Saya pernah menuliskan beberapa artikel tentang kelebihan Generasi Z, suatu generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga tahun 2012. Pembagian generasi ini mengacu pada pendapat Karl Manheim, bahwa setiap generasi membawa karakternya masing-masing yang bisa menjadi ciri generasi tersebut.
Manheim mengungkapkan generasi muda dengan tua itu memiliki gap atau jarak pembeda, sehingga generasi muda mengalami kesulitan dalam bersosialisasi secara sempurna.
Generasi Z, rentang umurnya antara 11 sampai 28 tahun, ialah sesuatu generasi di usia remaja, mulai kuliah, atau bekerja.
Sebaliknya generasi Millenial yang masih kerap disebut- sebut, merupakan generasi yang lahir antara tahun 1981 sampai tahun 1994. Berarti, generasi Millenial tersebut di tahun 2023 ini telah berumur antara 29 hingga 42 tahun.
Keuntungan Generasi Z
Banyak nama yang disematkan pada generasi Z ini, antara lain iGen (iGeneration), generasi internet, Gen Tech, Plurals, dan Digital Natives.
Disebut generasi internet karena sejak lahir generasi ini sudah mengenal internet. Berbeda dengan saya, yang disering disebut suami sebagai generasi mesin tik.
Anak-anak sekarang mungkin belum pernah melihat benda yang bernama mesin tik ini.
Keuntungan generasi yang telah mengenal internet sejak lahir, membuat mereka tak bisa lepas dari internet tersebut. Segalanya serba cepat dan instan. Hal sehari-hari yang dulu harus diupayakan terlebih dahulu untuk mendapatkan, sekarang asal ada uangnya bisa langsung hadir di depan mata.
Contohnya, dulu kalau mau makan, generasi dulu diajari menyiapkan makanan dan memasak. Zaman sekarang generasi Z ini, bisa dengan cepat pesan melalui aplikasi kemudian dalam waktu cepat sudah tiba depan pintu rumah.
Hal-hal praktis sudah mendarah daging, semuanya serba sat-set bat-bet.
Pandemi beberapa waktu yang lalu menempatkan generasi pada posisi jarang berkomunikasi dengan orang, karena segalanya dilaksanakan secara online.
Bagi generasi di atasnya, kegamangan berkomunikasi ini menjadi kendala tersendiri, karena gen Z lalu dianggap tidak punya sopan santun.
Ada Apa Dengan Stroberi?
Walaupun stroberi bukan tanaman asli Indonesia, tetapi di beberapa daerah pegunungan, stroberi tumbuh dan cukup favorit sebagai buah yang kaya vitamin A dan C.
Pesona stroberi karena warnanya merah cerah, aromanya khas, dan rasanya pun manis agak asam tapi segar. Di sisi lain, stroberi ternyata juga rapuh, harus disimpan di lemari es dan wadah kaca, agar awet. Sebaiknya pun kalau akan disimpan tidak perlu dicuci, nanti saja menjelang akan dikonsumsi baru dicuci.
Kekhasan lain dari buah stroberi, bentuknya yang khas, lonjong dan berbintik-bintik, sering dibuat menjadi asesoris. Misalnya bantal, tas, aneka hiasan dan motif.
Lalu, apa kaitannya stroberi menjadi julukan untuk suatu generasi?
Beberapa waktu yang lalu ramai dishare di media sosial, penggalan curhatan seseorang berusia 21 tahun yang katanya baru kuliah 1 semester tetapi sudah merasa berat banget hidup tuh…
Saya belum mencari tahu lebih jauh, yang bersangkutan cowok atau cewek yah.
Sesudah itu pun ramai pembahasan soal mental health.
Dilanjutkan pula dengan berbagai laporan penelitian tentang maraknya kasus bunuh diri, tetapi bukan terjadi pada usia remaja (a.k.a generasi Z) saja. Saya sepertinya harus menggali lebih dalam lagi, prosentase masalah kesehatan mental pada remaja dan dewasa muda ini.
Kaitannya antara generasi muda dengan stroberi ini untuk menggambarkan fenomena generasi muda saat ini memiliki banyak ide cemerlang dan kreativitas yang tinggi namun ketika diberi sedikit tekanan mereka menjadi mudah hancur dan lembek layaknya stroberi.
Prof. Rhenald Kasali seorang guru besar dan penulis buku, dalam bukunya berjudul “Strawberry Generation”, mengatakan bahwa generasi stroberi merupakan generasi yang memiliki banyak ide cemerlang dan kreativitas yang tinggi. Namun sayangnya, mereka sangat mudah menyerah, mudah terluka, lamban, egois, dan pesimis terhadap masa depan.
Istilah generasi stroberi pertama kali muncul di Taiwan pada tahun 1981 ketika anak-anak usia remaja dan dewasa awal mengalami kesulitan saat menghadapi tekanan sosial. Hal ini sangat berbeda dengan orang tua mereka ketika masih muda dulu.
Menurut Prof Rhenald Kasali, ada beberapa faktor pemicu munculnya generasi stroberi diantaranya adalah:
Pola asuh orang tua
Pola pengasuhan orang tua kepada anak mereka memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak terutama dalam pembentukan karakter anak.
Sering kita lihat ya dalam kehidupan sehari-hari, orang tua mengantarkan anak ketika akan tes perguruan tinggi. Bahkan ramai-ramai menunggu di lapangan parkir hingga si anak selesai tes. Itu dulu zaman belum tes online seperti sekarang.
Sampai sekarang pun orang tua masih ngerecokin pilihan anak, mau kuliah di mana, kerja apa bahkan mencarikan pekerjaan, sampai pilihan pasangan seperti apa.
Jika orang tua terlalu memanjakan, overprotektif dan terus-terusan mencampuri apa yang sedang dihadapi oleh sang anak, siap-siap saja anak akan menjadi sangat tergantung kepada orang tuanya dan sulit memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Label yang diberikan orang tua kepada anak
Pemicu munculnya generasi stroberi adalah label atau panggilan yang diberikan oleh orang tua kepada anak mereka. Kata-kata tidak bisa dianggap sepele apalagi jika diucapkan berulang kali baik yang berkonotasi positif maupun negatif.
Misalnya ketika orang tua menyebut anak mereka pemalas, lamban, tidak becus, sulit diatur, dan sebagainya tentu akan berpengaruh pada pola pikir anak di kemudian hari. Mereka akan merasa kurang percaya diri dan enggan memperjuangkan apa yang mereka inginkan karena percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang tuanya.
Demikian juga pelabelan yang bermakna positif seperti memanggil putri, anak terpintar, anak terhebat, dan lain-lain akan membuat anak cenderung besar kepala dan merasa dirinya selalu benar.
Tak jarang, label positif yang satu ini juga bisa membuat anak terlalu percaya diri dan menjadi egois.
Bukan tak jarang, anak tidak diajari untuk bersikap sportif. Bahwa sesekali kalah dalam hidup tidak apa-apa. Harus ada semangat untuk bangkit kembali.
Mendiagnosis sendiri tanpa pakar
Kemajuan teknologi saat ini membuat masyarakat semakin mudah dalam mendapatkan informasi terkini. Namun sayangnya, kemudahan ini tidak dibarengi dengan literasi yang memadai, sehingga banyak generasi stroberi yang menelan mentah-mentah setiap informasi yang mereka dapatkan.
Misalnya, jika sesuatu terjadi pada mereka. Mereka cenderung bertanya langsung ke Google, Chat GPT AI, atau netizen di media sosial.
Contohnya pada ilustrasi tangkapan layar di atas. Seseorang berusia 21 tahun, merasa tertekan dan perlu healing, sampai mau cuti kuliah dulu saja.
Memang sih kita tidak bisa abai dengan kesehatan mental seseorang, harus ada pendampingan dan teman untuk berbagi. Tapi ya kalik, dikasih tugas kuliah sama dosen saja sudah perlu healing sampai cuti kuliah.
Sampai-sampai seliweran julukan buat Generasi Z ini sebagai Generasi si Paling Healing…
Penutup
Menilik dari urutan generasi ke generasi berikutnya. Ada beberapa artikel yang menuliskan, bahwa sebetulnya dulu tuh ya, Generasi Baby Boomers juga Generasi Stroberi pada masanya.
Ketika mereka punya anak, mereka pun mencap anak-anak mereka, sebagai generasi stroberi, menye-menye, engga se-strong Ayah-Bundanya.
Begitu seterusnya.
Generasi Z, merupakan anak-anak dari orang tua yang sedang pada puncak karier, yang mungkin dulunya memberikan segalanya untuk si Gen Z sejak kecil.
Kemudahan finansial, kehidupan ekonomi yang lebih baik, membuat orang tua cenderung memanjakan Gen Z ini. Bahkan ketika baru lahir kan sudah terpapar gadget.
Hayo, siapa yang kayak gini…
Perlu perhatian dari para orang tua Generasi Z ini bahwa hidup masa depan engga mudah, perlu perjuangan terus menerus. Menurut Rhenald Kasali, anak-anak harus dididik untuk terbiasa menghadapi tantangan, bukan menghindarinya.
Memanjakan anak boleh saja, tetapi sebaiknya tidak berlebihan, sehingga terkesan sedikit-sedikit dibantu orang tua.
Semoga bermanfaat.
Jleb banget nih mbak, PR banget bagi orangtua agar anak-anak bisa menjadi generasi unggul yang tidak mudah menyerah sekaligus kreatif, tantangan menjadi orang tua pun semakin banyak, sayangnya tidak ada sekolah menjadi orang tua
Betul, menurut saya generasi z itu daya tahan daya juang kurang, mudah menyerah, dan maunya instan
Hihihi generasi mesin tik
Boleh juga tuh penamaan nya
Tapi emang beda banget pola asuh nya
Dulu, mana pernah ibu saya ngebantuin tugas anak (harus bawa kertas, kain apalah apalah)
Lha pas anak saya (dst) ortu ikut repot bantuin tugas anaknya
Beberapa waktu yang lalu saya juga menonton podcast nya Pak Rheinald ini yang membahas generasi strawberry ini. Emang ya anak-anak jaman sekarang maunya serba mudah. Di kasih tantangan dikit udah nyerah. Dikit-dikit healing, dikit-dikit mental health. Haha..
Ini tantangan kita sebagai orang tua. Kita harus bisa memotivasi mereka agar bisa survive dan mampu mencari solusi untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Nggak lembek gitu.
Fenomena gen stroberi yang disematkan pada gen z sempat dibahas sama prof Rhenald Khasali dan memang cukup penting untuk dipecahkan.
Kalau dipikir² unik jadinya nama generasi, apalagi udah bawa nama kuliner, dari yang sandwich hingga stroberi.
Semoga apapun generasinya, khususnya stroberi ini bisa lebih fighting ya, jadi gak melumer seperti stroberi
Saya sebagai ortu kena reminder juga nih, butuh kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya agar lebih bijak untuk menyeimbangkan antara internet dan kehidupan sosial masyarakatnya ya.
Reminder buat saya nih yang punya anak 2 generasi Z…Berdasarkan pengalaman memang ada ciri-ciri yang disebutkan di generasi stroberi saya temui..tapi balik lagi tergantung pengasuhan. Semoga saya termasuk orang tua yang bisa membawa anak-anak siap menghadapi tantangan di masa depan.
Setiap generasi memiliki tantangan dan perubahan sosial yang unik. Generasi Z, misalnya, tumbuh dalam era digital yang berkembang pesat, di mana teknologi informasi dan media sosial memiliki peran besar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi, belajar, dan memproses informasi. Namun, menurut saya nih, tidak tepat untuk menggeneralisasi karakteristik mereka secara negatif atau menyebut mereka sebagai “stroberi nan rapuh” secara keseluruhan.
Memang bener banget, sebagai ortu perlu hati2 dan mempertimbangkan dampak ke depan dari ucapan yang dilontarkan kepada anak2nya…memang secara psikologis anak2 yg mendapat ucapan2 bernada kasar akan mempengaruhi tumbuh kembangnya sejak anak2 sampai dewasa.
Agak lucu pas baca capture mbak akan generasi Z yang curhat di medsos. Dulu saya pas ajukan skripsi sering banget di-PHP in dosen namun pantang menyerah. Keponakan saya generasi Z dan kaget juga ketika tahu pola pikirnya. Kita sebagai generasi milenial harus berusaha beradaptasi dalam menyikapi perilaku genZ
Saya termasuk ini, meskipun di tahun ujung 95. Tapi memang pola asuh anak harus diperhatikan di segala generasi. Sekarang pun saya sudah ada satu anak dan menjadi orang tua itu tak ada yang mudah.