Sebaris status di laman teman Facebook menggelitik hati. Sebenarnya tak terlalu kenal dengan teman Facebook saya tersebut, hanya tahu kami seprogram studi di kampus. Beda angkatan juga, sih. Mbak Prasti Utomo, begitu nama teman FB saya tersebut mengutip artikel dari Direktur HR Blue Bird Group tentang AGILITY. Setelah cek kamus, Agility maksudnya gesit, tangkas, lincah. Awalnya artikel tersebut mengulas pengangkatan Menteri Kesehatan yang baru, yang bukan seorang dokter. Masyarakat ragu, bagaimana bisa bukan dokter kok mau menyelesaikan masalah kesehatan. Banyak pendapat yang dibutuhkan adalah fungsi manajerial untuk mengatur kementrian. Utamanya menterinya nanti dibantu oleh tim yang kuat dan faham bidangnya. Sebuah tautan youtube memperlihatkan bahwa MenKes baru ini ternyata mempunyai leadership yang baik. Reaksi positif pun dilayangkan ke bapak menteri ini, karena sebagai pribadi mampu menampilkan sikap agility tersebut. Beliau gesit menghadapi tantangan perubahan dari tugas sebelumnya ke tugas baru.
Contoh Sikap Agility
Agility dalam beberapa artikel dicontohkan pada perilaku bertanding olahraga. Misalnya pebasket, gesit mengatur strategi setiap gerakan tubuh dan menanggapi stimulus gerakan lawan. Pebasket harus bisa gerakan lambat dan cepat secara bergantian, inilah yang dimaksud dengan agility. Begitu pula seorang pemain tenis, dia bisa memrediksi permainan dan pukulan lawan, sehingga bisa mengembalikan arah lambungan bola tenis. Selain itu dia juga mampu bertahan dalam sekian jam permainan.
Di dunia kerja, sikap agility, gesit, ditandai dengan kemampuan untuk menyikapi saat-saat krisis dan mampu menghadapi tantangan perubahan. Contohnya ada seorang CEO perusahaan minyak yang bukan lulusan perminyakan. Ada seorang CEO sebuah bank internasional yang lulusan Teknik Kimia. Atau ada pelatih sepakbola yang hebat (Jose Morinho) yang dulunya tidak pernah bermain di Liga sepakbola yang top.
Bagaimana dengan studi kita sebelumnya? Apakah lalu hal-hal yang telah kita pelajari selama kuliah menjadi mubazir, karena ternyata kita tidak bekerja di bidang yang digeluti selama studi di kampus?
Menurut saya, tidak ada yang sia-sia, karena akan selalu ada manfaatnya di kemudian hari.
Contoh lain, saya punya teman bloger. Dulunya kuliah di program studi kedokteran, kemudian mempelajari saham, dan memperoleh benefit dari jual-beli saham tersebut. Selama menjadi bloger, ilmu kedokteran yang dipelajari pun sangat bermanfaat kala menulis artikel kesehatan. Kemudian juga menjadi personal brandingnya.
Ada sebuah kejadian, seseorang yang kena pemutusan hubungan kerja karena tren bisnis yang meredup. Ternyata orang tersebut tidak siap menghadapi krisis hidup tersebut, karena selama bekerja dia hanya punya satu keahlian saja. Begitu keahliannya tidak dibutuhkan, dia kebingungan bagaimana harus bersikap.
Di luar sana banyak sekali bidang-bidang yang digantikan oleh robot, berkat adanya Artificial Intelligence. Kecerdasan buatan ini menggantikan operator di gerbang jalan tol, aplikasi keuangan menggantikan teller bank, software grafis meudahkan dan mempercepat kerja desainer. Bahkan dalam hal tulis-menulis ada google translate dan software penerjemah yang bisa luwes seolah diterjemahkan oleh penerjemah handal.
Kalau kita sebagai manusia tidak siap menghadapi perubahan yang serba cepat, maka akan dilibas oleh zaman, ujungnya meratapi dan ngomel-ngomel sepanjang sisa hidup. Tandanya kita tak punya sikap agility gesit menyikapi perubahan.
Duh, ngenes ya…
4 Sikap Menghadapi Perubahan
Berikut adalah hal-hal yang bisa kita lakukan agar kita bisa survive bila menghadapi perubahan setiap waktu.
1 – Pelajari Hal Baru
Pelajari sesuatu yang baru setiap hari. Apa saja. Bisa bidang ilmu baru, olahraga baru, cabang seni baru, bahasa asing baru. Pokoknya apa saja. Anything!
Contoh yang kita alami selama hampir satu tahun terakhir ini di bidang belajar-mengajar. Kebijakan PJJ, Pembelajaran Jarak Jauh, mendadak ibu-ibu harus belajar bagaimana setting zoom dan aplikasi media lain agar anak-anaknya bisa sekolah online. Guru dan dosen pun mendadak belajar jadi Youtuber, bagaimana merekam video dan suara untuk materi ajar. Belum lagi harus mempelajari LMS (learning management system) yang juga tidak mudah.
Ada seorang teman yang kesal, karena guru di sekolah anaknya tetap mengadakan belajar tatap muka, karena gurunya gaptek dan tak mau belajar baru.
Padahal risikonya besar mengadakan belajar tatap muka di tengah pandemi, bukan?
Tidak ada alasan tua-muda, harus mau belajar hal baru. Ini akan melatih otak untuk selalu siap menerima dan mengolah informasi baru yang belum dipelajari sebelumnya.
2 – Menantang Diri Sendiri
Belajar tidak mengenal tua-muda. Nah, apalagi masih muda, dong.
Tantang diri sendiri untuk belajar hal baru tersebut. Misalnya kuliahnya teknik sipil, tak masalah di sela waktu belajar bahasa Perancis. Atau kuliah sastra Inggris, juga menambah pengetahuan belajar finance.
Do not limite your challenges.
Challenge your own limit!
3 – Hidup Lebih Bervariasi
Cobalah sesekali lepas dari rutinitas, membuat variasi dalam berkegiatan. Tentunya masih dalam batas aman wajar dan halal lho ya. Kalik aja mau coba-coba variasi, ternyata perbuatan tercela. Big NO itu sih.
Misalnya di kampus, saya biasanya mengajar di depan kelas, sesekali, mahasiswa saja ajak ke lapangan, mengamati desain bangunan. Sampil jalan-jalan, mereka belajar hal baru, dan melihat sendiri contoh karya terbangun.
Di kantor juga bisa dilakukan variasi, misalnya biasanya rapat di ruangan tertutup dengan suasana formal. Sesekali meeting di ruang terbuka.
Dengan cara ini, otak kita tidak melakukan hal yang berulang terus menerus.
Repetitive and routinity are the enemy of creativity and innovations
4 – Jadi Orang Bodoh
Coba sesekali menghadiri seminar yang tidak ada kaitannya dengan ilmu yang kita ketahui selama ini. Jadilah orang bodoh di ruangan tesebut.
Kalau kita orang HR coba ikuti meeting sales. Kalau kita dari bagian Finance coba ikuti meeting marketing.
Kalau kita merasa bodoh, maka kita otomatis akan mencatat, bertanya, dan mempelajari hal baru. Kan ada pepatah, malu bertanya sesat di jalan.
Soalnya, kalau kita sudah merasa pintar, akibatnya jadi merasa tidak perlu belajar.
Tapi jangan keterusan sih jadi orang bodohnya. Ini adalah trik saja sikap agility gesit, sebagai bagian dari menchallenge diri sendiri tadi.
Kesimpulan
Dunia sekarang dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum ada tanda-tanda berakhir. Kilas balik sejarah seratus tahun yang lalu, pandemi yang mirip perlu waktu tiga tahun untuk mereda.
Nah, dalam waktu memperjuangkan melawan pandemi tersebut ternyata banyak kejadian yang terjadi. Sekolah dan kerja harus dari rumah, akibatnya kita harus beraktivitas menggunakan internet.
Dampaknya di dunia kerja, banyak bisnis macet dan merumahkan karyawan. Karyawan bersangkutan tentunya harus mencari akal untuk bertahan hidup. Tak sedikit yang mulai berbisnis online, juga menggunakan internet. Ibu rumah tangga banyak yang mencoba bisnis masakan rumahan, berupa masakan frozen, masakan matang, kue-kue, dan lain-lain. Kemudian dipasarkan secara online.
Tetapi ada juga perusahaan yang mampu bersikap dan ganti haluan bisnis. Misalnya Anne Avantie, desainer kebaya masyhur, yang harga desain kebayanya ratusan juta. Imbas pandemi berdampak pula ke bisnisnya. Beliau sekarang berbisnis makanan juga, yaitu aneka sambal, dengan brand Dapur Ndeso Anne Avantie. Jadi karyawan yang tadinya kerjanya memasang payet kebaya, sekarang diperbantukan mengemas aneka sambal.
Inilah sikap agility, gesit menghadapi tantangan perubahan.
Bagaimana dengan kalian?
Semoga bermanfaat.
Menarik sekali pembahasannya, khususnya bagaimana ‘menjadi orang bodoh’. Selama ini kebanyakan kita ikut seminar yg sesuai dengan bidang yg kita geluti. Dengan mencoba hal yg di luar bidang kita, pasti banyak hal2 baru yg kita dapat
sikap agility ini saya rasa sangat.. sangat perlu diterapkan dalam masa pandemi ini ya, Mbak. Kita harus gesit dalam menghadapi situasi yang tak menentu selama pandemi. Misalnya nih, saat media anak mulai turun, maka saya pun bergegas belajar ngebuzzer, dan Alhamdulillah itulah yang membantu penghasilan saya dari media sosial selama masa pandemi ini.
Saya sudah coba melakukan poin nomor 2
Dan hasilnya terbukti saya jadi makin lancar menjawab pertanyaan peserta saat mengadakan workshop atau webinar
Nggak ada salahnya menjadi bodoh untuk kemudian menyerap setiap ilmu baru. Jadi lebih memberi manfaat untuk menghadapi situasi dan kondisi yang nggak memungkinkan nantinya. Seperti sekarang sih.
Kalau saya lebih kepada menghadapi orang terdekat, Mbak.. wkwk… Kadang merasa mereka yang menghalangi jalan dianggap pemutus harapan. Padahal, kalau mau lebih struggle, justru mereka tantangan tak terlihat. Butuh komunikasi yang cerdas, memberi lebih agar mereka makin lapang dada, supaya kita bisa mendapatkan restu atas apa yang kita jalani.
Daku juga gitu mbak kuliahnya dulu jurusan apa, eh pengalaman kerja dan sekarang kerja apa nggak ada yang sesuai jurusan hihi. Jadi memang kitanya juga harus siap dan berani menantang diri keluar dari zona nyamannya
wah pas banget aku baca artikel ini
aku lagi bingung kerjain tugas bunprod ni, bhs agility juga
baca ini jadi tercerahkan
thx ya mbak
Agility.
Baru tahu istilah ini.
Memang asyik ya ternyata belajar padanan kata. Sebab tanpa disadari, ada istilah keren yang harusnya lebih pantas digunakan daripada bahasa sehari-hari
Wah sifat gesit dari selalu saya dengar mba, tapi bagaimana penerapannya kurang begitu paham. Suka banget penjelasannya jadi semakin paham ya dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari
Kayaknya saya perlu nih untuk menjadi orang bodoh dan belajar hal-hal baru. Selama ini saya nguplek tentang akuntansi mulu. Kayaknya hal menantang banget kalau belajar tentang marketing.
Baru dengar dan paham mengenai sikap Agility gesit 🙂 ini perlu dipelajari biar kita bisa sikap ambil kesempatan dalam hidup
Konsep Agility ini sering kutemui di sosok2 pemimpin dan memang betul ya
sesuai yang disebutkan di artikel ini. Memang semakin berubah dan cepatnya
perkembangan zaman, harus mau nggak mau gesit menghadapi kemungkinan2
terburuk dan segera bangkit. Tentu saja agility ini juga dipengaruhi oleh
jam terbang
Benar nih Mbak. Saya setuju nggak ada yang sia-sia walau aktivitas yang kita geluti saat ini tidak sesuai dengan ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah. Btw bagsu juga ya sikap agility, apalagi dengan kondisi saat ini.
Di dalam setiap jaman, hanya ada satu yang tidak akan berubah, yaitu perubahan itu sendiri. Perkembangan kultural hingga adopsi teknologi yang makin dinamis, membuat perubahan ini ngeri-ngeri sedap yak bagi mereka yang terlambat mengadopsi sikap agility.
Menuritku, agility ini sikap yang patut juga di ajarkan pada anak usia dini. Karena tantangan masa depan akam semakin beragam dan kompleks. Diri harus siap, anak juga dipersiapkan. Hehe.
Karena perubahan itu pasti.
Setuju banget. Agility memang biasanya didengungkan di industri. Namun senyatanya kita secara personal juga bisa mengikutinya. Contoh-contohnya bagus banget ini.
Gesit menghadapi perubahan ini harus. Karena dengan adanya pandemi, wah, perubahannya drastis. Manusia dituntut harus cekatan dan cepat beradaptasi dengan situasi baru (seperti, remote working) yang sepertinya bakal keterusan sampai masa depan.
Artikel menkes baru yang terbit di tempo menuai banyak pujian. Beliau dikabarkan mampu menyampaikan fakta meskipun pahit. Semoga ke depannya tetap demikian. Ini aku juga ngalamin, ketika harus resign dr praktik di rumah sakit, akhirnya ku banting setir mulai dari bisnis online sampai akhirnya ngeblog dan ngepodcast. Semua ilmu baru tersebut pasti ada manfaatnya