Jelajah Singkat ke Gua Terawang di Kabupaten Blora

hani

Waktu itu saya dan suami menyempatkan mampir ke kota Blora di Jawa Tengah. Sebelumnya kami menyewa mobil, berangkat dari kota Solo, karena suami ada keperluan dinas dulu di kota tersebut. Bila melihat peta Google, kami jelajah dari Selatan ke arah Timur Laut, mampir sebentar ke Bledug Kuwu di daerah Purwodadi.

Ada Apa di Blora?

Perjalanan ini sebetulnya sudah ingin saya lakukan setahun sebelumnya. Kenapa kok Blora? Memang ada apa di Blora? Sebetulnya sih for sentimental reason saja. Mungkin bagi sebagian orang agak aneh. Saya ingin mencari makam Eyang Kakung saya, ayahnya ayah. Penasaran saja mencari akar keluarga.

Ayah saya memang bangga sekali sebagai orang Blora. Masa kecil saya sering diceritakan tentang kejujuran orang Samin dalam sejarah perjuangan melawan Belanda.

Boleh dibilang sebetulnya saya kehilangan jejak asal usul secara ras dan suku. Lahir di kota Makassar, kemudian ke Magelang, lalu Jakarta, sempat ke Beograd, mampir ke Bonn, kembali ke Jakarta, lalu terdampar di Bandung hingga sekarang. Jadi jangan tanya saya, saya asli mana. Panjang ceritanya soal keaslian. Pastinya ya asli Indonesia, dong.

Menggali informasi dari berbagai sumber sesama saudara dari pihak ayah, akhirnya saya mendapatkan lokasi kompleks pemakaman kakek, makam Kajangan, di daerah Kunduran. Kata saudara saya, kira-kira 5 km sebelum masuk kota Blora.

Menjelang magrib, kami tiba di kota Blora, langsung check-in ke hotel Kencana, jalan Pemuda, Blora. Kami didrop kemudian supir dan mobil sewaan pulang lagi ke Solo.

Hotel Kencana ini satu-satunya hotel di Blora yang ada di aplikasi pemesanan hotel. Di front office saya sampaikan ke petugas, apakah kami bisa menyewa mobil karena akan jalan-jalan. Dalam bayangan saya, mencari makam leluhur itu perlu perjuangan seharian. Apalagi saya search lokasi di google map, tidak ada nama kompleks makam tersebut. Khawatirnya, kalau pesan mobil di aplikasi online, takutnya setelah didrop, tak ada yang menjemput.

Akhirnya kami mendapatkan nomor driver mobil sewaan, dan siap menjemput esok hari.

Semalam di Blora

di Alun-alun Blora

Kami rencananya hanya semalam di Blora, besok sore akan kembali ke Bandung naik kereta api dari kota Cepu.

Lalu malam ini ngapain? Pengen sate deh. Kan Blora terkenal dengan satenya.

Ternyata tak jauh dari hotel Kencana, masih di jalan Pemuda, ada sate ayam Pak Teguh. Kami memesan sate dan lontong untuk dua orang.

blora
Sate Ayam Pak Teguh

Sambil menunggu pesanan, di dinding terpampang daftar harga sate per 10 tusuk dan hitungan hingga ke sekian ratus, bila kita memesan banyak. Daftar harga tersebut ditulis tangan.

daftar harga

Selain sate dan lontong juga dihidangkan semangkuk kuah encer, rasanya seperti kare. Baru tahu saya, makan sate ada kuahnya.

Tusukan satenya kecil-kecil, mirip lidi. Kata suami sih, itu bambu. Terniat bikin tusukan satenya ramping begini. Ternyata memang mantab, rasanya enyaaak banget.

Selepas mencicipi Sate Ayam Khas Blora dari pa Teguh, kami jalan kaki menyusuri jalan Pemuda.

Waktu itu bulan November, sejuknya malam kota Blora membuat beberapa warga menggelar tikar dan lesehan ngobrol di trotoar disertai dengan minuman hangat.

Saya tidak melihat ada mall di kota Blora, jadi ya hiburan malam, kongkow saja di trotoar dan seputaran Alun-alun. Seperti halnya di banyak kota-kota di Indonesia, alun-alun merupakan pusat pertemuan warga kota. Biasanya ada arena bermain anak dan aneka jajanan.

Pulang dari mengitari alun-alun, foto-foto selfie, kami ke hotel menyusuri jalan Pemuda lagi. Ternyata di seberang sate ayam Pak Teguh, ada sate kambing.

Mampirlah kami, mencicipi sate kambing khas Blora. Tenang, sepiring berdua saja, tanpa nasi.

sate kambing Blora

Jelajah Pagi dan Ziarah Makam Leluhur di Blora

Keesokan harinya kami skip sarapan di hotel, karena ingin mencari sarapan pagi yang biasanya sering ada di setiap kota. Ingin tahu, apa sih sarapan pagi warga setempat.

Kami jalan kaki menyusuri jalan Pemuda, lurus menuju alun-alun kota Blora lagi.

Di depan bank BRI, di seberang alun-alun ramai orang duduk di tikar  untuk sarapan. Ada dua food truck berjajar, salah satunya terpampang Lesehan Pojok BRI.

Naa, syedap nih. Pagi-pagi memang cocok benar, sarapan sambil lesehan. Ternyata pecel.

Jadilah kami pesan sarapan pecel. Tersaji juga lauk pelengkap, seperti tempe dan tahu bacem serta beberapa jenis gorengan. Bacemannya enyaak banget.

sarapan pecel Blora

Sesudah sarapan kami kembali ke hotel untuk mandi, karena janji dengan pa Sinyo, driver yang akan menjemput kira-kira pukul 7 pagi.

Ternyata pa Sinyo tahu makam yang kami cari. Betul, makam tersebut 5 km dari pusat kota, tetapi rupanya karena perkembangan kota, sudah menjadi bagian kota Blora juga.

Kompleks makam tersebut apik, kecil saja, mungkin hanya 30 X 30 m2, ada gerbang yang terkunci. Menurut seorang ibu yang kebetulan ada dekat makam, kunci gerbang dipegang pa Nuri, kuncen makam. Sedang di sawah, katanya.

Ya sudah, kami menyurusi jalan, mencari sawah di belakang makam, dan tanya-tanya, ada pa Nuri tidak?

Pa Nuri tergopoh-gopoh membawa kami kembali ke makam, dan membuka gembok makam. Saya heran juga, jadi kuncinya dibawa-bawa terus atau gimana ini ya …

Kami sampaikan tujuan kami, ingin ziarah ke makam eyang saya, namanya Martosoedirjo. Oooh…Mbah Marto, katanya. Ajaibnya pa Nuri, tahu di mana lokasinya.

Kata pa Nuri, sudah puluhan tahun tidak ada yang menyambangi. Ya iyalah, tidak ada saudara seorang pun yang tersisa yang menetap di Blora. Atau tepatnya, saya kehilangan jejak. Info tentang makam ini saya dapatkan dari saudara yang menetap di Malang. Itupun komunikasinya melalui WA. Kami belum pernah saling jumpa.

Jam 08:30 ternyata urusan ziarah sudah beres. Saya hanya berdoa dan merenung saja sebentar. Konon kakek saya ini dulu penilik sekolah. Mungkin dari sinilah jiwa mengajar kami berasal. Banyak di antara kami bersaudara yang menjadi guru atau dosen.

Terus ngapain?

Ada obyek wisata apa sih di sekitar kota Blora?

Kata pa Sinyo, ada Gua Terawang di tengah hutan jati, kira-kira 30 km dari Blora. Oke. Kami ke sana. Dengan catatan, jam 12 harus sudah ada lagi di kota Blora. Karena jam 15 harus cap-cus ke kota Cepu.

Jelajah Singkat ke Gua Terawang, Blora

Gua Terawang

Kami menuju ke Barat ke arah kota Purwodadi lagi. Sebelumnya suami menyempatkan mampir ke sebuah toko mencari tongsis. Kan engga lucu, jalan-jalan berdua, foto-foto selalu sendiri-sendiri, karena gantian difoto.

Sepanjang perjalanan, pa Sinyo menceritakan perilaku orang Blora, kejujuran ala Nyamin zaman Belanda, hutan jati, pencurian kayu secara terstruktur dan masiv, dan ulat jati yang enak dimakan (huek…).

Mosok toh ya, ini cerita pa Sinyo loh ya.

Pencuri kayu menebang pohon jati dengan mesin yang direndam air (engga tahu teknisnya), jadi suara mesin tidak berisik. Pencurian dilakukan malam hari, oleh warga se kampung. Ada yang bertugas mengecoh petugas wanayasa, ada yang menebang, ada yang mengangkut, dan ada yang mengepul.

Konon, pohon jati lingkaran besar laku hingga ratusan juta.

Maaf, ya, kalau ada warga Blora yang membaca blog ini. Saya dapat ceritanya belum diuji kebenarannya, sih.

Kira-kira 30 menit perjalanan, sampailah kami ke Gua Terawang.

Menurut publikasi pemerintah kabupaten Blora, Gua Terawang berusia sekitar sepuluh juta tahun. Dengan usia tersebut, kemungkinan menyimpan berbagai artefak prasejarah Blora.

Gua Terawang atau Gua Srawang merupakan objek wisata alam di Kecamatan Todanan, Desa Kedungwungu, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Gua ini terbentuk di daerah endapan batu gamping Pegunungan Kapur Utara. Terletak di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Blora, sekitar 35 kilometer arah barat Kota Blora.

Harga tiket masuk tidak mahal, hanya Rp 7.000,- per orang dan mobil Rp 10.000,-

Ada beberapa arena bermain anak-anak di antara pohon-pohon jati. Kami pun parkir dan menuruni anak tangga, kira-kira 15 meter ke mulut gua. Ada monyet-monyet yang loncat ke sana kemari, bahkan ada yang duduk di motor yang di parkir.

monkey in action
view ke tangga masuk dari dalam gua

Oh ya, sebelumnya kan kami googling dulu, seperti apa sih penampakan Gua Terawang ini?

Ini lah …

Gua Terawang, sumber: blorakab.go.id

Keren banget ada sinar-sinar yang menembus batu seperti itu.

Jalan setapak di dalam gua sebagian sudah disemen, tapi ada juga yang masih jalan tanah. Seluruhnya ada enam gua yang sambung menyambung. Rupanya yang menyebabkan ada sinar matahari masuk ke dalam gua, karena ada lubang terbuka alami di atas gua. Diameternya berbeda-beda. Jadinya di dalam gua tidak terlalu lembap juga.

stalagtit-stalagmit

Di bagian akhir, di gua ke enam, sudah ada campur tangan manusia dalam mengemas gua. Saya lihat ada beberapa undak-undak sepertinya untuk duduk-duduk. Di beberapa tempat sepertinya ada bentukan batu, sepintas sih bentukan alami. Tapi kalau dilihat dari dekat, ini mah, semen buatan manusia.

Ini lah hasil foto-foto kami. Jauh lah dengan foto-foto yang ada di internet. Mereka pakai kamera SLR yang bisa diatur exposure endebraynya, sedangkan kami pakai kamera HP yang jeprat-jepret saja. Sediaturnya pun tak banyak menolong …

https://www.instagram.com/p/Bq1vdfKA8a_/
foto memakai HP
https://www.instagram.com/p/BrB2EJhgMan/?utm_source=ig_web_copy_link
nganyari tongsis

Setelah puas melihat-lihat dalam gua, kami pun keluar lagi. Bila kita googling tentang Gua Terawang, sebetulnya banyak kisah tentang gua ini. Konon sejak zaman dulu bahkan di era penjajahan Belanda, gua ini sudah menjadi tujuan untuk tempat pertemuan.

Setelah keluar gua, kami sibuk membersihkan sepatu yang belepotan tanah, sebelum masuk lagi ke mobil. Ya ginilah, sok-sokan jelajah alam, tapi engga mau kotor. Sebetulnya selain Gua Terawang, ada gua-gua lain di sekitarnya, yaitu:  Gua Kuncir, Gua Manggah, Gua Gombak, Gua Bebek, hingga Gua Macan.

Tapi sudahlah … Kembali ke kota Blora saja. Perhitungan waktu, jam 11, sampai Blora pas jam makan siang.

Maka browsinglah saya, kuliner apa lagi di kota Blora, selain sate. Ternyata ada soto.

blora

Habis ini ke mana lagi ya? Sepertinya ziarah ke makam Eyang saya dari pihak Ibu bagus juga. Eyang Kakung dan eyang Putri dari pihak Ibu dimakamkan di makam Bergota Semarang. Dari Bandung bisa sewa bus ke Semarang. Lalu wisata sejarah dan kuliner di Semarang. Sip kan…

Sumber:

http://www.blorakab.go.id/

Bandung, 16 Agustus 2019

Also Read

Bagikan:

hani

Halo, saya Tri Wahyu Handayani (Hani), tinggal di Bandung. Pemerhati arsitektur dan pelestarian bangunan, main piano, menjahit, dan jalan-jalan. Kontak ke bee.hani@gmail.com

35 pemikiran pada “Jelajah Singkat ke Gua Terawang di Kabupaten Blora”

  1. Iya Kak, di Blora ada sate dan soto. Saya malah belum pernahnya ke Cepu. Naik kereta ke sana oke juga mungkin ya.

    Balas
    • Nah…pengen juga saya jelajah ke kota Cepu. Sepertinya Cepu lebih maju daripada Blora. Mungkin karena ada kilang minyak yah.
      Kami memang pulang ke Bandung, naik KA dari Cepu sih…
      Makasih ya sudah mampir

      Balas
  2. MasyaAllah petualangan yang seru Mbak. Saya yang asli Kudus malah belum pernah jalan-jalan ke Blora. Padahal lumayan dekat. Jadi kepingin memgunjungi gua terawang.

    Balas
    • Saya malah pengen juga wisata religi ke Kudus lho. Ke Masjid Kudus. Kulineran katanya engga ada daging sapi ya di Kudus, adanya daging kerbau. Benarkah?

      Balas
  3. Dua kali saya mampir Blora saat otewe mudik Madiun lewat jalan alternatif.
    Suka dengan penampakan kotanya yang tenang dan Sate Blora yang unik dan enak.
    Dulu kaget, ini sate makannya terpisah terus ada kuah. Tapi ternyata mantuuul. Tapi bukan di Sate Pak Teguh sih..asal nemu pokoknya
    Dan itu daftar harganya ya ampuuun…dari tahun berapa ya
    Oh ya, Gua Terawangnya keren bener..ada cahaya masuk begitu..bikin enggak lembab. Suka enggak nyaman kalau gua lembab kayak berasa sesak napasnya. Semoga lain waktu saat mampir Blora bisa ke sini juga

    Balas
    • Nah iya. Sate Blora dimakan di Blora memang beda ya. Dulu banget waktu di Jakarta, suka diajak bapak makan sate Blora di Megaria, eh apa namanya ya sekarang, Metropol? Pojokan Cikini-Diponegoro. Kayaknya beda deh…
      Ini pertama kali juga nih saja pakai jelajah-jelajah gua segala…
      Hehe…

      Balas
  4. Lengkap sekali perjalanannya. Urusan reliji dapat, kuliner macem-macem, ke area wisata tak pernah terlupa. Couple traveler idolaku, doakan kami menua seperti Mbak Hani dan Pak Didit ya, Amiin.

    Btw, soal orang Blora sih nggak tahu ya gimana pastinya. Tapi kalau urusan pencurian kayu jati itu hampir terjadi di beberapa wilayah yang memang ada perkebunan jati-nya. Di daerah Ngawi dan Saradan juga kok. Dan biasanya orang sekitar saja.

    Balas
    • Amiiin. Makasih lho, jadi idola segala. Lhah sempatnya sekarang jalan-jalan berduanya. Dulu kayaknya liburnya engga pernah sama, dan kayaknya suami engga ambil cuti, atau engga ada ide mau ke mana. Hehe…
      Kata pa Sinyo, ya memang pelaku pencurian penduduk sekitar aja sih, dilakukan ramai-ramai.

      Balas
  5. Wah guanya mirip gua Jomblangan di Jogja Bun, eksotik banget. Aku baru tau wisata Blora loh. Ternyata asik-asik ya…

    Balas
    • Belum pernah saya ke Gua Jomblangan di Jogja. Sepertinya banyak sih gua-gua seperti ini di Indonesia.
      Makasih sudah mampir…

      Balas
  6. Saya sama sekali belum pernah ke Blora. Tapi saya punya teman dari Blora. Kayaknya kapan – kapan bisa deh ke Gua ini. Gua terawang ya namanya. Kok tempatnya asyik banget.

    Hehehe

    Balas
    • Ini ke dua kalinya sih saya ke Blora. Zaman dulu banget pernah sama ayah ke sini. Penasaran sengaja dateng ke sini…

      Balas
  7. Ngiler sama Sate Kambingnya.. enak kah Mbak? sayang banget kok nggak pakai nasi hihi 😀 Semoga aku bisa icip langsung ke sana

    Balas
    • Haha…engga pakai nasi, soalnya baru banget sebelumnya udah makan Sate Ayam Pak Teguk pakai lontong. Takut gendut tea…
      Memang paling enak kulineran ya di tempat aslinya ya…

      Balas
  8. Gua Terawang ini beneran seperti kita menerawang ya hehe ibaratnya gitu. Sedapnya yang makan sate pake lontong. Btw aku pusing liat daftar harga satenya hahahaa..angka2nya begitu sih? Si monyet adem ayem nongkrong di motor ya. Gua Terawang di Blora ini sepi pengunjung sepertinya atau banyak yang belum tau? Aku pun belum pernah mampir di Blora, yang ada cuma lewat hehehe. Mantul, mbak Hani 🙂

    Balas
    • Sepertinya sepi, karena kami pagi-pagi ke sana. Kalau baca-baca di website sih sering ada acara juga di situ. Apalagi ada arena bermain anak juga.
      Ini nyengajain datang ke Blora malah. Haha…Penasaran ama tempat asal-usul bapak saya.

      Balas
  9. wahh serasa berada di flm-flm jaman dulu nih kalau berada di dalam goanya mbak. Apalagi goanya itu punya stalagtit dan stalagmit yang mengagumkan.

    btw makanannya bikin laper. hehe

    Balas
    • Enaknya jalan-jalan ya kulineran setempat sih. Icip-icip aja, engga ambil banyak, biar penasaran. Hehe…
      Iya nih…pertamakali jalan-jalan ke gua-gua…

      Balas
  10. Ih, seru banget mbak han jalan berduaan. Awet-awet ya kalian.

    Kalau bicara Blora, aku langsung ingat sama Pramoedya. Kayaknya aku harus ke Blora nih, biar bisa makan lesehan dan hunting foto di Goa yang kece banget 🙂

    Balas
    • Lhah…bukannya Darius juga sering jalan berduaan. Hehe…
      Iya, kami mampir juga kok ke rumah Pram. Sedang di renovasi sih, waktu kami ke sana.
      Ayuuu…mainkan, sepertinya masih banyak gua-gua yang lain, dan sepertinya setiap gua punya ciri khas sendiri.

      Balas
  11. Waaa ternyata mbak Hani nomaden juga nih sampai pernah tinggal di Beograd dan Bonn. Berapa lama dan dalam rangka apa waktu itu?

    Gua Terawang Blora ini mengingatkanku dengan Gua Jomblang yang ada di Jogja, mbak. Bedanya, tiket masuknya jauh lebih murah 😀

    Balas
    • Dalam rangka ikut ayah tugas sih pindah kemana-mana. Maklum anak tentara. Hehe…
      Nah…itu…ini gua pertama yang kami sambangi. Sepertinya tiap gua berbeda ya karakternya…

      Balas
  12. Wah sudah keliling ke banyak negara dan daerah ya Mba..keren pisan..guanya cantik sekali mana bersejarah pula ya jadi pengen ke sana, ada teman yang tinggal di blora bisa diinapin kalau piknik ke sana..

    Balas
    • Nah iya…keren tuh kalau ada teman yang tinggal di Blora. Jelajahnya bisa lebih jauh dan bisa ada informasi mana yang bagus atau seru. Ini sih sedapetnya aja mengisi waktu…

      Balas
  13. Sate Blora memang enak. Tetapi, saya belum pernah cobain langsung di kotanya. Kalau goanya masuk cahaya matahari begini jadi gak terkesan seram, ya. Berasa lembap gak, Mbak?

    Balas
  14. terharu saya khusus ke Blora cari akar yang tertinggal di kota itu..
    merasakan yang sama sih mbak, karena sama2 merantau dan sudah terpisah jauh dari kampung halaman yang udah nggak ada lagi saudara dekat..
    ke goa Terawang juga jadi bonus yang menyenangkan

    Balas
    • Iya nih saya penasaran. Haha…akhirnya ketemu makam ayah dr ayah. Kalau ayah dari ibu, sudah ketemu, ada di Semarang. Padahal, ayah-ibu, ayah-ibu mertua makamnya di Jakarta.

      Balas
  15. saya malah salah fokus di pecel blora nya, keren banget lho alasnya pakai daun jati. unik! masih sama-sama di Jawa Tengah, tapi kayaknya saya belum pernah ke sana. palingan nyicipin lontong tahu dan sate blora yang dijual di Semarang. hehe

    Balas
    • Nah itu dia…sengaja engga sarapan di hotel, karena ingin nyari yg khas. Btw…saya smp beli lho sambal pecelnya, bawa ke Bandung. Hehe…

      Balas
  16. Saya ga dapat jawaban jelas juga kalau tanya asal usul darah. Beda dengan suami yang jelas asal usulnya
    Kadang memang harus susah payah mencari sendiri dan kalau berjodoh akan ketemu.

    Balas
  17. Ping-balik: √Ziarah, Salah Satu Langkah Menelusuri Akar Keluarga

Tinggalkan komentar

DMCA.com Protection Status