Geowisata pulau-pulau berbatu di Belitung-Ketika film “Laskar Pelangi” hasil dari novel karya Andrea Hirata mulai tayang diikuti dengan sequelnya, pulau Belitung turut terkenal. Selama ini saya hanya tahu pulau Bangka-Belitung sebagai pulau penghasil timah. Di kemudian hari, tambang hasil bumi ini pun habis digali dan menyisakan lubang-lubang bekas tambang yang akhirnya menjadi danau.
Bongkah-bongkah Batu Granit
Akhir Agustus 2018 yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi pulau Belitung bersama rombongan dosen dari sebuah kampus di Bandung. Tahu sendiri, kan, tanda sudah pernah berkunjung ke pulau Belitung adalah foto-foto di pantainya yang bersih. Uniknya duo pulau Bangka-Belitung adalah adanya pantai-pantai berbatu berukuran besar. Pertanyaannya adalah, batu-batu granit tersebut seolah bermunculan dari dalam bumi.
Kemunculan batu-batu granit di kepulauan Bangka-Belitung dalam bongkah-bongkah raksasa memang unik. Secara geologi, batu-batu granit raksasa tersebut sebenarnya merupakan bagian dari suatu tubuh batuan beku yang menjadi batuan dasar Indonesia bagian Barat yang disebut batolit. Sebaran batu granit ini sebenarnya bukan hanya di Bangka Belitung saja, tetapi hingga ke Laut Cina Selatan termasuk sebagian Kalimantan bagian Barat. Informasi ini diperoleh dari para penyelam di sekitar pulau Belitung yang menyatakan bahwa tubir-tubir bawah laut terdiri dari lereng-lereng terjal batu granit yang menyambung antara satu pulau ke pulau lainnya.
Awalnya saya menduga batuan tersebut bermunculan karena ada gunung berapi di sekitar pulau Belitung kemudian meletus dan menyebarkan batu-batuan tersebut. Tapi, kan, tidak ada gunung berapi sekitarnya, ada juga gunung Anak Krakatau jauh di Timur. Ternyata dugaan saya salah, batu-batu bermunculan ke permukaan bumi bukan hanya dari letusan gunung berapi, tetapi bisa saja terjadi karena proses tektonik. Jadi oleh proses tektonik, batuan-batuan ini mengalami pengangkatan, bahkan beberapa mengalami pematahan dan peretakan. Akibatnya batu granit yang tadinya berasal jauh di bawah permukaan bumi, muncul ke permukaan bumi.
Hop-On Hop-Off Island Tour
Rencananya sesuai itinerary, kami akan berperahu dari pulau ke pulau kecil yang ada di perairan pulau Belitung tersebut. Wisata mampir-mampir ke pulau-pulau berbatu di Belitung seperti ini biasa disebut hop-on hop-off.
Titik awal keberangkatan kami adalah dari kota Tanjung Pandan, tempat kami menginap.
Kami sudah berpesan ke supir mobil sewaan untuk menjemput pada pukul 08:00 dan mengantarkan ke pantai Tanjung Kelayang.
Dalam perjalanan menuju pantai, kami mampir ke sebuah kantin untuk memesan bekal makan siang nanti. Saran supir travel, sebaiknya kami membawa sendiri makan siang, karena di pulau-pulau yang kami kunjungi, kemungkinan warung makan terbatas dan harganya mahal.
Begitu turun dari mobil kami langsung bergegas ke pantai dan berfoto-foto di antara batu-batu yang bertebaran di pantai. Batu-batu raksasa tersebut seolah memanggil kami untuk diloncati dan dinaiki. Titus, salah seorang dosen muda yang mengatur itinerary mengingatkan untuk segera berkumpul karena perahu yang akan membawa kami sudah merapat.
Pantai Tanjung Kelayang
Sebelum berangkat awak kapal mengingatkan kami untuk menyewa pelampung, masing-masing Rp. 20.000,-. Kios penyewaan pelampung juga menyewakan alat snorkeling bagi yang berminat, dan penjualan baju ala kadarnya.
Karena saya tidak yakin dengan kondisi di atas kapal, saya tak ikut menyewa alat snorkeling. Takutnya saya kesulitan membilas dan tak nyaman dalam keadaan basah-basah setelah berenang dan snorkeling.
Pulau Burung (Batu Garuda)
Setelah sekian menit perjalanan, sampailah kami di suatu titik di mana kami bisa memandang sebuah pulau yang mirip sekali dengan bentuk kepala burung. Pulau ini dinamakan pulau Burung atau Batu Garuda.
Kalau mempelajari sejarah munculnya batu-batu granit ke permukaan, ternyata masih ada proses alam lanjutan yang membentuk batu-batu tersebut mirip ini dan itu. Asal tahu saja, prosesnya bisa ribuan tahun, lho. Mungkin akibat gerusan air pasang, ombak badai, panas terik, batu-batu tersebut mengalami deformasi. Siapa tahu, di masa datang, kepala burung jadi kepala kura-kura…
Pulau Batu Berlayar
Lepas dari berhenti sejenak di spot tempat kita mendapatkan view foto kepala burung, perjalanan dilanjutkan ke spot berikutnya. Kali ini perahu merapat, penumpang boleh turun sejenak. Ada beberapa batu besar berdiri tegak yang dari kejauhan mirip layar, oleh sebab itu dinamakan pulau Batu Berlayar. Setelah penumpang turun, perahu pun menjauh dari pantai, dan sepakat untuk menjemput kembali. Setiap kapal memang tidak bisa berlama-lama merapat di pantai, untuk memberi kesempatan perahu berikutnya untuk menurunkan penumpang.
Hmm…pulau jadi penuh nih. Setiap mau foto, ada saja grup lain yang sedang berfoto juga.
Salmon, Titus, dan Yoga, para bapak dosen muda bisa aja tataekan ke batu, lalu foto sok jagoan. Lhah, saya berdua ibu Astuti yang lewat paruh baya begini, bisanya foto di tempat aman. Setelah difoto, ternyata backgroundnya enggak banget.
Pulau Pasir
Lepas dari pulau Batu Berlayar, perjalanan dilanjutkan mampir ke pulau Pasir. Pulau Pasir sebetulnya bukan sebuah pulau berpenghuni. Dia merupakan karang gosong berpasir putih yang timbul saat laut surut. Bila laut pasang, maka pulau tersebut hilang dari pemandangan. Pulau yang luasnya tak sampai setengah lapangan sepak bola tersebut ramai pengunjung. Lagi-lagi wisatawan rombongan harus bersabar untuk bergantian berfoto-ria.
hai Patrick (teman Spongebob) asli
Pulau Lengkuas
Yuk, lanjut.
Titus menelepon awak kapal yang menanti sekitar 800 m di laut lepas, untuk menjemput kami. Perjalanan pun kami lanjutkan ke spot berikutnya. Dari kejauhan tampak menara tinggi, sebuah mercusuar berdiri tegak, dan kami merapat ke sana.
Indah sekali.
Baru sekarang saya melihat mercu suar dari dekat. Bisa naik ke atas, enggak, ya?
Angan-angan tersebut, kalau pun memungkinkan harus berpikir 1000 kali. Memangnya mudah menaiki tangga mercusuar?
[metaslider id=”2989″]
suasana di area mercusuar
Kami merapat ke pulau Lengkuas, juga salah satu pulau-pulau berbatu di Belitung, bertepatan dengan waktu lohor. Saatnya istirahat shalat dan makan siang, menikmati perbekalan makan siang berupa nasi kotak kami bawa ke darat.
Sesuai perkiraan, tak banyak menu yang ditawarkan di warung setempat. Adanya pop mie, pempek, minuman ringan, dan kelapa muda.
Kami celingukan mencari meja kosong, pemilik warung pun mempersilahkan menempati area ke beberapa meja di dalam. Wah, bagaimana ini, padahal kami, kan, membawa makanan sendiri.
Yalah, kami pesan kelapa muda saja beberapa, supaya tidak terkesan gratis-gratis amat menempati meja makan di warung tersebut.
Sesudah makan siang, kami pun mencari tempat sholat. Kata Mas-mas pelayan warung, mushola ada di mercusuar. Kami bergegas menuju mushola, apalagi hujan mulai turun.
Asal Usul Nama Pulau Lengkuas
Seorang bapak mengarahkan kami untuk menuju tempat wudhu atau mau ke toilet terlebih dahulu. Keran wudhu hanya satu.
Sepertinya pulau ini tak terlalu disiapkan untuk menerima banyak wisatawan Muslim. Dalam bayangan saya, harusnya keran wudhu lebih banyak, dan mushola dipisahkan untuk pria dan wanita.
Setelah selesai sholat, saya berniat ke toilet dan menanyakan kebersihannya ke seorang teman.
“Asin, Bu,” katanya.
“Apanya yang asin?” saya kurang mengerti maksudnya.
“Iya, tadi, kan, saya maunya sekalian wudhu. Ternyata airnya asin” sambungnya lagi.
“Yawda, engga apa-apa. Nanti kalau diguyur, hitung-hitung desinfektan lah. Asam kena air garam,” sambung saya becanda.
Kami pun tertawa-tawa, membayangkan yang diguyur apa.
Hujan masih deras mengguyur, saya berbincang dengan bapak penjaga mercusuar.
Di dinding bawah mercusuar terpampang tahun didirikannya, yaitu tahun 1882 oleh L.I.Enthoven & co.
Menurut bapak Budi, yang merupakan pegawai Direktorat Perhubungan, mercusuar tersebut masih berfungsi. Hanya ada 2 (dua) orang pegawai yang sehari-hari bertugas mengawasi lampu mercusuar.
Pulau ini kecil saja, sepengamatan saya tidak ada tanaman lengkuas (laos) yang menunjukkan karakter pulau. Sebelumnya, kan, pulau Burung, ada kepala burung. Pulau Berlayar, ada batu segede gaban, berbentuk layar.
Ternyata menurut bapak Budi, nama lengkuas bukan berarti di pulau tersebut ada kebun lengkuas, atau pulau ini penghasil lengkuas. Tetapi dari pelafalan penduduk setempat untuk nama bangunan.
“Dari lang haus, Bu, rumah panjang, bangunan yang memanjang ini, sebutan untuk tempat tinggal dan menara yang tinggi. Long house, lang haus, longkhos, longkos, jadi lengkoas”.
Pantas saja tidak ada tanda-tanda menunjukkan adanya tanaman lengkuas.
Ketika saya menyinggung tentang kran wudhu yang minim, bapak Budi menjelaskan bahwa di pulau Lengkuas tidak ada sumber air. Satu-satunya sumber air tawar bersih berasal dari hujan. Di depan area mercusuar tampak drum-drum penampungan air hujan kemudian difilter lalu ditampung di jerigen-jerigen kecil dan disalurkan ke keran untuk keperluan wudhu tadi.
Pantas keran hanya satu, karena air tawar harus sangat dihemat.
Sedangkan bak-bak di kamar mandi cukuplah diisi dengan air laut.
Penjara Jongkok dan Penghuni Lain
Mengingat bahwa mercusuar dibangun tahun 1882 oleh pemerintah Hindia Belanda, maka yang langsung terpikir adalah sebangsa dari dunia lain.
“Di sini ada penampakan, enggak, Pak?”, saya sok-sokan tanya segala. Memangnya kalau sungguhan tampak, saya mau kenalan?
“Wah, Bu, kalau ada yang bisa lihat, macem-macem bentuknya. Ini kan penjara jongkok, Bu,” kata bapak Budi sambil menunjuk ke sebuah bangunan di belakang kami.
“Itu zaman dulunya untuk menyiksa tawanan. Kan ada perompak, atau penjahat yang ditangkap Belanda. Di luar sana, ada pemakaman orang Belanda yang meninggal di sini,” sambungnya lagi.
Saya pun melirik ke bangunan yang dimaksud. Sepertinya, dulu adalah sebuah rumah panggung, kemudian sekarang bagian bawahnya ditutup. Terbayang, deh, orang disiksa disuruh jongkok di bawah rumah. Kayak apa, tuh, rasanya?
Spot Snorkeling
Waktu menunjukkan pukul 14 ketika kami meninggalkan pulau Lengkuas, salah satu pulau-pulau berbatu di Belitung. Masih ada spot lagi yang akan kami kunjungi, yaitu spot snorkeling. Waktunya untuk snorkeling tidak lama, karena ada pengaruh arus laut dan masih ada satu pulau lagi yang akan kami singgahi.
Dari permukaan air laut yang bening saja sudah tampak keindahan karang dan ikan-ikan berseliweran di antaranya. Karangnya berbentuk bunga, tetapi untuk spot snorkeling, awak perahu mengarahkan ke tempat lain. Sepertinya ada kekhawatiran bila karang-karang tersebut akan terinjak. Seperti kita ketahui, karang sangat peka dengan gangguan lingkungan. Walaupun seolah kuat, tetapi rapuh bila terinjak dan polusi dari lingkungan.
Pulau Kelayang
Dari rangkaian pulau-pulau berbatu di Belitung yang kami kunjungi secara cepat, pulau Kelayang merupakan spot terakhir hop-on hop-off tour kali ini. Sepertinya jaraknya tak terlalu jauh dari kota Tanjung Pandan dan pantai Tanjung Kelayang tempat kami berangkat tadi pagi.
Lagi-lagi kami merapat ke pulau berbatu, yang lebih luas daripada pulau Lengkuas. Ada beberapa jongko dan bangku istirahat untuk sekedar menikmati segarnya air kelapa muda langsung dari buahnya.
Dari salah satu spot pantai kami bisa melihat pulau Burung dari sisi yang berbeda. Foto-foto lagi, deh. Batu-batu ini entah berapa jumlahnya, setiap sudut tampilan batunya seolah berbeda.
Di belakang deretan warung kecil tersebut ada hutan dan penunjuk arah ke Gua Kelayang. Kami pun masuk ke hutan dan mengikuti penunjuk arah.
Kira-kira 100 m dan harus turun ke bawah, kami tiba di sebuah gua yang tembus ke pantai. Bongkahan batu setinggi rumah dan membentuk celah membuat decak kagum siapa pun yang melihatnya.
Air laut yang muncul di cerukan batu bening dan membuat penasaran untuk turun ke bawah menikmati kesegarannya.
Hari sudah semakin sore, sudah waktunya kami kembali ke pantai Tanjung Kelayang. Beberapa dari kami juga sudah puas berenang atau pun sekedar berendam di air laut yang bening.
Kami pun menaiki kapal kembali ke pantai, dan teman-teman yang tadi bermain basah-basahan mencari kamar mandi untuk bilas. Atau sekedar mengganti baju yang basah.
Pantai Tanjung Tinggi
Ketika kami sudah menaiki mobil travel, Titus menawarkan pilihan untuk menikmati sun set. Supir pun memberi saran untuk menuju pantai Tanjung Tinggi.
Pantai ini rupanya menjadi salah satu spot lokasi shooting film “Laskar Pelangi”.
Begitulah, sebuah lokasi bisa terkenal karena dipakai sebagai lokasi shooting film. Seperti halnya area di sekitas gunung Bromo, untuk lokasi film “Pasir Berbisik”. Atau pulau Bali, untuk berbagai film.
Sesampainya di pantai, ada penanda berupa plakat yang mengingatkan bahwa dulu dipakai sebagai lokasi shooting film. Yang menarik ada sebuah batu, kira-kira setinggi bangunan dua lantai, bernama batu Pepaya. Bentuknya memang mirip buah pepaya dalam keadaan berdiri, sih.
Kami menuju tepi pantai, naik dan agak meloncati berbagai batu, untuk akhirnya tiba di sebuah spot yang berada di atas air. Saya dan beberapa teman duduk-duduk saja di situ menunggu matahari terbenam. Apa daya, momennya tak sesuai harapan, karena langit mendung, sehingga matahari tertutup awan.
Ya sudah … yuk ah, kembali ke mobil lalu pulang ke hotel.
Hari pun mulai temaram gelap, masih cukup waktu untuk mencari mobil travel di parkiran, sebelum akhirnya benar-benar gelap.
Cukuplah hari ini, seharian jelajah pulau-pulau berbatu di Belitung.
Baru tahu istilah hop on hop. Jd tahu juga asal muasal batu granit yg mempesona di belitung
Ditunggu cerita berikutnya ya Bund 🙂
Iya mbak Rina. Adalagi hop-on hop-off city tour. Ini kalau kita naik bis mengunjungi obyek wisata mampir-mampir gitu.
Nanti yaa…cerita yang lain mau ditulis. Makasih udah mampir…
Jadi inget film Laskar Pelangi dan ini salah satu wishlist yang belum tercapai. Berharap dapat berlibur ke Belitung.
Bagus banget. Lautnya bening. Semoga bisa yaa wisata ke Belitung…
Cantik ya wisata belitung, pingin
Ayuuuk…Semoga bisa ke sana…
Penginnnn. Mbak Hani jan membuatku mupeng. Aku dah lama banget ngidam ke sana. Btw boleh donk, Mbak. Bikin itinerary-nya. Sekalian sm cost-nya, donk. Biar gampang bikin proposal. Hehehe
Mbak Hani, Ya ampuun..seharian melihat batu tapi seruuuuu…
Fotonya keren, tempatnya meski sudah viral sepertinya masih terjaga yaa.
Jadi kapan bisa ke sana saya ya? Ah, semoga segera
Saya suka pantai2 di Belitung, cantik & bersih. Apalagi pantai laskar pelangi dg batu2 besarnya..klo musim rambutan kita boleh ambil sendiri dipohon warga, orang sana bilang ga ada yg mau beli soalnya. Ga seperti manggis.
Hehe aku kok jadi merinding baca yang penjara jongkok ya Bun? Asa gimana gitu pas lagi wisata tetiba ngelihat yang tak kasat mata, hii.. jauh-jauh deh. By the way fotonya keren-keren!
Aku bener2 coba ikut melafalkan “lang haus” lho, hahaa… Ceritanya seru Bunda… Oiya itu snorkelingnya untuk anak usia 5 tahun bisa gak ya? Pengen ajak anak ke sana…
Bunda Hani ngajar di mana? Keren ikh. Dulu saya bercita-cita menjadi dosen juga. Tapi sementara ini ditunda dulu karena lagi fokus ke anak. Doakan ya nanti bisa jadi dosen kayak Bunda Hani. MasyAllah ilmu Bunda Hani pasti banyak banget 😍 dan semoga juga suatu hari nanti bisa jalan-jalan ke belitung juga. Aaaminnn
Oo, jadi ini tho yang jadi setting film Laskar Pelangi. Wah, keren yaa. Rasanya jadi pingin ke sana. Sekilas tampilan pantainya hampir sama dengan Lampung. Hehe, namanya juga masih satu pulau.
Liat batu tapi keren2 begitu 🙂 Duh, siapa pun pasti mupeng kalau liat pantai2 di Belitung yg kece itu. Saya mimpi dulu, ahh. Smg kapan2 bs ke sono, aamiin.
Btw, jadi tau nih istilah hop on hop off. Makasih atas kisahnya ya, Bund 🙂
Menarik banget ya tempatnya Masih terjaga,apalagi yang buat lokasi syuting laskar pelangi.
Makasih mbak informasinya, semoga suatu saat bisa pergi ke sana
Keren banget cantiknya, jadi pingin deh bisa jalan-jalan ke sana.
Wah wisata Belitung seharian ke Pantai, MashaAllah indah sekali. Dan ternyata begitu cerita asal muasal nama Pulau Lengkuas. Bunda Hani seru sekali menceritakannya dalam tulisan ini 🙂
batuannya begitu eksotis ya, suka lihatnya
Bun, pantai di bintan di daerah saya juga banyak bebatuan yg begitu
Duhh kok ngg pernah terpikir yaa
Pengen banget ke siniiiii…
Tapi suami bilang, “apa yang menarik selain pantainya laskar pelangi?”
Ternyata banyak juga. Mau promo ke suami ah, biar diajakin ke sini. Hehehe..
Tau ada bu Tri gini, dulu2 ngga perlu susah cari artikel ya buat Warta Pariwisata-nya P2Par. Minta bantuan bu Tri aja nulis hehehe…. Mantap dan lanjutkan bu.
Tempat ini memang Tidak pernah membosankan untuk didatangi.
Masih mimpi nih buat bisa traveling ke sini bareng keluarga, foto-fotonya udah auto instagramable ini.
Aku Belitung sekitar lima tahun lalu. Sepertinya sekarang tambah cantik deh Mbak. Apa perasaanku saja ya karena pengen banget balik lagi 🙂
Aaakkkk, salah satu wishlist saya yang belum bisa terwujud, semoga disegerakan 🙂
Indahnyaaa. Pengen banget ke Belitung. Entah kapan bisa ke sana. Hehe.
Moga pas cuaca udah membaik ada rezeki ke sana 😀
Bagus pemandangannya. Batu2nya juga kokoh ya. Tau Belitung jg dr film Laskar Pelangi hehe
Ya Allah. Subhanallah. Itu tempatnya keceh badai mbak. Kapan saya bsa k tempat kyak gtu. Kampungnya penulis idola saya. andrea Hirata. Batu-batunya itu lo, gak beda sma yg di tipi2
Cantik dan eksotis ya… Gugusan batuan membentuk formasi yang memesona. Kapan ya bisa ke belitung..
Meski udah pernah ke Belitong dan Pulau Lengkuas, aku baru ngeh asal namanya dari penyebutan Long House. :))
Salam kenal, Mba.
Aduh pingin banget bisa ke Belitung! Aku emang udah lama pingin bisa foto-foto di pantai-pantai berbatunya. Semoga suatu hari bisa ke sana! In the mean time, aku simpen dulu nama-nama pantai yang ada di post ini, hehe. Thank you for sharing Mbak!
Wah, seru dan lengkap sekali penjelasan hopping islandnya.
Tapi ibu gak ke Pulau Babi Kecil ya? Bagus juga lho padahal oantainya. Membaca tulisan ibu ini saya jadi mengingat kembali perjalanan waktu ke Belitung.
Terima kasih sudah bercerita ya, bu 🙂
Ah, pantainya indah banget.
Ciri khas pantai di Belitung emang di batu-batu raksasanya itu ya bu.
Btw, kenalin, saya Dini 🙂
Masya Allah…cantik sekali bongkahan bebatuannya itu. Saya kalau ke pantai tidak begitu suka nyemplung di airnya, err anuuu…gak bisa berenang soalnya. Jadi ya sukanya menikmati pemandangannya.