka cita, Teh Hani. Semoga Ibu Dwinik husnul khotimah.
***
Menyenangkan sekali ya Teh sudah bersahabat dengan teman-teman yang saling love dearly to each other sejak tahun 1990, awet rukun dan damai, masya Allah. 🙂