Kapan Anak Siap Bersosialisasi?

hani

anak siap bersosialisasi

Zaman modern sekarang sudah banyak bertaburan les-les private. Ada les private khusus akademik seperti Matematika, Bahasa Inggris dan sebagainya. Ada juga les yang mewadahi hobi/kesenangan/bakat dan minat anak. Banyak juga orang tua yang “sengaja” memasukkan/ mengikutkan anaknya ke sebuah lembaga les/bimbel hanya karena gengsi atau faktor lain yang memang bersifat eksternal. Di samping itu, ada anak-anak yang sudah menunjukkan ketidaksukaan/ ketidaktertarikan pada kursus atau kegiatan ekstra kurikuler yang dipilihkan oleh orangtuanya. Kapan anak siap bersosialisasi, ada baiknya orang tua perlu tahu. Sehingga tidak salah pilih kegiatan dan memaksakan kehendak.

Lalu, salahkah cara yang dilakukan ortu-ortu itu?
Mengenai bakat dan minat anak ini biasanya sudah bisa dideteksi sejak dini dan dari usia yang bervariasi. Ada anak yang sudah mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap sesuatu hal pada usia 3-4 tahun, atau bisa lebih cepat dan lebih lambat dari itu. Sebagai orang tua, tugas mereka bukan hanya sekadar mendeteksi, “Oooh jadi dia suka main piano. Ooh jadi si adek sukanya menggambar.” Biasanya, anak itu akan lebih mudah berpindah-pindah dari satu objek ketertarikan ke objek lainnya. Intinya, di usia yang sangat dini ini, minat anak masih sangat mungkin mengalami perubahan.

Trus gimana dong cara mengetahui bahwa A atau B itu adalah bakat/minat anak yang paling menonjol?
Cara konvensionalnya adalah, rajinlah mengamati/observasi si anak. Misalnya, belakangan ini dia lagi suka menggambar. Terus amati durasi, frekuensi, intensi anak ketika dia sedang menggambar dari hari ke hari.
Sesekali, ortu juga bisa bertanya pada anak, “Adek suka nggambar ya? Emangnya apa yang adek
sukai kalo lagi nggambar? Adek senang ya kalo lagi menggambar?”
Mungkin, mereka akan bilang, “Suka. Senang.”

Amati aja terus aktivitas ini setiap hari.
Kalau suatu ketika ada saat ortu membelikan peralatan menggambar lagi untuk ke sekian kali tapi si anak mulai ogah-ogahan, coba tanyakan, “Adek mau ngapain lagi? Adek sukanya apa?”
Kalo ternyata dia mulai memunculkan ketertarikan pada objek lain, lakukan hal yang sama yaitu observasi.

Kebiasaan anak seperti di atas ini biasanya saat mereka berusia 0-2 tahun.
Pada usia ini, minat anak terhadap sesuatu akan semakin berlimpah. Sebab, ini adalah fase sensori motorik di mana akan anak lagi senang-senangnya mencoba segala sesuatu, mengamati/meraba/merasakan sesuatu dengan panca inderanya untuk mengenal objek-objek di sekelilingnya.

Kalau pada rentang usia 3-6 tahun ini disebut pra-operasional di mana anak suka melakukan sesuatu yang berasal dari apa yang mereka amati atau tiru. Misalnya, si anak ini suka banget nonton Ultramen Mebius.
Selain suka, dia juga jadi sering mengimitasi gerakan-gerakan sang Ultramen, suka minta dibelikan baju Ultramen dan apa saja yang berhubungan dengan itu.

Umumnya sih, akan lebih mudah melihat ke arah mana bakat anak ketika sudah berusia sekitar 4-6 tahun. Tapi ada juga yang sudah bisa terdeteksi sejak di dalam kandungan. Misalnya seorang ibu ketika hamil, si Jabang Bayi suka gerak-gerak ketika mendengarkan irama musik. Dan, ketika besar, saat ia tidur lalu terdengar musik, anggota tubuhnya spontanitas turut bergerak merespon musik tersebut.

Usia 2-6 tahun banyak yang bilang sebagai golden age, kan?
Makanya di usia-usia ini banyak ortu yang getol mengarahkan sang anak untuk mengasah bakat mereka. Tapi, ternyata masih ada saja ortu yang keliru dalam mengidentifikasi bakat sang anak. Jadinya, ketika si ortu memasukkan mereka untuk les, si anak akan merasa bahwa ortu lagi maksa, mereka nangis dan selalu minta pulang ketika berada di tempat les. Seringnya pula, ortu cuman berargumen, “Biasalah itu! Mungkin karena lingkungan baru jadi mereka cuman butuh adaptasi aja.”

Kekeliruan ortu dalam mengarahkan anak ini juga bisa berakibat fatal. Anak tidak cocok dengan suatu lingkungan baru jangan dianggap sepele. Mungkin memang belum waktunya anak siap bersosialisasi.
Jadi sebaiknya, hindari memaksa anak untuk ikut les tertentu apalagi kalau anak sudah menunjukkan isyarat TIDAK SUKA. Sebaliknya, biarkan sang anak yang lebih berinisiatif, mereka maunya apa. Ortu juga harus bertanya kepada mereka. Kalau mereka memang tertarik dengan musik, maka coba masukkan ke les privat musik.

Saya pernah mengajar piano di sebuah kursus musik di Bandung lebih dari 19 tahun, sering menjumpai ortu yang me-les-kan putra-putrinya di usia yang sangat muda, antara 2-4 tahun. Kelihatan sekali ibu-ibu muda ini agak “memaksakan” putra-putrinya dengan alasan agar ada kegiatan dan anak siap bersosialisasi. Padahal anak-anak balita tersebut duduk diam selama 10 menit saja belum semua bisa. Sebetulnya paling mudah memulai kegiatan les yang sifatnya serius di usia 7 atau 8 tahun. Karena di usia tersebut, anak-anak sudah bisa menyatakan dia ingin atau tidak ingin belajar hal baru.

Bagi balita, ketika anak berada di tempat les, lalu menangis, hanya ada 2 hal yang mungkin menjadi penyebabnya: pertama apakah anak siap bersosialisasi? Karena anak seumuran itu memang belum memiliki kemampuan yang optimal untuk bersosialisasi/ beradaptasi pada lingkungan yang baru. Atau faktor kedua yaitu karena anak memang tidak minat dan ortu semakin memaksa/keras kepala.

Namun, jika masalahnya karena kesulitan beradaptasi, maka ortu dan guru juga harus bersabar, telaten dalam membantu anak untuk melalui masa krisis tersebut. Caranya mungkin di tempat les, bisa diselingi dengan permainan psikologis untuk mengukur leadership, kerja sama dan aspek-aspek lain pada anak itu sendiri.
Banyak kok sekarang permainan macam itu, bisa di-download tuh di om google modul-modul PDF-nya atau mencari di buku-buku psikologi populer; buku psikologi bermain pada anak.

Jadi, selain belajar serius untuk lebih mengembangkan dan mengarahkan bakat anak, guru juga bisa melatih berbagai aspek sosial pada diri anak. Selain itu, ortu juga harus memberikan support. Oke, nggak masalah bila mereka menemani anak pada saat jam les dan ikut bermain pula. Tapi, latih anak juga agar mereka bisa ditinggal sendiri dan bersosialisasi sama teman-teman barunya. Harus sabar dan jangan pakai gengsi ya.

Lain halnya bila masalah ketidaksukaan, tantrum atau perilaku negatif sang anak muncul karena memang ada gejala-gejala kelainan psikologis. Ini tentu harus dikonsultasikan pada ahlinya sebab anak dengan kelainan psikologis ada juga yang lebih suka menarik diri dari lingkungan/sangat sensitif terhadap orang baru karena masalah-masalah/penyebab tertentu yang disebabkan oleh riwayat psikis tadi.

Satu lagi, ketika anak memang serius menyukai suatu kegiatan, sebaiknya ortu konsisten mendukungnya. Dukungan yang setengah-setengah membuat anak pun belajar setengah-setengah. Misalnya, untuk datang ke tempat les, karena tidak ada yang mengantar, lalu anak tidak les. Atau, karena mahalnya harga piano, anak lalu berhenti les, padahal si Anak sudah suka banget dan serius belajar.

Sumber:
http://emmakim28.blogspot.co.id/2014/07/kapan-anak-siap-bersosialisasi.html

Bandung, 16 Juli 2016

Also Read

Bagikan:

hani

Halo, saya Tri Wahyu Handayani (Hani), tinggal di Bandung. Pemerhati arsitektur dan pelestarian bangunan, main piano, menjahit, dan jalan-jalan. Kontak ke bee.hani@gmail.com

Tags

4 pemikiran pada “Kapan Anak Siap Bersosialisasi?”

  1. Ini daku banget, hahahaha
    Aku tuh masukkin les musik anak-anak di usia muda, 4 tahun. Yang ada, gonta ganti tempat les (kalau les bidangnya tetap) karena masih suka uring-uringan kalau nggak cocok dengan teman, atau males sama gurunya 😀
    Alhamdulillah sekarang karena di sekolah juga ada ekstrakurikuler musik, ikut yang di sekolah saja.

    Balas
    • Alhamdulillah Mbak, sekolah putra/putrinya ada ekskul yang cocok ya. Sukses ya mengamati tumbuh kembang sang Buah Hati… 🙂

      Balas
  2. Saya masih melihat anak saya pun masih belum terlalu mandiri makanya ga tergiur juga sekolah ataupun les diusia dini, makasi mba sharingnya

    Balas

Tinggalkan komentar

DMCA.com Protection Status