Kampung Adat Bena, Kapal Berlabuh di Kaki Gunung Inerie

hani

Kampung Adat Bena – Teman-teman, sambung lagi kisah perjalanan darat kami menyusuri pulau Flores dari Timur ke Barat. Menyimak ke Google Map, di hari ke-tiga ini sampai ke Desa Adat Bena kami sudah menempuh jarak 398 km, dari rangkaian perjalanan yang kami hitung sekira 646 km dari Maumere ke Labuan Bajo.

Setelah melalui jalan yang berkelok dan tak rata selama 4 jam, tepat di ujung jalan yang lurus tampak gunung Inerie berbentuk piramida. Kampung Adat Bena memang terletak di kaki Gunung Inerie, 2.245 m dpl, masih masuk lagi ke dalam tidak tepat di tepi jalan raya.

peta perjalanan maumere-bena
Hari ke-3, total perjalanan Maumere-Kelimutu-Riung-Kampung Adat Bena, menempuh 398 km

Kampung Adat Bena

Kampung Adat Bena terletak Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Kota terdekat adalah kota Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada, yang jaraknya 19 km ke arah Barat dari Kampung Adat Bena.

Ketika kami sampai ke Kampung Adat Bena, sudah lewat ashar. Kami turun dari bus lalu berjalan sebentar untuk sampai ke pintu masuk kampung. Pemandangan menakjubkan tampak di depan mata, ketika matahari sore menerangi seluruh kampung dari sisi kanan.

Kami menuruni anak tangga dan jalan yang menurun menuju kampung. Bentuk kampung memanjang arah Utara-Selatan. Susunan rumah terbagi di dua sisi menghadap ke ruang terbuka di bagian tengah kampung. Di latar belakang, gunung Inerie tinggi menjulang di sisi Barat.

Kampung Adat Bena, Kapal yang Berlabuh di Kaki Gunung Inerie
Bena dari arah Utara

Di sisi kanan paling dekat dengan jalan masuk ada sebuah rumah yang di sisinya tersusun tanduk kerbau. Di teras rumahnya tergantung aneka kain tenun ikat khas Bena.

Lagi-lagi kain tenun sodara-sodara. Hanya saja kain tenun yang dipajang tidak lebar, sepertinya cocok untuk selendang. Sepintas, tenun khas Bena bermotif mahluk mirip kuda atau hewan bertanduk.

Teman-teman langsung heboh dan tanpa pikir panjang menawar atau ngetap, mau yang mana.  

penjual kain tenun di kampung adat bena
Keriuhan nge-tag selendang tenun ikat seharga antara Rp 200.000 – 300.000,-

Untungnya ada teman yang mengingatkan, kita ini belum kulonuwun ke tetua kampung, main belanja saja.

Kami pun menuju sebuah rumah di sisi kiri yang berfungsi sebagai semacam kantor penerima tamu. Salah seorang wakil dari kami mengisi buku tamu atas nama kami semua dan memberikan donasi untuk pemeliharaan dan pelestarian kampung. Kami diberi selendang warna ungu bertuliskan Bena untuk dipakai selama ada di kampung, dan dikembalikan saat akan meninggalkan kampung.

Sejarah Kampung Adat Bena

Kami diterima oleh ketua kampung untuk menjelaskan sejarah kampung serta berbagai elemen yang ada di kampung Bena.

Kampung Adat Bena menurut bentuknya yang memanjang melambangkan bentuk kapal. Konon menurut kepercayaan leluhur, masyarakat kampung adat Bena datang menggunakan kapal dari laut Sawu dan menetap di lokasi sekarang.

ilustrasi kampung adat bena
ilustrasi Kampung Adat Bena oleh Agusta, Y (2011)

Seluruhnya ada 9 suku yang ada di kampung adat Bena, yaitu suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Suku Bena merupakan suku tertua sehingga kampung ini diberi nama Bena.

Kalau diperhatikan ada 9 undakan yang menunjukkan jumlah suku tersebut. Setiap suku menempati pelataran dengan undakan yang berbeda. Selain dibedakan dari letak dan pelataran, pada detail atap pun ada perbedaan. Seluruhnya ada sekitar 40 rumah dengan ruang terbuka di tengah-tengah berfungsi sebagai area bersama, makam leluhur, dan menjemur hasil bumi.

penjemuran kopi
menjemur hasil bumi

Untuk mencapai lapangan di tengah kampung, kami harus menaiki tangga batu. Terdapat beberapa elemen berbentuk bebatuan dan bangunan kecil ada yang mirip saung dan ada yang mirip rumah. Bebatuan disusun berbentuk segi empat ternyata adalah makam leluhur dari masing-masing suku yang disebut tores barajo.

makam leluhur
makam leluhur

Sedangkan meja batu yang sangat lebar diperuntukkan untuk persembahan pada saat upacara adat. Tak ada penjelasan bagaimana batu datar berbentuk meja bisa disusun berhadapan demikian rapi. Itu sebabnya beberapa sumber menyebutkan bahwa Kampung Adat Bena menyisakan jejak megalitikum (zaman batu). Walaupun masyarakat Bena sekarang adalah penganut Katolik, tetapi kepercayaan leluhur masih sangat kuat. Mereka percaya bahwa Dewa Zeta merupakan pelindung mereka dan bersemayam di puncak gunung Inerie.

meja batu
batu selebar meja

Di dekat susunan batu berdiri mirip menhir, didirikan pula pondok kecil beratap ijuk dinamakan bhaga, melambangkan leluhur perempuan. Bentuk bangunan mirip payung beratap serat ijuk dinamakan ngadhu, melambangkan leluhur laki-laki, berfungsi juga untuk menggantungkan hewan kurban pada saat upacara adat.

bhaga
bhaga
ngadu
ngadu

Bentuk Rumah Kampung Adat Bena

Seperti halnya hampir semua bentuk rumah tradisional di Indonesia, rumah-rumah di kampung Adat Bena berundak di bagian depan rumah. Di belakang rumah berbentuk panggung mengikuti kontur di area tersebut. Terlihat bahwa ada upaya selaras terhadap lingkungan, dan tempat-tempat berundak memanfaatkan batu.

rumah dan tenun
bentuk rumah adat Bena

Bagian depan rumah berupa teras yang dimanfaatkan untuk kegiatan menerima tamu, menenun dan memilah hasil bumi. Untuk diketahui, hasil bumi sekitar kampung adalah bercocok tanam kopi, vanili, dan kemiri. Sedangkan kaum perempuan diwajibkan bisa menenun, yang hasilnya dijual ke wisatawan.

Bagian tengah rumah berbentuk huruf U, dipakai sebagai ruang makan, ruang bersama, dan ruang tidur anak. Sedangkan bagian tengah ada sebuah ruangan inti digunakan sebagai ruang tidur kepala rumah tangga, upacara adat, dan di sudut ruang terdapat dapur disebut lika.

gambar potongan kampung adat Bena
potongan rumah adat Bena, sumber: Adi Utama

Secara keseluruhan material rumah memperhatikan kearifan lokal menggunakan kayu, bambu, dan alang-alang. Struktur kolom rumah terbuat dari kayu, begitu pula lantai rumah terbuat dari papan. Sedangkan struktur atap menggunakan kayu, dan bambu untuk lapisan luar struktur atap. Penutup atapnya sendiri memakai alang-alang yang khusus ditanam di sekitar Kampung Adat Bena. Material ijuk pun dipakai sebagai pengikat material bambu pada atap.

Gua Patung Bunda Maria

Panjang Kampung Adat Bena hanya sekitar 375 meter dan lebar 80 meter. Tetapi karena kontur tanahnya berundak sampai ke belakang, maka perjalanan cukup melelahkan juga bagi saya.

gua bunda maria
gua Bunda Maria

Di ujung belakang kampung ada pelataran naik lagi melalui tangga batu, sampailah kita di area yang dibangun gua kecil berisi patung Bunda Maria. Pohon bougenville yang sedang berbunga menaungi gua dan sebuah pondok beratap alang-alang ada di belakangnya.

Ini merupakan tempat tertinggi di Kampung Adat Bena karena di balik saung terdapat lembah. Dari tempat ini kita bisa melihat seluruh kampung, yang memang mirip bentuk kapal.

kampung bena dari selatan
kampung adat Bena dari arah Selatan

Hari semakin sore, matahari makin merendah dan mulai menghilang di balik gunung Inerie. Sudah waktunya kami harus pamit dari kampung nan indah ini. Jangan lupa, selendang harus dikembalikan.

bersama warga bena
foto sejenak bersama warga Bena
gadis bena
sweet little girl from Bena

Menari Bersama Warga Kampung Adat Bena

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami singgah dulu ke gedung Serba Guna yang ada tak jauh dari kampung. Di sanalah bus kami diparkir.

Di gedung Serba Guna ini kami menonton sejenak tari-tarian yang diperagakan oleh adik-adik warga Bena. Mereka anak-anak laki-laki dan perempuan lincah mengikuti rampak yang diperdengarkan dari audio.

Kami menonton sambil menikmati hidangan yang disiapkan oleh ibu-ibu, terdiri dari ayam yang dimasak mirip kari, sayur daun pepaya, pisang rebus, dan kopi. Baru sekarang ini saya menikmati kopi Bajawa yang terkenal. Walaupun sesungguhnya saya tak terlalu mengerti beda rasa kopi dari tiap daerah.

Teman-teman narablog sudah tahu kan warga Flores pandai menyanyi dan menari. Maka tak seru kalau kami tak turut serta menari bersama.

Elly teman kami yang asli Kupang, tak segan-segan mengajarkan sejenak langkah-langkah kanan-kiri, maju-mundur. Putar ke kiri, putar ke kanan …

menari bersama
menari bersama dipandu Elly (tengah), sumber foto: BPJN

Saya ikut tidak? Ya iyalah. Kapan lagi. Mumpung teman-teman di Bandung tidak ada yang melihat. Cukup membuat berkeringat lho, apalagi iramanya riang.

It’t time to say good bye.

Sesudah ini ke mana?

Arahnya adalah ke Barat, ke Ruteng. Menurut petunjuk Google Map, durasi perjalanan sepanjang 146 km adalah sekitar 4 jam. Seperti yang sudah-sudah, tampak jalur ke Barat tersebut keriting, pastinya berkelok-kelok. Jadi, siap-siap saja mabok dan perjalanan akan lebih lama dari perkiraan.

menuju ruteng
melanjutkan perjalanan dari kampung adat Bena menuju Ruteng ~4 jam

Lanjut besok ya …

Mau tidur dulu di bus. Harus banyak berdoa, semoga pak Supir piawai mengemudikan bus ini.

Sumber:

Kadafi, Muchammad Rizky; 2018; Bentuk Arsitektur Interior Rumah Adat Kampung Bena, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur; PROGRAM PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA.

gotrina.com/blog/kampung-adat-bena

issuu.com/adiutama/docs/flores/87

Bandung, 22 April 2019

Also Read

Bagikan:

hani

Halo, saya Tri Wahyu Handayani (Hani), tinggal di Bandung. Pemerhati arsitektur dan pelestarian bangunan, main piano, menjahit, dan jalan-jalan. Kontak ke bee.hani@gmail.com

25 pemikiran pada “Kampung Adat Bena, Kapal Berlabuh di Kaki Gunung Inerie”

  1. Wah, keren banget perjalanannya. Ngomong-ngomong, kalau ada hikayat atau legenda Kampung Adat Bena yang terkait dengan sisa-sisa kebudayaan megalitikum, boleh juga diceritakan.

    Balas
  2. Ping-balik: Pasar Kain Tenun Ruteng, Etalase Warisan Budaya Flores - blog hani
  3. Asyiknya bisa berkeliling mengenal adat istiadat, bertemu dengan saudara setanah air, serta mengenal kearifan lokal wilayah yang ada di tanah air. Saya saat ini jadi penasaran pengen ke NTT setelah tante dan sepupuku menetap di Kupang dan Rote. Katanya, di sana seru…..

    Balas
  4. Seru banget ya, bun, petualangannya. Menjelajahi flores yang masih menjaga kearifan budaya lokal. Menyaksikan secara langsung budaya yang unik.

    Balas
  5. Masya Allah Bundaaa, kereeen banget perjalanannya. Malu iih si kopermini nih masih kurang explore Indonesianya.

    Seruuu bisa bercengkerama langsung sama penduduk lokal.

    Balas
  6. Wawww kerenn bunda.. berasa terlempar ke masa lalu ya hehe.. senangnya bisa menikmati keindahan alam dan budaya Indonesiaaa. Sehat terus ya Bunnn

    Balas
  7. Dosen arsitek mengulas tentang arsitekstur rumah adat? Jadinya ya, keren banget. Aku sampe baca berulang-ulang, karena menarik dan detail banget. Btw, ini ada paket tur-nya ya, Bu? Atau kita sendiri yang arrange?

    Balas
    • Atur sendiri Bund. Kebetulan ada teman sealmamater asli Flores (Elly). Dia membantu kontak sana-sini. Kita nabung mengumpulkan di rekening salah satu teman lain. Atur sendiri deh…

      Balas
  8. Masyaallah, mbak. Ini kereen banget. Pemandangannya wow bingits. Itu rumah adatnya unik ya. Rumah warga pun kelihatannya kecil. Dalam 1 kampung sedikit kah bunda kuotanya?

    Balas
  9. Ping-balik: Filosofi Rumah Menara di Kampung Adat Sumba - blog hani
  10. Wahhh sebuah sejarah yang sangat memukau mbak. Perjalanan yang penuh makna. Beruntung rasanya bisa mengetahui sejarah dari kampung indah yang satu ini.
    Semoga suatu saat kami bisa kesana.

    Salam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi

    Balas
  11. Impian ku bisa berkunjung ke Flores mbak hani, smoga terlaksana. Artikelnya bisa jd referensi ku. Makasih infonya mbak Hani.

    Balas
  12. Menarik mengetahui cerita bagaimana suku-suku di kampung adat Bena itu mulai menempati rumah mereka sekarang. Seketika imajinasiku langsung bermain-main seperti film kolosal fantasi. Unik ya, masing-masing suku menempati undakannya masing-masing.

    Penasaran sama kopi Bajawa. Kalau citarasanya khas banget, aku bisa membedakan mbak.

    Balas
  13. Seru banget ya perjalanan Bu Hani ke kampung Bena ini. NTT kaya akan kebudayaan ya Bu. Belum pernah ke Flores dan NTT. Beruntung sekali bu Hani sudah keliling kemana-mana.

    Balas
  14. Wah, aku jadi kangen Bena.
    Selain bentuk kampungnya yang unik, adatnya pun unik. Kalau saya tidak salah, di Bena ini menganut aliran matrilineal, disaat suku lain di NTT pada umumnya adalah patrilineal 🙂

    Balas
  15. Kampunya sangat menarik. Saat membaca kata menhir dan melihat foto meja batu, saya langsung teringat dengan komik favorit saya yaitu Asterix 🙂

    Balas
  16. MasyaaAllah mb Hani, bersyukur banget yg bisa melihat keragaman Indonesia langsung dgn mata kepala sendiri. Ditunggu cerita berikutnya

    Balas
  17. Aku suka dengan postingan nya, informatif sekali
    Tentang Flores dan kampung adat Bena yang belum banyak dibahas. Adat istiadat yg masih terjaga, semoga kelak ada kesempatan menyinggahinya

    Balas
  18. Ping-balik: √Wisata Sejarah Dan Budaya Sumenep, Madura

Tinggalkan komentar

DMCA.com Protection Status