Sejak kuliah kemudian menikah, saya menetap di Bandung. Orang tua saya di Jakarta, mertua di Bandung, membuat keluarga kami tidak pernah mempunyai pengalaman mudik. Walaupun ayah dari Blora dan ibu Purwodadi, mereka pun seolah kehilangan jejak leluhur. Begitu kakek dari pihak ibu wafat, nenek pun diboyong ke Jakarta. Sedangkan kakek dari pihak ayah, sudah lama wafat ketika saya kecil. Hanya sekali dua kami diajak ke Blora, kota kelahiran ayah. Itu pun bukan dalam rangka memilih mudik. Sebuah headline koran Pikiran Rakyat, Jumat, 20 Maret 2020 menuliskan Banyak Orang Mudik – DPRD Usulkan Lockdown. Terlihat beberapa hari ini, akibat CoViD-19 tampak kecenderungan warga kota memilih mudik lebih awal.
Dampak CoViD-19
CoViD-19 telah mengubah tatanan seluruh warga dunia. Dikisahkan dalam sejarah tentang wabah yang memakan korban jiwa hingga jutaan jiwa. Bahkan di zaman Rasulullah pun pernah ada wabah dan langkah-langkah menghadapinya. Ternyata kita masih tergagap mengambil keputusan walaupun sudah tahu ada CoVidD-19.
Akibat CoViD-19 yang penyebarannya melalui droplet menempel di area sekitar kita, mengubah tata cara manusia bersalaman. Sebagai manusia, kita mengurangi bersentuhan, tidak berjabatan tangan, harus menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Hampir semua negara mengatur supaya orang harus berdiam di rumah.
Berbagai istilah baru bermuculan, sehingga kita pun harus banyak belajar. Apa itu lock down, WFH (work from home), PJJ (pembelajaran jarak jauh), ODP (orang dalam pengamatan), PDP (pasien dalam pengawasan), dan masih banyak lagi.
Sekolah dan perguruan tinggi melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring (on line). Karyawan diminta bekerja dari rumah (work from home). Perusahaan melakukan remote working. Korbannya pun meningkat dari hari ke hari. Disatu sisi yang sakit meningkat, tetapi di sisi lain, orang-orang memilih mudik daripada menunggu di kota.
CoViD-19 Sang Pencabut Nyawa
Ketika korban pertama akibat CoViD-19 wafat, orang tak terlalu memperhatikan. Mungkin sama seperti saat melihat berita kematian di koran lokal. Biasa saja. Kecuali mungkin, yang meninggal kerabat atau orang terdekat.
Ketika artikel ini saya tulis, sudah 1046 ribu terpapar virus, 46 sembuh, dan 87 wafat di Indonesia. Setiap hari lebih dari 10 warga meregang nyawa di seluruh Indonesia.
Mirisnya lagi perjalanan penyakitnya, sejak terpapar, menunjukkan gejala, sakit hingga wafat, hanya 14 hari. Banyak artikel yang menjelaskan, kalaupun sembuh, paru-paru sudah rusak, indra penciuman dan pencecap terganggu. Virus ini jahat banget booo…
Beberapa kronologi seliweran di media sosial tentang dokter, temannya teman, somebody, perjalanan sakitnya. Betapa mereka berubah status dari PDP (pasien dalam pengawasan) menjadi positif CoViD-19 hanya dalam hitungan hari. Bahkan hasil swab test belum keluar, pasien keburu wafat.
Saya baru tahu, begitu seseorang dinyatakan PDP dan dibawa ke rumah sakit, maka putus hubungannya dengan keluarga. SOP berlaku serta merta. Semua harus menjaga jarak. Petugas kesehatan yang merawat pun dilengkapi dengan ADP (alat pelindung diri) berlapis-lapis.
Bila pasien wafat, walaupun status masih PDP, SOP pun berlaku pada saat pemulasaran jenasah. Tidak boleh ada yang menyentuh langsung. Bahkan tidak ada acara memandikan jenazah dan menyolatkan. Jenazah berlapis plastik dimandikan secara tayamum. Kerabat menyolatkan secara sholat gaib. Acara penguburan bukan di makam umum, tetapi pemakaman khusus.
Upaya Social Distancing
Ketika edaran supaya semua sebaiknya di rumah, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan, tidak semua orang bisa patuh. Banyak orang yang tetap harus ke luar rumah untuk mencari nafkah. Tidak sedikit yang malah piknik dan jalan-jalan ke Mall.
Sekolah dan kampus ditutup sementara, karena kegiatan dilakukan secara daring, maka banyak pihak terkena imbas. Kantin, warung makan, toko alat tulis, fotocopy-an dan penjilidan, terpaksa ikut tutup. Beberapa kampus bahkan memutuskan, tugas, gambar, dan makalah semua dalam bentuk digital. Ditengarai kertas justru salah satu media penularan virus tersebut.
Diawali dari masjid, gereja, dan pusat peribadatan juga ditutup. Satu demi satu mall, toserba, pusat perbelanjaan pun ditutup sementara sampai tanggal tak ditentukan. Dalam beberapa hari ke depan, pasar hingga mini market pun tutup.
Kalau sudah begini, kemana lagi nasib mengadu? Kota bukan lagi gula manis yang pantas dikerubuti semut. Yang ada hanya rasa getir, sendirian, dan kecemasan.
Sebuah chat di WAG prodi di kampus menceritakan seorang mahasiswa berstatus suspect. Kami pun khawatir, dia di kamar kos sendirian. Lalu ada usulan, bagaimana kalau mengirim makanan. Berita terakhir, si anak dipanggil pulang oleh orang tuanya.
Memilih Mudik
Time line Facebook, berita online, hingga koran mengusulkan supaya melarang mudik untuk mengindari penyebaran virus hingga ke desa. Bahkan koran Pikiran Rakyat pun mengangkatnya sebagai headline, supaya kota-kota di lockdown. Kota Tegal sudah memulainya.
Jakarta dan 4 klaster provinsi Jawa Barat (kabupaten Bogor, kota Bogor, kabupaten Karawang, dan Lembang) merupakan pusat pandemi. PT. KAI pun membatalkan beberapa perjalanan dari Jakarta ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Begitu pula perjalanan dari Bandung ke beberapa kota lain.
Kita semua dilanda ketakutan dan kecemasan. Bagaimana rasanya hidup dirantau, tak ada penghasilan, di daerah red zone, sendirian pula? Tak heran, pulang ke keluarga adalah jalan satu-satunya. Menunggu uluran donasi juga belum tentu, karena tidak ada tenaga yang mengerjakan. Mereka memilih mudik. Kita mungkin membayangkan akibatnya jadi fatal, virus semakin merebak hingga ke pelosok desa.
Saya bisa mengerti, para perantau tersebut mungkin berpikir daripada nanti mati di rantau, hanya ditayamumi lalu dibungkus plastik. Orang-orang yang merantau ke mana lagi kalau tidak pulang ke kampung halaman masing-masing bukan? Maka orang pun berbondong-bondong memilih mudik lebih awal.
ISOLASI DIRI
Saya hanya bisa berdoa semoga para perantau yang memilih mudik tersebut tetap sehat, bukan pembawa virus (carrier) seperti kekhawatiran para ahli. Setibanya di kampung halaman, harus mengisolasi diri, supaya yakin sebagai pemudik betul-betul sehat, seperti himbauan Gubernur Jawa Barat.
Semoga keluarga di kampung halaman pun tetap sehat tidak tertular.
Saya dan suami? Kami di Bandung, anak-anak pun di rumah masing-masing, mengisolasi diri. Kami masih menahan diri untuk saling berpelukan…
Bandung, 27 Maret 2020
iya gak kebayang banget sama yang pilih mudih, heu, itu teh kenapa sih. gak betah banget diem di rumah aja gitu haha, duh duh gemes sendiri.
Semoga saja mereka yang mudik memang tidak membawa virus, atau kalaupun membawa, semoga mereka menerapkan aturan yang seharusnya diberlakukan. Semoga pandemi ini cepat berlalu, jadi kita bisa melakukan kegiatan seperti biasa lagi
ku pengen mudik nemuin ortu tapi di sana pun keadaannya ga jauh berbeda, malahan ortuku tetanggan sama PDP jadi ya sudah kami harus menahan rindu